"Ini tidak baik… Ester! Cepat ikat dan singkirkan raksasa cahaya itu dari para Parisai! Dubalang yang masih berdiri tolong bawa mereka mundur perlahan dengan parisai masih terangkat." Amartya berseru keras kian panik, dia benar-benar tak menduga cara kedatangan raksasa putih ke medan tempur.
Sementara itu pasukan Langit berbondong-bondong keluar dari igloo mereka dan mulai berlarian membentuk formasi.
"Untung saja elemental cahaya memasuki medan tempur di saat yang tepat." Salah satu Magistra menghela nafas lega.
"Hmm, mereka mungkin bisa menjadi kunci bagi kita untuk bertahan di perang ini." Parjanya mengelus dagunya.
"Tetap saja, bagaimana Amartya bisa tahu kalau es itu dialiri listrik, seharusnya para banteng raksasa itu sudah jatuh sebelum Raksasa Putih datang."
"Ah, Itu karena—"
Parjanya terhenti kala melihat ratusan lingkaran oranye bergema dari atas tembok Sfyra. Para Istinggar Waraney menodongkan senapan mereka ke arah pasukan Langit dengan cahaya jingga yang menggema ganas, seakan ingin meledak dari moncong senapan mereka.
"Mata Manguni, melihat segalanya…"
*Klank!*
Terdengar senapan-senapan mereka terkokang dan siap untuk menembak. Suara ketukan logam itu menggaung kian lantang, membuat para Ilmuan Langit merinding mendengarnya.
"Biadab! Seluruh pasukan, perisai sihiieer!" Termakan panik, Parjanya berteriak senyaring mungkin. Seisi pasukan Langit pun memasang perisai secepat yang mereka bisa di hadapan mereka dan para elemental.
[Seni Api]
[Tingkat 5 Ekstensi]
"(Ledakan Api Jarak Jauh)"
"Tayang, Dakagentera!"
Ribuan peluru api melesat, meriam-meriam meletup menembakkan bola-bola api. Semuanya pecah, meledak, dan berubah menjadi sekumpulan peluru yang menyebar tepat beberapa meter sebelum menabrak perisai sihir pasukan Langit. Pecahan itu mengikis perisai sihir perlahan-lahan, dan perisai yang lemah hancur, membiarkan penggunanya terluka.
Tak lama hingga hujan peluru berhenti. Setelahnya, ledakan peluru itu meninggalkan asap yang menutupi pandangan pasukan Langit. Dari balik asap itu pun muncul para Dubalang Kapak menghantam raksasa cahaya dengan kapak mereka. Kemudian melompatlah dari punggung mereka para pria dengan rambut putih yang berkibas-kibas, berlari dengan kaki dan tangan mereka merangkak di tanah, bersama kuku-kuku berlapis platina suci di jemari mereka.
Pria-pria suci datang dari suku Kuciang, dengan serangan yang lincah dan mematikan layaknya binatang buas, mencakar dan melompat-lompat di atas tubuh raksasa cahaya dan memakan habis zirah mereka.
Sementara itu Dubalang Panukok muncul dari tanah dan menghantam palu mereka ke bawah, membuat para penyihir jatuh dari pijakan mereka. Dan begitu mereka melihat ke atas, ribuan anak panah tengah melayang siap menghujani mereka.
Para Magistra dengan cepat memayungi pasukan Langit dengan perisai mereka, namun sayap utara mereka menghadapi masalah baru. Sekumpulan harimau putih menerkam pasukan yang tak lagi terlindungi oleh Lukautim, memburu mereka layaknya kelinci yang tersesat.
"Ah sial bagaimana bisa ikan-ikan itu dibuat tak berguna oleh Genka, bukankah seharusnya mereka menjadi mimpi buruk suku Api!?" Parjanya tak henti-hentinya menggerutu.
Jauh di belakang harimau itu berlari Pasilek suku Arimau yang tak lagi menunggangi mereka, berusaha menghindari pasukan tombak yang kini telah muncul di barisan pasukan Langit.
Namun Solodia berdiri di depan para elemental bertombak dan menghadang mereka. Keduanya terhenti dan saling menatap satu sama lain. Tombak suku Arimau pun berubah menjadi cincin, lalu keluarlah kerambit dari masing-masing tangan mereka. Di sisi lain Solodia memunculkan dua rencong yang memancarkan cahaya, dan menggenggamnya dengan erat. Pasilek mungkin kalah jumlah, namun tubuh mereka jauh lebih besar ketimbang para Solodia
"Tidakkah kalian terlalu suci untuk menumpahkan darah?" Tanya salah seorang gadis Solodia.
