Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 89 - Chapter 26: Path of Fire

Chapter 89 - Chapter 26: Path of Fire

"Apa... APA-APAAN INI!?"

Di dalam bangker itu, terkapar mayat-mayat para musisi dan Dubalang yang seharusnya melindungi mereka, berserakan, perlahan menguap menjadi butiran debu-debu hitam (Dramu) dan putih (Lishmi). Kelima kepala keluarga (Baixo, Teabii, Aes, Tjitara, Tjoroem) utuh dan selamat, namun terduduk lemas menangisi istri mereka, memanggil-manggil nama mereka, mengelus sesak tubuh mereka yang perlahan mulai menyatu dengan angin.

Sementara itu Verslinder membatu di depan jasad DiVarri dengan air mata hitam sepekat malam mengalir di pipinya. Di belakangnya menempel Austra memeluknya, berusaha memberikannya ketenangan di tengah musibah yang menimpa para musisi, walau dirinya tenggelam di dalam air mata yang bersinar terang dan begitu murni. Ya benar, dari 156 musisi, hanya tersisa 7 orang yang masih berdiri utuh di sana, sementara kepala keluarga Keshan, tak terlihat keberadaannya.

*!*

Udara dalam sekejap terasa begitu panas, hingga Naema mulai merasa terganggu dan merinding karenanya. Ia menoleh ke arah Amartya yang kini dipenuhi amarah dengan nafas beruap-uap. Mata merahnya dipenuhi dengan kebencian seakan darah mengalir deras berusaha memuaskan rasa hausnya.

"Kak— kakan... da?" Wajah dan sekujur tubuh Naema menciut, terselimuti ketakutan dan rasa cemas yang begitu mendalam.

Suasana hati Amartya ternyata menjadi kabar buruk bagi mereka yang tinggal di bawah segalanya. Sang Agung Malik mendapati berita dari ke-18 malaikat Neraka, bahwa sesuatu yang tidak diinginkan sedang terjadi di dalam tubuh Amartya saat ini.

"Ini tidaklah bagus, dia mungkin memang mendesain bumi barunya untuk menahan api anak itu, tetapi jika api Neraka yang masih bergejolak itu sampai meledak di muka bumi, kemungkinan ia akan melahap apapun yang berdiri di atasnya."

"Apa yang harus kita lakukan wahai Al-Muluk?"

"Kita perlu membawanya dan keluarganya ke tempat asal api tersebut, Hawiyah, sungguh aku masih tak mengerti mengapa dia membawa api mentah ke dunia barunya."

"Bagaimana cara kita membawanya wahai Al-Jabar? Kita tak bisa lagi mendiamkan Neraka." Para Zabaniyah menjadi resah akan kondisi yang di hadapi Amartya di Bumi baru Sang Pencipta, namun mereka tetap tak bisa meninggalkan tugas yang diberikan Tuhan kepada mereka.

"Mungkin dirimu bisa meminta bantuan ahli untuk masalah ini."

Seseorang dengan tubuh terbuat dari api tiba-tiba datang menghampiri para malaikat penjaga Neraka, dan mereka, nampak memberikan rasa hormat yang tinggi kepadanya.

"Tuan Azazel… apa maksudmu meminta bantuan ahli?"

"Aku berbicara tentang menyeret orang ke Neraka tentunya."

"Kalian? Aku tak akan menyerahkan tugas ini kepada makhluk terkutuk macam kalian!"

"Ayolah Malik, hari penantian telah usai, masalahku dengan manusia pun juga telah terselesaikan, lagipula, mereka bukanlah anak-anak adam, tak ada sedikitpun kebencian antara kami dengan mereka."

"Tak perlu bicara masalah dan dendam Azazel, sejati dirimu dan pengikutmu saja sudah cukup untukku kehilangan kepercayaan pada kalian."

"Tapi bukankah kami pernah menjadi makhluk yang mulia, bahkan diriku sempat menjadi imam bagi bangsamu."

"…"

"Jika kamu berubah pikiran, kamu tahu di mana harus mencariku Malik."

Sejujurnya aku kurang tahu mengenai apa yang terjadi di atas (bawah) sana, aku tak memiliki kekuatan yang cukup untuk mendapat informasi mengenai apa yang terjadi di luar Bumi, apa lagi di langit yang berbeda yang sudah tak lagi di bawah kekuasan Sang Pencipta. Setelah ribuan tahun lamanya, aku sempat berbicara dengan Sang Pencipta, dan dia menceritakan mengenai Malaikat Agung Malik yang Maha Kuasa dan Raja Jin Azazel, serta beberapa percakapan mereka mengenai hal-hal yang terjadi di dunia yang ia ciptakan. Jadi aku mohon maaf bila informasinya kurang lengkap dan mungkin juga bisa tidak sesuai, karena ya... hanya dari sinilah asal infoku.

Sementara di Bumi, Amartya mulai berbisik dan memanggil api di tubuhnya dengan bahasa akhirat. Efeknya begitu kuat, hingga segala yang berada di sekitarnya, menjadi saksi kekuatannya.

"Bukalah pintu pertama, dan di dalamnya orang-orang merangkak di antara keburukan setelah mereka terjatuh dari benang kebaikan, sementara di belakang mereka merintih orang-orang yang terputus, dan mereka kekal di dalamnya."

"Mendidihlah, JAHANNAM!"

Seketika setiap daun di medan pertempuran menjadi merah, mereka menyebarkan panas dan semakin merusak ketenangan para penyihir. Selagi pertempuran berlangsung hebat, para Waraney menjadi semakin liar dengan tembakan mereka. Santi dan Ina Waraney merasakan jiwa dan raga mereka mulai membara, merasa ingin bergegas melemparkan diri ke medan pertempuran.

