Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 88 - Chapter 25: For This Day I Serve You My Loyalty

Chapter 88 - Chapter 25: For This Day I Serve You My Loyalty

Di bawah, para Sur Laavak berjalan perlahan meninggalkan Jawara dengan mainan mereka dan bergerak menuju utara. Di sana pertarungan sengit antara Pasilek dan Solodia masih terjadi, walau Pasilek memberikan pukulan yang cukup kuat, sihir pelindung dan penyembuhan milik Solodia membuat mereka sukar untuk dijatuhkan. Jika dibiarkan, pertempuran antar kedua kain putih itu akan terus berlangsung bahkan setelah mentari kembali dari persembunyiannya, tidak, bahkan setelah bumi kembali dari janjinya tuk mengelilingi sang mentari, mereka akan tetap berdiri tegap di sana.

"Datuk muda, tinggalkan masalah Solodia kepada para malaikat maut, kalian hanya membuang waktu melawan mereka." Suara Amartya terdengar dari logam di telinga pemimpin Pasilek Arimau.

"Tentu tuan Penguasa, apa yang anda ingin kami lakukan?" Jawab sang Datuk.

"Parjanya masih berkeliaran, panggil para harimau putih dan buru dia, aku punya firasat buruk mengenai semua ini."

"Dimengerti, tuan."

Amartya sebenarnya mampu melihat di mana Parjanya melalui manguni, namun terlalu banyak hal yang perlu dilakukan, ia tak ada waktu untuk membimbing para Pasilek menuju Parjanya ataupun mendatanginya sendiri. Sayangnya hal ini mungkin bisa menjadi kesalahan terbesar Amartya di sepengunjung peperangan ini.

Parjanya mendatangi para Sanguma bersama para penyihir Cahaya untuk mengobati luka mereka dan Lukautim. Di sela-sela itu ia berbicara dengan pemimpin para Sanguma. Ia tak terlalu paham tentang budaya yang dimiliki atau bahasa yang digunakan oleh penduduk Samudra, hal ini membuat pendekatan pertamanya cukup canggung.

"Hei… kamu, bisa mengerti aku?" Parjanya cukup gugup dan cemas komunikasi dengan mereka akan sulit.

"Tentu, apa yang anda inginkan penyihir Langit?" Alangkah kaget dan leganya Parjanya mendengar Sanguma itu bisa berbicara dengan lancar.

"Ah, Bahasa Bumimu cukup bagus, ini mempermudah segalanya, dengar, aku punya rencana."

Perang masih berkecamuk hebat, dan di tengah-tengah itu semua, para Sanguma bergerak perlahan ke arah timur area pertempuran dengan perlindungan beberapa penyihir cahaya. Di sisi lainnya, Parjanya terlihat berkomunikasi dengan Profisa lainnya melalui angin, ia merencanakan sesuatu dengan mereka.

Cahaya Hyakra dan ricuhnya medan tempur membuat Amartya tak sadar akan pergerakan Sanguma, tak lama hingga mereka berada di dekat tempat para musisi bersarang, di bawah lindungan musik cahaya dan Dubalang yang mengitari mereka.

[Sihir Darah]

Mata Sanguma bersinar merah pekat, aura mistis berbau darah terpancar dari tubuh mereka, mulut manis para peri itu lalu terbuka, menampakkan dua taring tajam diantara gigi-gigi putih yang berlumuran darah.

"@#$%^&*"

*!?*

Tiba-tiba saja ke-64 Dubalang di sekitar para musisi melepas mode batu mereka dan kembali berdiri terbungkus kulit dan daging. Verslinder saat itu duduk di barisan terdepan sebagai Concertmaster, matanya mulai tertarik ketika melihat para Dubalang tak lagi membatu. Sementara DiVarri masih asik memimpin jalannya musik.

