Wanita dengan jubah merah darah itu tidak rela melepas lengan anak sulungnya, dia makin mengeratkan pelukan. Bibirnya mengerucut lucu, pipinya mengembang karena pasokan udara yang berlebih.
"Apa tidak bisa tinggal lebih lama? Ibu masih ingin memanggang kue lemon bersamamu, " rayu Di sembari memasang muka memelas.
Irru, sang suami memandang datar ke arah dua orang yang tengah berlagak layaknya drama picisan. Pria itu juga sedikit kesal, mengapa istrinya merengek kepada anaknya tapi tidak dengannya.
"Bisa kau hentikan dramamu ini, Di. Aku tidak ingin ada yang terlambat masuk sekolah, " tekannya.
Irru memutar bola matanya malas kala Di membalas penyataannya dengan dengusan. Dengan cepat pria itu melompat ke mangkuk terbang, mengambil duduk dibalik setir dan berteriak keras agar adik kecil segera menyusul.
Berat hati sebenarnya, Asak melepaskan tangan ibunya yang melingkar di lengan kanannya. "Ibu, setelah ujian kedua aku akan pulang. Tidak perlu bersedih lama, kita akan bertemu lagi." Asak mengecup kedua pipi ibunya, mengelus lengan ramping itu dengan jemarinya.
"Jangan terlalu sering menjilat!" pekik adik kecil yang muak dengan tingkah laku kakaknya. Mereka hanya ingin pergi ke Sekolah Menengah Kosong, bukan menyerah nyawa untuk berperang. "Sialan!"
Di yang menyadari situasi makin panas akhirnya melepaskan Asak, mendorong pelan tubuh anaknya yang kini lebih tinggi sedikit darinya. "Pergilah, Pirang. Dan jangan lupa bawa ini, sampaikan salam Ibu pada teman sekamarmu." Wanita itu menyerahkan kubus bekal berisi dua loyang kue lemon fresh dari panggangan.
"Ingatlah, Asak. Jangan timbulkan iri hati, itu hanya membuatmu patah arang."
Asak melompat ke mangkuk terbang, belum sempat dia duduk di tabung dengan tutup yang memiliki sandaran, mangkuk terbang sudah ditancap gas oleh Irru. Membuat Asak terduduk dengan keadaan tak baik, dahinya membentur dinding pelapis mangkuk terbang dan sepertinya kaki Asak juga terkilir.
Adik kecil terkekeh pelan, mendengkus melihat kakaknya. "Bodoh memang bodoh saja, kami memang bukan seorang Azmata, " sindir sembari menoleh ke arah Irru yang membalas dengan anggukan.
"Benar adanya jikalau aku tidak seberuntung dirimu, tapi Azmata tetap nama belakangku."
Ratusan mangkuk terbang yang terparkir mengapung di depan gerbang masuk Sekolah Menengah Kosong. Para murid kembali masuk asrama hari ini, dan mereka akan mendapatkan hari libur setelah ujian semester dua.
Thom mengangkat tangannya tinggi-tinggi, melambai pada Asak yang baru saja melompat turun dari mangkuk terbang ayahnya. Dengan cepat Asak memalingkan wajah, menutupinya dengan sebelah tangan dan berjalan ke arah lain agar Thom tidak menemui dirinya.
Jika boleh jujur, Asak tidak terlalu menyukai Thom. Pemuda itu memang menyenangkan, tapi entahlah Asak seperti melihat Thom tidak menjadi dirinya sendiri. Tawa yang terlontar terkadang seperti tidak asli.
Asak berusaha menggunakan teknik membaca mata untuk mengetahui hal ganjal yang Thom sembunyikan, namun Asak tidak pernah berhasil menemukan itu. Mungkin dugaannya salah, atau mungkin. Thom menaruh rahasianya terlalu dalam, jauh dari jangkauan teknik membaca mata.
"Asak!"
Teriakan yang jauh lebih pelan dari sebelumnya membuat Asak menoleh, dia ikut tersenyum dan bernapas lega karena yang menghampirinya adalah Laten. Teman sekamarnya yang lugu, polos dan pandai menutupi kesedihannya.