"Lalu terbukalah pintu kedua, dan terbentanglah api yang menyala-nyala, di sana para pendusta meminta kesempatan kedua, hanya untuk mengulangi kesalahan yang sama, dan langit berpaling dari mereka sebagaimana mereka berpaling dari-Nya."

"Menyalalah, LADHOH!"

Dedaunan kian oranye, dan tanah mendidih bagai dimasak dari bawah. Retakan api muncul darinya, menyala-nyala seakan ingin memuntahkan isinya. Walaupun para penyihir mulai gelisah karena pijakan mereka begitu panas, para Pasilek merasa ada hal yang tak beres dan berbondong-bondong meninggalkan arena pertempuran.

"Kemudian dibukanya pintu ketiga, dan orang-orang di dalamnya terikat pada tiang-tiang yang panjang, sementara api membakar hati mereka, dan mereka terkunci di dalamnya."

"Membaralah, HUTHOMAH!"

Langit memerah dan awan menghitam, di tengahnya matahari membara begitu dasyat, dedaunan kini menjadi kuning dan berguguran, mereka meledakan api begitu bersentuhan dengan tanah.

"Bang, ini Naema!" Tiba-tiba suara panik Naema terdengar di telinga Grimm, ia tengah menggunakan logam Raja Magnet.

"Iya neng, sante, kenape?" Jawab si bangsawan Vhisawi, ia juga mulai menyadari hal-hal aneh yang berkeliaran di sekitarnya.

"Tolong tarik setiap Jawara dan Dara keluar dari medan tempur secepat mungkin!"

"Lho kok, tiba-tiba?"

"Ada sesuatu yang tidak beres dengan kakanda, aku tak tahu harus bagaimana."

"Baiklah neng, baek-baek di sana!"

Setelah Vhisawi keluar, Malianis memantrakan zirah es kepada Dubalang yang tersisa. Pergerakan Dubalang menjadi sedikit terganggu, membuat mereka lumayan sulit untuk menyerang, tetapi pertahanan mereka tumbuh lebih kuat berkali-kali lipat. Para Dubalang memanfaatkan keadaan ini dan berhenti menyerang, mereka pun mengeluarkan kulik karambiak dari tiap sisi tubuh mereka.

Penyihir yang menyerang mereka mulai merasakan pedihnya sihir mereka sendiri, bersama cita rasa tanah di dalamnya. Raja Alam menjadi bingung dengan keadaan pertempuran dan berniat menghubungi Amartya, namun ia terhenti seketika melihat angkasa mengeluarkan murkanya.

"Dengan paksa kudobrak pintu keempat, dan kulihat orang-orang kikir sibuk memakan api, dengan mata yang buta dan telinga yang pekak, kulit mereka membengkak seakan tumbuh gunung di atasnya."

"Berkobarlah, SA'IR!"

Tergoreslah langit oleh sebuah cakar api yang menyayatnya. Ia pun sobek dan darinya muncul sebuah paruh yang berkobar-kobar. Seekor burung raksasa membentangkan sayap merahnya, memandikan api Daratan, dan dengan jambul yang membara ia membakar angkasa.

Phoenix, Genka memanggilnya.

Raja Alam pun menarik mundur semua Dubalang, lalu tiap-tiap dari mereka menyelam ke dalam tanah.

Dari arah bangker terlihat Amartya berjalan, perlahan, ke arah para penyihir. Ditangannya terseret sebilah santi dengan api yang menyala-nyala, meninggalkan tanah terbakar sebagai jejak di belakangnya. Mata pemuda itu dengan ganas membara, memperlihatkan api putih yang kian meronta di dalamnya. Ia pun menghentakkan santi itu, dan seketika tiap dedaunan yang gugur tergantikan oleh daun api berwarnakan putih, begitu pula dengan burung raksasa yang kini menjadi bergemilang putih suci.

Dari punggung Amartya terbentang jubah api raksasa yang berkibar-kibar, dan di kepalanya terpasang mahkota dengan tujuh warna ratna. Hewan-hewan api berlarian mengikuti langkahnya, burung-burung api berterbangan di angkasa, dan singa-singa mengaum membakar udara.

Sementara setiap Penempa Bumi melepas senjata mereka, mengarahkan badan mereka pada Amartya, berlutut, dan membungkukkan badan. Bumi, memberi hormatnya pada sang Ardiansyah.

"Ah sial, sekarang aku mengerti mengapa Sang Pencipta menamainya Ardiansyah." Tubuh Parjanya bergeming, sementara wajahnya tersenyum pahit, seakan dihantui rasa putus asa.

"Karena dia raja para penempa, Profisa?" Tanya salah satu Magistra tersisa yang jelas jauh lebih ketakutan ketimbang dirinya.

"Tidak, karena dia merajai seisi bumi..."

"Ah sial! Seharusnya ketiga bangsa bersatu dibawah pimpinannya… lalu mengapa semua ini harus terjadi… aku... aku tak mengerti apa yang dipikirkan Sang Pencipta, setidaknya misi kita sudah hampir selesai."

"Profisa?" Magistra itu kebingungan melihat Parjanya mengoceh degan dirinya sendiri.

"Tetapi ada sesuatu yang menggangguku, jika perhitunganku benar, api putih itu berasal dari tingkat keempat api neraka yang ada dalam tubuh kak Amartya."

"Lalu, Profisa?"

"Seharusnya belum saatnya ia muncul, api itu belum cukup tua untuk stabil dalam tubuh kak Amartya, apa yang terjadi!?"