Sepanjang perjalanan menuju sekolah baru Alana, hanya suara ibu yang mendominasi, mengoceh tiada henti, itulah kegiatan ibu seakan tak pernah lelah.
"Kau harus mendapatkan peringkat pertama Alana sama seperti waktu SMP, OK!!, juga sering-seringlah menghubungi ibu setiba disana" Kali ini suara ocehan ibu kembali terdengar, Ayah yang saat ini sedang mengemudi mobil tampak terkekeh mendengar ocehan ibu, seakan itu melodi indah. Sedang Bayu, adik Alana tampak mengacuhkan ibunya sedari tadi dengan menyibukan diri bermain game. Mendengar ocehan yang tertuju padanya, sontak Alana menghela nafas, ini sudah kesekian kalinya. Akhirnya, Alana mengambil earphone berwarna putih dari tas punggungnya, mulai melakukan kegiatan yang serupa dengan ayah dan adiknya, apalagi kalau bukan mengacuhkan ibu.
"Nah, begini anak zaman sekarang, dibilangin malah ngeyel" Kata ibu Alana ketika melihat Alana mengambil earphone. "Kau juga Bayu, jangan asyik bermain game terus menerus, belajar yang rajin agar tidak mengecewakan ayah dan ibu" Kata ibu sambil mencubit gemas hidung Bayu, bocah berumur 10 tahun itu. Bayu tampak tak terganggu akan perlakuan yang ibunya berikan barusan, Ia bahkan masih bisa fokus walaupun ibu dengan gencar mengganggunya. Tampak Bayu yang kini menatap layar ponselnya dengan kedua tangan disisi ponsel tersebut.
"AAAAAAAAAAAA" tiba-tiba saja bocah tengik itu, maksudnya Bayu berteriak hingga membuat enam pasang mata menatapnya dengan raut terkejut dan bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Bayu dengan raut sok polosnya tampak terkekeh sambil menahan malu. " Maaf, aku kalah main game, hehehe" Bayu terkekeh hingga memperterlihatkan deretan gigi putihnya. Mendengar klarifikasi dari Bayu, sontak semua orang di dalam mobil menghela nafas menghadapi bocah tengik yang satu ini. Hingga keadaan kembali hening dan damai dari ocehan ibu. Bagi Alanah ayahnya adalah sopir yang paling sabar. Ayah yang terlihat fokus menyetir sesekali melirik ke samping dan belakang untuk memastikan keadaan keluarganya. Lalu, ibu yang kali ini tampak telah terlelap di samping kursi pengemudi. Sedang Bayu yang kembali memainkan game online kesayangannya, dan Alana yang kini tengah mendengarkan lagu Allan Walker yang berjudul "Lily" salah satu lagu favorite nya, sesekali Alana membenarkan letak earphone nya. Alana lebih memilih mendengarkan lagu sambil menatap pemandangan yang sedang dilewatinya menuju sekolah baru yang akan ditempatinya. Syukurlah kali ini tak ada ocehan merdu dari Ibunya, yang membuat fokus Alana melihat pemandangan yang sedang dilewati. Tak ada yang tampak istimewa, itulah pemikiran Alana ketika melihat pemandangan, gedung-gedung pencakar langit dan beberapa orang yang berlalu lalang. Suasana kota yang padat nan sesak bukanlah hal menarik. Tapi lebih baik melihat pemandangan daripada mendengar suara merdu ibunya, bukan begitu ?