Terkadang Asak ingin sekali membagi cerita dengan Laten, tapi Asak adalah Asak. Dia tidak pernah percaya dengan siapapun, menutup diri walau orang-orang meneriakinya untuk berbicara siapa dirinya. Setidaknya Laten lebih baik daripada Thom, itu hanya perkiraan Asak.
"Ibuku menitipkan satu loyang kue lemon untukmu, ini kasih cukup hangat jika kita bisa tiba di kamar asrama secepatnya, " ucap Asak sembari terkekeh, dan Laten pun ikut tertawa seraya mengambil kubus bekal yang Asak julurkan.
"Heh! Kalian tidak mengajakku?" tanya Thom yang muncul tiba-tiba, lengannya merangkul bahu Asak dan Laten.
Asak menghembuskan napas pelan, mendelik tak suka pada Thom yang memotong kue lemon dengan ukuran sangat besar. Ayolah... dia membawa kue itu untuk Laten, dan Thom tau. Lantas kenapa pemuda dengan jubah coklat itu tidak mengerti sopan santun.
"Aku membawa kue itu untuk Laten, Thom."
Thom mendongak, mulutnya penuh dengan remahan dan selai lemon. "Lantas?" Pemuda itu mengusap ujung bibirnya dengan ibu jari, menjilat jemarinya seakan tidak rela jika satu remahan saja tertinggal.
"Ah... sudahlah, " desah Asak.
Pemuda yang berada di tengah pertengkaran hanya mampu tersenyum canggung, mendorong kacamata yang turun ke pangkal hidung. "Kamu juga harus mencobanya, Asak, " ujar Laten, dia menggeser piringnya yang berisi satu potong kue lemon ke depan Asak.
Asak mengangkat tangan kanannya, sedikit menarik sudut bibirnya. "Tidak perlu, Laten. Asal kamu tau, aku sudah makan lebih dari lima loyang selama dua hari yang lalu."
Pemuda bersurai pirang memegang perutnya, mengingat dua hari lalu yang penuh penyiksaan. Di, sang ibu selalu memaksa Asak memakan kue lemon, wanita itu ingin anaknya dipenuhi keberuntungan.
Ibu Asak adalah penduduk Daerah Perisai, wilayah yang penuh dengan pohon-pohon tinggi nan asri dan sungai-sungai yang bertebaran di setiap sudut. Penduduk Daerah Perisai memang mempercayai ramalan kue. Kue lemon dipercayai akan memberi keberuntungan, dan karena itulah Asak diperintahkan untuk memakan kue lemon banyak-banyak.
Laten meringis mendengar pernyataan Asak, dia membayangkan memakan kue lima loyang. "Aku ikut berduka, Asak."
Mata Asak membola kala melihat kubu bekalnya kosong, menyisakan remahan kue saja. "Kemana kuenya?" tanyanya kepada Thom yang mengangkat bahunya seraya tersenyum lebar.
"Kamu makan semuanya, Thom?" Asak bertanya lagi, membuat Thom tertawa riang layaknya anak kecil yang diberi satu kantong penuh permen gula.
"Ada di dalam perutku, Asak." Thom menunjuk perutnya yang membuncit di balik jubah coklat. "Kalian sangat lama, kue lemon tidak pantas menunggu hanya karena kalian sibuk berbincang bukan?"
Asak mengulum bibirnya, berusaha untuk tidak berkata kasar kepada pemuda di hadapannya. Laten terkekeh-kekeh, tangannya menepuk-nepuk lantai kamar saking tergelaknya.
Thom dan Asak terdiam, membiarkan Laten mengalunkan tawanya. Mereka berdua baru pertama kali mendengar tawa Laten, karena biasanya pemuda itu hanya tersenyum lembut untuk menutup rasa sakit yang dia terima dari orang-orang.
"Kalian lucu. Ah... jadi ini rasanya punya teman, " lirih Laten sembari mengusap sudut matanya yang berair.
Sedari dulu Laten tidak mempunyai teman, keluarganya yang berkasta rendah amat dimusuhi oleh kasta tinggi. Laten senantiasa mendapat banyak pukulan, cacian, dan makian lain. Hanya semua itu yang memenuhi kehidupan Laten, tidak ada kebahagiaan selepas keluarganya ditimpa musibah.
Thom memiringkan kepala, menatap mata Laten yang berbinar karena air mata yang menggenang.
"Laten, apa alasan orang-orang itu melakukan hal keji padamu?"