"Tidakkah dirimu pernah mendengar istilah darah suci?" Balas Pasilek terdepan, Datuk keluarga Arimau, Iskandar Arimau.
"Banyak lagak! Sejujurnya aku selalu punya pertanyaan untuk kalian, kerbau berkain putih."
"Katakan saja, nona."
"Mengapa hanya laki-laki yang mempelajari ilmu silek?"
"Mohon maaf?"
"Apakah perempuan tak cukup kuat bagi kalian untuk membela dirinya? Sebegitu rendahnya kah kami bagi kalian?"
"Rendah? Bagai tanah dan bunga yang mekar, pria dan wanita berdiri, silek hanyalah jalan bagi kami untuk meraih kehormatan di atas nama kami."
"Alasan belaka!"
"Jika dirimu masih menganggap kami merendahkan para melati suci, apalah dayaku mempertanyakan otak burung kalian."
"Kamu ini hanya seekor kerbau, jangan sok pintar kamu!"
Solodia mulai berlari dengan rencong-rencong mereka, sementara Pasilek Arimau terdiam di atas kuda-kuda yang solid, menunggu mereka datang. Rencong pun terayun, tapi Pasilek menghempasnya dengan punggung tangan mereka dan merobek kulit tangan Solodia dengan karambiak. Spontan Solodia menarik tangannya, lalu memunculkan cahaya putih dari lukanya, dan dalam waktu singkat tangan mereka sembuh layaknya sedia kala.
"Ini akan menjadi pertarungan yang lama dan melelahkan." Pasilek Arimau mengerutkan jidat mereka.
Di tengah-tengah pertempuan yang berlangsung ganas, terdengar hentakan kaki kuda berlarian di belakang mereka, begitu pula jauh di depan mereka. Helaian kuning pucat bersinar seraya melambai-lambai ditiup angin. Di kepala mereka menyala tanduk berbentuk kerucut yang bersinar terang, memancarkan cahaya putih cemerlang.
"Tak baik, haruskah kita hentikan?" Para Pasilek sudah mengaba-ngaba akan memanggil harimau mereka, ketika melihat suara kavaleri musuh hendak memasuki medan pertempuran.
"Fokus pada Solodia, datuk muda!" Suara Amartya seketika menghentikan mereka.
Iskandar pun menarik kembali tangannya. Ia memilih untuk mengikuti perintah Amartya.
Di atas kuda-kuda itu menunggang penyihir dengan zirah putih, sayapnya terkembang lebar memecah angin dan menyayat daun yang berguguran. Rencong di tangan mereka terlepas dari gagangnya, lalu muncul tongkat panjang dari cahaya menyambar belatinya.
"Jika kamu tak terlalu sibuk, silahkan pandangi kuda-kuda itu, ini mungkin terakhir kalu kamu bisa melihat mereka." Nafas Pasilek itu tiba-tiba terasa sesak mendengar ucapan Amartya. Sementara di hadapannya Solodia juga terpaku memandangi kuda putih, baginya menyerang tanpa peringatan apa lagi pada musuh yang tidak dalam keadaan ingin bertempur jauh dari kehormatan, jadi ia ikut menonton.
Kuda-kuda putih itu berlari mengitari sayap utara dan selatan medan perang, mereka hendak menerjang barisan pasukan Daratan dari dua sisi. Untuk mengatasi ini, dua regu Jawara pun didatangkan dan berbaris di tiap sisinya, mereka mengangkat tombak-tombak hijau berlumurkan racun, membuat barisan dinding tombak darinya.
"Kemarilah hoy kalian burung-burung bajingan!" Melengking suara para Jawara menantang mereka.
Kuda-kuda putih seketika menaikkan kecepatan mereka, berlari menaburi udara dengan butir-butir cahaya. Dengan gagah mereka melompati para Jawara dengan sayap-sayap putih terkembang di sampingnya, mereka sama sekali tak menghiraukan para Jawara. Tanpa terkecuali kuda-kuda putih mendarat, melewati para pria toksik dan melanjutkan berlari ke arah Malianis dan Raksaka.
