"Selamat siang, Asak."
Suara berat itu, siapa yang berbicara. Asak berdiri di ujung lorong sendirian, tidak mungkin dia salah dengar. "Siapa?" tanya Asak pelan, kepalanya menoleh kesana-kemari, matanya berkeliaran mencari asal suara. "Siapa?" tanyanya sekali lagi, kali ini lebih lantang.
"Kamu tidak perlu tau aku siapa, Asak. Dan berhentilah menggerakkan kepalamu secara acak, aku di depanmu, " ucap sosok di dalam lukisan itu keras, dia jengah dengan tingkah Asak yang seperti orang udik saat terkejut melihat dirinya. "Jangan berlebihan, Asak. Sungguh, wajahmu seperti orang bertemu hantu."
Kanvas kosong dibalut pigura itu tak lagi putih bersih, ada sosok berjubah hitam satin disana. Asak tidak begitu melihat jelas wajah pria di dalam kanvas, dia lebih dulu terkejut dengan kehadiran penjaga perpustakaan yang menepuk pundaknya.
"Apa yang kau lakukan disini, Nak? Jika kau mencari buku tentang robot rancang, buku itu telah berputar." Petugas perpustakaan memberitahu Asak dan pergi. Asak sama sekali tidak sadar jika rak telah berpindah, dia benar-benar hilang akal. Dan saat Asak kembali menoleh ke depan, kanvas itu telah lenyap, menyisakan dinding polos.
Biarlah itu menjadi rahasia Asak, dia juga tidak ingin mengingat kejadian minggu kemarin. Sepertinya dia mengalami halusinasi karena kurang istirahat atau itu hanya bunga tidur yang tidak sengaja terputar di otaknya karena dirinya tertarik ke alam bawa sadar. Asak tidak peduli, lebih baik dia menonton pertunjukan seni di arena kuning yang disulap menjadi tempat konser megah.
Panggung berbentuk setengah bola itu berdiameter lima puluh meter, di kedua sisi dan bagian atas panggung ada layar hologram raksasa yang menampilkan apa yang terjadi di panggung agar penonton di bagian belakang tetap bisa melihat idola mereka.
Cahaya lampu warna-warni di kegelapan membuat Asak menyipitkan mata, teriakan para penggemar juga membuat telinga Asal pegal bukan main. Jika bukan karena perempuan di sampingnya, Asak lebih memilih tidur di ranjang atau berdiam di perpustakaan bergerak untuk mencari solusi robotnya.
Asak duduk di tabung dengan tutup di bagian paling atas, jauh sekali dari panggung penampil. Dia tidak terlalu suka menonton konser, tetapi Mey menyukai itu. Perempuan berambut ikal sedang duduk di samping Asak, mata coklat penuh binar menatap panggung. Sedangkan Asak, dia lebih memilih memandang Mey.
"Asak lihat! Itu Thom!" pekik Mey senang, tangannya menggoyang-goyangkan lengan Asak. Pemuda itu menoleh ke depan, mata dan mulutnya terbuka lebar. Ada Thom disana, menari dan bernyanyi secara bersamaan. Rambut hitam yang biasanya berantakan karena ledakan robot yang gagal, kini tertata rapih. Riasan diwajahnya memperjelas bentuk mahakarya, Thom sangat tampan.
"Sejak kapan dia menjadi idol?" tanya Asak kepada Mey yang asik menggoyangkan kepalanya mengikuti irama. "Mey!" ucap Asak keras, Mey kalau sudah diberi tontonan pria tampan suka lupa diri. Mey menoleh, bibirnya mengerucut. "Sejak kapan Thom jadi idol?"
Kedua bola mata coklat milik Mey berputar malas. "Kau ini masih sama seperti dulu. Sekali-kali kau harus melihat infomasi terkini Asak, nikmati hiburan. Jangan robot, robot, dan robot terus, " dumal Mey kesal. Asak adalah tipikal pria tampan kudet, kurang update. Mungkin kalau persoalan teknologi dan ilmu pengetahuan Asak berada di depan, namun kalau perihal dunia hiburan. Jelas pemuda itu tertinggal jauh.