Para Dubalang lalu menggenggam panukok mereka, dan berbalik ke arah para musisi. Perlahan panukok itu terangkat tinggi ke udara, dengan kabut darah menyelimuti kepalanya dan ia mulai gemetar, penuh kekuatan. Verslinder sadar bahwa itu bukan kuda-kuda yang seharusnya di tampakkan pada sekutu mereka. Namun ketika ia menoleh ke arah DiVarri untuk meminta perintahnya, saat itu lah, Verslinder melihat senyum hampa terlukis kian semu di wajah DiVarri.

*!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!*

Bagai bayangan Verslinder melompat ke arah Austra dan menyelimutinya dalam kegelapan.

"Sweet Crow? Kamu ngapai—"

*BAM!*

Palu-palu itu terayun kencang dan menghantam bumi, tanah pun pecah melontarkan serpihannya ke udara. Seluruh musisi serentak lumpuh tak berdaya, menemukan badan mereka terbaring di antara tanah yang bergejolak.

Empat sinar sihir muncul dari Angkasa, meronta-ronta seakan lapar akan mangsa. Di bumi seorang magistra menteleportasikan dirinya ke dekat para musisi yang terkapar dan menarik kepala keluarga Keshan (Perkusi) masuk ke dalam sebuah portal, lalu pergi menghilang bersama udara.

Tiang sihir udara, es, listrik dan cahaya raksasa menembakkan dirinya dan menusuk tubuh DiVarri, ledakkannya begitu dasyat hingga melumat musisi lain di sekitarnya. Sementara ribuan mantra sihir ikut melesat dari barisan pasukan langit hendak menuju ke arah para musisi.

"!توقف"

4000 sayap pun muncul, kian silau, terang benderang, terkembang luas di Angkasa, dan dengan pedang putih ia menangkis semua sihir-sihir itu. Mikael seketika datang dengan tubuh berlumuran cahaya dan melindungi para musisi dari serangan yang datang. Sementara di belakangnya datang Rafael dengan cahaya hangatnya menyembuhkan para musisi dari hantaman sihir keempat Profisa.

"ESTER!" Itu pertama kalinya mendengar Amartya berteriak sedemikan histeris, hingga serak suaranya.

Para Sarma lalu menumbuhkan ratusan pohon di sekitar musisi setelah mendengar suara luar biasa Amartya yang cukup membuat mereka merinding ketakutan, membentuk bangker besar yang melindungi dan mengobati para penghuni Surga.

Sementara itu, akibat tumbangnya para musisi Cahaya, pelindung yang melindungi atap dan tubuh pasukan Daratan pun sirna. Kini mereka terbuka lebar untuk menerima sihir-sihir yang dilontarkan pasukan Langit.

Amartya menarik mundur semua Waraney mengingat keadaan yang mulai membahayakan, begitu pula dengan Pasilek dan harimau putih mereka.

"Kita sudah tak bisa main aman lagi, sekarang bukan lagi saatnya memanen kehormatan dari Ilmuan Langit dan peri-peri mereka." Nada yang dilontarkan Amartya terdengar begitu cemas.

"Gelombang pertempuran juga nampak mulai berbalik ke arah kita, mungkinkah? Kakanda?"

"Tidak, kita akan tetap menang, tetapi mungkin mereka yang merayakannya tak akan sebanyak yang diharapkan."

"Oy anak, capeklah berpikir! Orang-orangku sedang dibantai di bawah sana!" Serangan dari langit membuat Raja Alam mulai kehilangan ketenangannya.

"Tentu Yang Mulia, kalau begitu aku ingin Malianis meningkatkan permainan mereka, usahakan seminimal mungkin penyihir yang mendampingi para Raksaka, sisanya terbanglah dan berkeliaran di medan pertempuran sembari melindungi sebanyak mungkin orang dengan sihir es."

"Tidakkah ini membahayakan gadis-gadisku?"

"Tidak, Istinggar Waraney akan berhenti menyerang dan fokus menetralisir sebanyak mungkin sihir dengan peluru buatan kami."

"Dimengerti kakanda."