Sebenarnya Alana sangat betah tinggal di rumah milik orangtuanya, perumahan di kawasan elit "Citra Raya City" dengan pemandangan hijau disekitarnya udara yang sejuk lingkungan yang mendukung juga tetangga yang ramah, apalagi dilengkapi dengan fasilitas yang memadai. Rumah dengan luas tanah 190 persegi dan luas bangunan 124 meter persegi. Empat kamar tidur, dua kamar mandi dan tidak dijual. Itu adalah rumah yang telah Ia dan keluarganya tempati selama lima belas tahun terakhir. Sejak kecil Alana sudah beradaptasi disana, hingga Ia secara tidak langsung sudah terbiasa. Setelah Alana pikir, tidak ada salahnya juga Ia berjauhan dengan orangtuanya secara tak langsung Ia akan belajar menjadi pribadi yang mandiri, melakukan banyak hal yang mungkin tak pernah ia bayangkan, atau sekedar mencari pengalaman baru, tak lupa teman dan lingkungan baru pula. Dalam hati, Alana berharap Ia akan betah di sekolah baru.
Terlarut dalam pikirannya sendiri, hingga tak sadar Alana kini terpaku sambil merdecak kagum melihat pemandangan yang terpampang kian jelas. Kini, bukan lagi pemandangan kota dengan gedung pencakar langit. Matanya kini membulat, jendela mobil yang tadinya ditutup rapat, kini Ia buka, Udara segar seketika menerpa wajahnya hingga membuat lengkungan bulat sabit di bibirnya, angin sepoi-sepoi berhembus hingga membuat rambut hitam Alana tampak sedikit berantakan. Beberapa kali Alana merapikan rambutnya, tapi netra nya masih fokus melihat keindahan yang tersaji di depannya.
"Ayah, ini dimana?" Tanya Alana yang tak bisa mencegah rasa penasaran. Sepertinya bukan hanya Alana yang merasa kagum akan keelokan alam kawasan ini, begitupun dengan Ibu dan adiknya, Bayu. Buktinya, ibu yang beberapa menit yang lalu telah terbangun dari tidur lelapnya kini juga menatap pemandangan diluar begitupun Bayu, Ia bahkan menghentikan sementara game online kesukaannya, handphone miliknya kini Ia letakan di sampingnya.
"Kawasan sekolah barumu, sebentar lagi kita akan sampai" Jawab ayah yang menghilangkan rasa penasaran Alana. Alana terdiam, sedikit rasa tidak percaya bahwa sekolah baru yang menantinya akan sekeren ini. Ia sempat berpikir bahwa sekolah barunya di pelosok mengingat bagaimana sikap ayahnya.
Tak berselang lama, mobil milik ayah Alana berhenti tepat di depan gedung bergaya klasik, terlihat seperti sekolah anehnya lagi, Alana bahkan tak mengetahui nama SMA yang akan ditempatinya selama tiga tahun mendatang. Alana, Ibu dan Bayu masih berada di dalam mobil sedang Ayah kini terlihat mengobrol dengan seorang satpam. Dilihat dari gesture tubuh ayah sepertinya ayah Alana sedang menanyakan sesuatu pada satpam tersebut. Alana mengamati gedung bergaya klasik di depannya melalui jendela mobil. Sekolah ini sepertinya memang di desain khusus bergaya eropa klasik. Kini, Alana melirik kearah ayahnya, entah apa yang dibicarakan ayah dan satpam itu, hingga tak lama kemudian ayah berjalan dengan sedikit tergesa menuju ke mobil. Tak lama kemudian, ayah kembali menyalakan mesin mobil memasuki wilayah gedung tersebut hingga terpampanglah sebuah tulisan yang menjawab terkaan Alana.
"SELAMAT DATANG DI SMA TARUNA BANGSA" Ayah dan ibu berujar serempak sambil melirik Alana sekilas yang menimbulkan keheranan dari kakak beradik tersebut, tapi tak berselang lama Alana kembali menormalkan raut wajahnya, raut datar nan mengundang kemisteriusan. Alana kembali berdiam diri tanpa dalih, walau sebenarnya tak ada sepi yang sanggup bertutur rapi. Ya, sepertinya rasa penasaran Alana usai terjawab inilah sekolah yang akan ditempatinya, sekolah berasrama. Namun pantang bagi Alana untuk melumur asam di wajahnya pun menanak dengki di hatinya. Sebab itu Ia mencoba menerima segala ketentuan dan pilihan yang telah di gariskan kedepannya.