Orangtua Tessa kini berlari di koridor menuju ruang IGD di salah satu rumah sakit, mereka yang masih menggunakan pakaian kerja itu menghampiri tempat dimana Jihan berada.
"Tante Anne, ini tas sekolah Tere." kata Jihan sambil memberikan tas sekolah milik Tessa yang tadi diantarkan oleh Rosa ke rumah sakit.
"Ji, kabar Tere gimana?" Tanya Mama Anne dengan khawatir.
"Dokter belum keluar dari tadi." kata Jihan membuat kaki Anne lemas rasanya.
"Ma, tenang. Papa yakin, Tere baik-baik aja," kata Papa Andrew sambil mengelus pundak istrinya lembut.
Pandangan Mama Anne kini beralih pada laki-laki yang dari tadi masih setia disebelah Jihan, "Tante kayanya gapernah liat kamu deh, nama kamu siapa?"
Laki-laki itu tersenyum tipis, "Saya Justin Seagull, Tante."
Justin mencium punggung tangan kedua orangtua Tessa dengan sopan, "Tante, Om. Saya mau minta maaf karna kecerobohan saya sendiri,"
"Tidak apa-apa, ini semua kecelakaan. Tapi lain kali, kamu harus lebih hati-hati," kata Papa Andrew sambil menepuk pundak Justin.
"Baik om, siap." kata Justin sambil membalas senyuman kedua orangtua Tessa.
"Tante, mau saya beliin minuman hangat?" tawar Justin membuat Anne mengangguk dan berterimakasih.
Justin pun akhirnya pergi ke arah kantin rumah sakit, sebenernya dia bener-bener ngerasa gaenak hati sama orangtua Tessa. Justin ga nyangka kalau kedua orangtua Tessa sebaik itu sama dia, padahal ekspetasi nya dia bakal dimarahin abis-abisan.
"Jihan, lebih baik kamu pulang sayang. Kasian orangtua kamu khawatir nanti," kata Mama Anne membuat Jihan mengangguk dan pamit pulang dari sana.
15 menit kemudian, dokter keluar dari ruang IGD membuat Andrew dan Anne segera menghampirinya.
"Dok, gimana keadaan anak saya?"
Dokter tersenyum tipis, "Teressa baik-baik saja, karena pantulan bola itu hanya mengenai perut bagian bawahnya. Jadi hal tersebut bukan masalah yang fatal dan membahayakan untuk kanker rahimnya,"
"Kalau begitu, saya permisi." ucap Dokter lagi lalu meninggalkan kedua orangtua Tessa yang masih diam mematung.
"Ga mungkin," lirih Mama Anne sambil menangis.
Andrew segera memeluk tubuh istrinya, mencoba menenangkannya. Jujur, sebenarnya ia juga masih tidak percaya bahwa Tessa kanker rahim?
"Aku ibu yang buruk," ucap Mama Anne sambil memukul-mukul dada bidang suaminya, ia mencoba untuk mengurangi rasa sesak di hatinya.
"Kamu jangan bicara kaya gitu, Anne." kata Papa Andrew lalu mengeratkan pelukannya.
"Mas, aku berhenti kerja ya? Aku mau fokus rawat Tessa di rumah," ucap Mama Anne dibalas anggukan oleh suaminya.
Di tempat lain, ada Justin yang diam mematung, dia juga mendengar ucapan dokter tadi. Walaupun dia tidak mengenal Tessa, tapi dia yakin kalau gadis itu adalah orang yang baik hati. Akh, dia semakin merasa bersalah.
Justin melangkahkan kakinya mendekat, berpura-pura seakan ia tidak mengetahui apapun. "Tante, ini minuman nya."
"Terimakasih ya Justin," ucap Mama Anne dengan suara bergetar, ia menerima minuman pemberian Justin.
"Kamu sebaiknya pulang saja, sudah sore." ucap Papa Andrew membuat Justin mengigit bibir bawahnya tidak enak hati.