Amartya pun mulai bergantian menghubungi regu-regu pasukan Daratan.

"Parisai, kalian bisa berhenti bermain defensif dan mulai bergerak agresif, kita perlu melumpuhkan barisan depan secepat mungkin dan meratakan para elemental."

"Dimengerti, tuan penguasa."

Dua mata tombak lalu tumbuh dari atas dan bawah Parisai Dubalang, keduanya tajam dan berkilaukan berlian.

"Bang, kirim Dara Komodo bersama Dubalang Parisai, lalu bagi Jawara menjadi dua regu dan bergeraklah mengitari sayap utara dan selatan."

"Baiklah!"

"Panukok, Kapak, masuklah ke tanah dan keluarlah saat Parisai hendak baku hantam dengan para elemental, iris zirah dan pelindung mereka lalu berpindah ke elemental lainnya, biarkan Dara Komodo dan Parisai yang menghabisi mereka.

"Dimengerti."

"Naema, ikut aku ke bangker para musisi, beberapa dari mereka mungkin selamat, namun aku sungguh berharap ke-156 mereka masih bernyawa."

Sementara Amartya dan Naema bergegas ke tkp, pasukan Daratan bergerak menyerang pasukan Langit demi mengakhiri perang ini.

"Hmm, nampaknya para Penempa mulai kehilangan disiplin barisan mereka, Profisa." Salah seorang Magistra yang tersisa mendampingin Parjanya.

"Tidak, mereka bergerak lebih agresif." Ucap Parjanya, senyuman pahit tampak di wajahnya bersama ratusan butir keringat dingin.

"Apakah ini hal buruk?"

"Tidak... ehm, sebenarnya iya, kita perlu segera menyeimbangi permainan mereka!"

Dubalang Parisai telah sempurna sembuh, terima kasih kepada Sarma. Mereka kembali berlari dan menerjang ke arah para elemental dengan parisai menghadap ke depan. Raksasa putih berdiri di barisan terdepan dan bersiap menerima hantaman dari Dubalang Parisai.

Mendadak para Dubalang Kapak muncul dari tanah dan menyayat bagian belakang lutut raksasa putih, merusak kuda-kuda mereka dan membuat mereka bertumpu pada lutut mereka. Parisai pun menghantam mereka dengan kekuatan penuh, melumpuhkan barisan depan pasukan Langit.

"Ah, benar-benar agresif, kirim elemental lain untuk menyerang mereka, penyihir bersiaplah untuk menembak." Parjanya berusaha mengatur pasukan Langit di tengah kepanikannya.

Namun serangan para elemental dengan mudah dipatahkan Dubalang Parisai, dua mata tombak di atas dan bawah Parisai mereka menjadikannya senjata yang cepat dan pertahanan yang amat kuat.

"Lepaskan!"

Ratusan misil dan hujan sihir, dari depan dan atas, melesat ke arah Dubalang. Tapi seketika perisai es muncul melindungi mereka, sementara Panukok menghantam bumi dan memunculkan dinding tanah yang mengisolasi jalannya sengatan listrik.

Para raksasa putih kembali berdiri dengan kaki mereka, hendak membalas hantaman dari para Dubalang. Namun begitu mereka berjalan, cahaya hijau bersinar dari perut mereka, memunculkan tombak toksik di tengahnya. Dara Komodo menusuk tubuh para raksasa putih dan dengan cepat melelehkan badan mereka yang sudah melemah.

Setelah melumpuhkan para elemental, pasukan Daratan lantas berlarian ke arah para penyihir. Penyihir-penyihir itu berusaha menjaga jarak dengan mundur dan melipir ke kanan ke kiri, sembari memberikan perlawanan dengan menembakkan sihir selagi berlari dengan langkah mereka yang jelas kalah cepat dibanding para Penempa.

Regu Jawara yang telah terbagi dua kemudian berlarian, menghadang jalan kanan dan kiri mereka. Kini penyihir-penyihir itu hanya bisa mundur. Di atas mereka Malianis berterbangan dengan sihir es yang menghalau serangan-serangan mereka. Dan jika mereka mencoba terbang, Waraney akan menembak mereka dengan mudah.