"Jangan sok jago kalian, brengsek!"
Gelang para Jawara berubah menjadi busur silang yang mengeluarkan aura kematian, dari anak panahnya menetes cairan hijau yang membunuh rerumputan begitu menyentuh tanah. Dalam sekejap anak-anak panah itu melesat dan menembus tubuh-tubuh para kuda putih, satu persatu dari mereka mulai tersungkur ke tanah, hingga tak ada lagi yang berdiri.
"MAMPOS ANJEEENG!"
Para Jawara lalu berlari ke arah mereka dan melompat dengan tombak-tombak lapar yang siap menerkam mangsanya. Tak lama hingga terdengar suara teriakan kuda dan penunggangnya. Dan dalam 1 pejaman mata suara-suara itu pun, hilang.
"Apa-apaan…" Parjanya terdiam kaku dengan pupil matanya luar biasa menciut, tak henti-hentinya merinding, dan rahangnya kini telah terjatuh ke tanah.
"Argh, keganasan membunuh mereka sangat menggangguku. Tapi mau bagaimana? Mereka memang pembantai kavaleri kelas kakap, karena mereka Penempa Bumi tak lagi menggunakan kavaleri untuk berperang, kecuali para Arimau tentunya, tapi bahkan mereka tahu untuk tak menunggangi harimau putih mereka ketika hendak berhadapan dengan Vhisawi." Amartya menggepal erat tangannya yang bergetar hebat, sungguh kekejian yang luar biasa.
Di sisi lain, para Solodia tak berkutik melihat kekalahan kuda putih. Badan mereka menjadi lemas dan mata mereka seakan ingin menangis.
"Saudara-saudariku… lenyap begitu saja…"
"Hey fokuslah, lawan kalian adalah kami." Para Pasilek sudah memasang kuda-kuda dengan kedua karambiak tergenggam erat.
"Tak bisa dimaafkan!"
Para Solodia mulai menggeram, mereka melengking keras sembari berlari ke arah para Pasilek Arimau dengan rencong mereka siap diayunkan. Pertempuran pun kembali terjadi antara dua kain putih, darah suci mereka mulai tercecer di medan tempur.
Hyakra (suku Cahaya) merupakan salah satu dari dua suku di Angkasa yang memiliki banyak pengalaman berperang. Permusuhan mereka dengan Survya (suku Kegelapan) membuat keduanya mengembangkan ilmu dan beladiri perang jarak dekat yang tentunya dibumbui sihir. Hal ini membuat mereka melakukan perlawanan yang cukup kuat kepada para Pasilek.
Sementara itu Parjanya mulai berlari mendekati tembok Sfyra, ia memandangi Istinggar Waraney yang bersarang di atas dinding-dinding tinggi itu. Tembakan senapan yang cepat dan mematikan membuat Ilmuan Langit kehilangan banyak tenaga mereka. Jika dibiarkan, cepat atau lambat hal buruk akan menimpa pasukan Langit.
"Logam berat di depan Genka sial itu membuat mereka hampir tak bisa disentuh dengan sihir, ditambah kita tak bisa teleportasi ke belakang mereka karena hukum bodoh generasi pertama, ah ini menyusahkan." Gerutu Parjanya.
"Mungkin anda perlu menangani mereka sendiri Profisa." Ucap salah satu Magistra.
"Ah iya, tapi jika kak Amartya muncul aku bisa langsung mampus di tempat."
"Kita tak punya pilihan, tidak ada yang mampu memantra secepat seorang Profisa."
Parjanya hening sejenak, dan menggenggam erat tongkat sihirnya hingga hampir remuk karenanya. Listrik pun mengalir dari tongkat itu, mengeluarkan percikan cahaya violet. Dirinya berdecak kencang.
"Teleportia…"
Dari arah jam 2 Istinggar Waraney pun muncul kilatan petir bersama Parjanya di dalamnya. Tanpa basa-basi Parjanya mengubah bentuknya dan melesat bagai petir ke belakang para Waraney. Mereka tak sempat bereaksi dan menoleh ke arah Parjanya dengan mata terbuka lebar.
"Celaka!"
Sang Profisa menarik tongkatnya ke belakang, dan memunculkan ratusan petir yang memenuhi langit-langit benteng Sfyra.
[Sihir Listrik]
[Tingkat 8]
"(Peti Mati Petir)"
"Gun tabala Nayu lem!"