Thom menjadi seorang idol sejak usianya menginjak umur dua belas tahun, dia dikenal baik oleh kalangan penggemar maupun publik luas. Karakter yang periang, senyum manis, ramah dan mudah bergaul membuat karir Thom terus melonjak sampai sekarang. Tidak ada istilah naik daun untuk Thom, karena dari awal sampai sekarang, Thom selalu menjadi nomor satu. Dia sampai membintangi film dan iklan.
Jubah coklat milik Thom bukan karena dia menjadi seorang penyanyi, melainkan karena ayah Thom adalah seorang aktor legenda. Sistem kasta dan jubah memang sedikit rumit. Jika seorang gadis menikah dengan pemuda yang berbeda kasta dengannya, dia akan meninggalkan keluarganya dan mengganti jubah seperti milik suaminya. Entah kasta sang gadis menjadi lebih rendah atau lebih tinggi.
Asak masih menatap Thom yang kini sedang menyapa penonton, melambaikan tangan sembari berpose genit. "Aku ingin muntah, " ucap Asak saat Thom melakukan hal imut yang membuat para penonton perempuan berteriak senang dan meminta Thom melakukan hal itu lagi. "Aku tidak kuat, Mey." Tangan Asak memegang perutnya, mual melihat Thom yang biasanya pura-pura keren sekarang bertingkah layaknya bayi imut.
Konser berjalan selama lima jam, penampilan demi penampilan membuat Asak mengantuk. Tetapi dirinya tak bisa pergi dari tempat itu karena Mey tidak mau pulang, nasib sekali Asak harus menahan kantuk demi menonton hal yang tidak dia suka selama lima jam penuh.
"Terima kasih, Asak." Mey merangkul bahu Asak, kakinya berjinjit karena walau Asak lebih muda darinya, pemuda itu tinggi sekali. "Lain kali aku akan ajak kau pergi ke pameran lukisan, kau suka itu kan?" Mey menepuk pundak Asak pelan, mereka tertawa bersama.
"Berkencan, hah?" tanya Thom yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka berdua. Asak mencoba melepas rangkulan Mey, namun perempuan itu malah semakin merapatkan dirinya ke badan Asak.
"Mana ada, Thom. Aku dan Asak ini teman baik, dia adik yang pemarah, " ledek Mey sembari tersenyum lebar. Asak hanya bisa memasang wajah datar, Mey dalam mode seperti ini akan sangat terlihat menyebalkan. "Penampilanmu bagus, maaf kemarin tidak sadar dengan kehadiranmu. Aku kira kau murid biasa."
Tangan Thom mengibas angin kosong. "Tak apa, kau terlihat lelah kemarin. Sepertinya kau menyukai musik, mungkin kau mau main ke studioku jika libur akhir semester, " tawar Thom pada Mey, perempuan itu memekik girang dan mengangguk cepat. Thom memberi seringai kepada Asak, meledek pemuda yang kini terbakar cemburu.
"Tak perlu, Thom. Mey lebih suka bekerja di ruang medis." Asak melepas rangkulan Mey, berjalan menghampiri Thom dan merangkul bahu sempit itu. Perempuan itu hendak protes, namun Asak sudah lebih dulu membuka suara. "Aku duluan, Mey!" teriaknya sembari menarik Thom untuk kembali ke asrama.
Tubuh kecil Thom terseret-seret, dia mengaduh kencang karena Asak berjalan terlalu cepat. "Sakit bodoh!"
Bum, Thom memberi pukulan kosong lemah yang membuat Asak terpaksa melepas rangkulannya dan meringis. Thom merenggangkan badan, ditarik-tarik Asak membuat pinggangnya pegal. "Kalau cemburu jangan menyakiti dong! Aku hanya bergurau tadi."
Mata Asak membola sempurna. "Siapa yang cemburu? Aku hanya tak suka kau mendekati Mey dengan memanfaatkan kebolehanmu." Mendengar pernyataan Asak, Thom tersenyum aneh, dia menunjuk-nunjuk Asak dengan jemarinya.
"Asak suka Mey! Asak suka Mey!" teriak Thom sembari berlari cepat. Asak melotot marah, dia ikut berlari mengejar Thom. Pemuda berjubah coklat itu terus berteriak di sepanjang jalan menuju cangkir, membuat semua murid memandang mereka aneh.
"THOM!"