Dari timur sekumpulan rambut putih berkibasan tertiup angin, Pasilek dan harimau putih membuat barisan menghadang jalan mundur mereka. Kini pasukan Langit benar-benar terkepung karena kalah cepat bergerak di daratan dengan pasukan Daratan.

Tanpa aba-aba, serentak seisi pasukan Daratan berlari menerjang ke arah pasukan Langit. Namun belum sempat mereka mendekat, duri-duri es raksasa pun muncul mengitari pasukan Langit dengan matanya mengarah pada pasukan Daratan. Sementara para penyihir dan peri laut bersiap menyerang Penempa yang datang.

*Klank!*

Parisai menabrak duri-duri itu seakan bukan apa-apa. Namun para Harpactes (pasukan penyihir listrik) menyengat mereka dengan listrik, dan melumpuhkan beberapa dari mereka. Para Jawara menembakkan tombak mereka ke tanah, dan dengan gaya yang dipantulkannya mereka melesat melewati duri-duri es, sementara Dubalang yang lain melempar Dara Komodo ke udara, melewati para Parisai.

Pasukan Langit menembaki para Vhisawi dengan sihir selagi di udara, melumpuhkan beberapa dari mereka. Dan saat mereka mendarat, Ilmuan Langit spontan melakukan blink keluar dari duri-duri es.

*Shhhf!* *Shhhf!* *Shhhf!*

Tak lama setelah mereka berpindah, ratusan anak panah Sarma melesat dan menusuk para Vhisawi yang tertembak sihir. Kini mereka kembali berdiri dan menyerang Ilmuan Langit yang berada di luar duri-duri es. Di tengah kekacauan yang terjadi, Parjanya berhasil memantrakan salah satu sihir Profisanya dan memunculkan badai petir yang tak henti-hentinya menerkam para Penempa.

Di timur para Pasilek Kuciang melompat dari punggung pasilek Arimau melompati duri-duri es. Secepat kedipan mata mereka menerjang dan mencakar penyihir terdekat dari duri-duri es, para klon berusaha menyerang mereka, namun yang mereka temukan hanyalah cakaran dan darah yang berlumuran di badan mereka.

Kilatan putih lalu menggelegar dari duri-duri di belakang Kuciang. Es pun pecah, para harimau berlari dan menabrak penyihir-penyihir di depannya, mereka menerkam para penyihir dan mencabik-cabiknya. Pasilek Arimau melompat dari harimau putih, dan dengan karambiak, mereka menyayat penyihir di samping lututnya, betisnya, samping lehernya, kemudian kaki mereka dengan cepat menendang dada lawannya hingga melayang sejajar dengan wajah mereka, dan akhirnya menusuk mata mereka dan menyayatnya ke atas.

Pertempuran menjadi begitu ganas di sekitar duri-duri es. Para penyihir kewalahan melawan pasukan Daratan di pertempuran jarak dekat, namun sihir-sihir mereka melahap area yang sangat luas, membuat para Penempa kesulitan untuk bergerak.

***

Di sisi lain, Amartya dan Naema sampai di bangker para musisi. Tempat itu terbuat dari beberapa pohon yang melilit satu sama lain, menutup semua celah, mengitari para musisi. Beberapa daun merah muda memancarkan sinar yang teramat terang, perlahan kehilangan warnanya dan gugur beberapa detik kemudian.

"Nampaknya pepohonan ini memberikan daya hidup mereka kepada apapun yang ada di dalam." Naema melihat daun berguguran, kemudian rapuh di tangannya.

"Itu berarti ada kehidupan di dalam sana."

Beberapa pohon di banker itu menggeser batang mereka, memberikan jalan kepada Amartya dan Naema. keduanya pun masuk ke dalam, hanya untuk menjadi saksi pemandangan yang menyayat hati.