"Tapi om--"
"Kamu kan bisa kesini lagi besok, Jangan khawatir Teressa akan baik-baik saja," Justin pun akhirnya mengalah, dan pamit pulang dari sana.
***
Anne maupun Andrew kini sudah berada didepan pintu kamar inap Tessa, tapi tidak ada satupun dari mereka berani masuk ke dalam sana untuk menemui putri mereka yang belum siuman.
"Mama, Papa!" Teriak Natha di koridor, laki-laki itu kini memeluk kedua orangtua Tessa dalam satu pelukan.
"Aduh, Nath. Sesek napas nih papa," protes Papa Andrew membuat Natha melepaskan pelukannya.
Laki-laki itu kini beralih hanya memeluk Mama Anne, membuat Papa Andrew berdecak kesal.
"Lah, kenapa jadi Mama doang yang dipeluk," ucap Papa Andrew membuat Anne menyuruhnya diam.
Setelah dirasa Natha sudah cukup tenang, Mama Anne melepaskan pelukannya sambil mengusap air mata lembut.
"Ya ampun, Natha. Mata kamu kaya abis disengat tawon tau, bengkak." celetuk Mama Anne membuat Natha cemberut.
"Mama, jangan ledekin aku dong," rengek Natha lagi, dia kalo udah nangis sifat manjanya pasti keluar.
"Aku tuh sebenernya malu tau mau nangis," Kata Natha lagi membuat kedua orangtua Tessa tertawa, mereka bersyukur karna masih ada Natha yang selalu bisa mencairkan suasana. Natha itu memang moodboster semua orang, terutama Teressa.
"Tere baik-baik aja, Nath. Kamu jangan khawatir," ucap Mama Anne, sebenarnya berat untuk mengungkapkan kata-kata itu.
"Maaf, karna Natha ga becus jagain Tessa," lirih Natha lalu kembali menangis.
Mama Anne dan Papa Andrew segera membawa Natha kepelukan mereka. "Disini ga ada yang salah, Natha."
***
Natha sama sekali tidak berkutik dari tempatnya, ia duduk disamping ranjang Tessa sambil menggenggam tangan gadis itu. Kini salah satu tangannya bergerak menyentuh pipi kiri Tessa, dia berkali-kali mengucapkan kata maaf di dalam hatinya. Natha benar-benar merasa bersalah karna sudah berani menampar wajah gadis yang kini belum saja siuman.
"Natha, kamu pulang aja sana," Natha segera menyeka air matanya saat Mama Anne menepuk pundaknya.
"Engga mah. Mama sama Papa aja yang pulang, istirahat di rumah. Biar Natha yang jaga Tessa di rumah sakit, kasian Mama sama Papa kalo harus tidur di sofa,"
"Nanti kalo bunda kamu marah gimana?"
Natha cemberut, "Boro-boro bunda marah, Natha baru ngabarin Tessa masuk rumah sakit aja Natha yang malah disuruh jagain Tessa disini,"
Mama Anne terkekeh.
"Jadi, sekarang Mama sama Papa pulang aja ke rumah."
"Bener?" Tanya Papa Andrew.
Natha mengangguk, "Oh iya, Bunda sama Ayah otw dari Bandung nya besok pagi katanya,"
"Yaudah, kalo gitu Mama sama Papa pulang ya? besok pagi kita kesini lagi sekalian bawain barangnya Tere," kata Mama Anne yang dibalas anggukan oleh Natha.
***
Tengah malem, Tessa siuman. Pandangan gadis itu kini beralih pada Natha yang ternyata ketiduran di kursi samping ranjangnya, perlahan dia mengelus rambut hitam Natha dengan lembut. Jujur, Tessa merindukan Natha yang dulu.
Karena merasa tidurnya terganggu, Natha membuka matanya perlahan. "Tessa?! Lo udah siuman? gimana? ada yang sakit? kalo ada bilang aja ke gue, atau gue harus panggil dokter? lo gapapa kan?"
Tessa melongo, "Nge-rap lo Nath?"
Natha menghela nafasnya berat, "Tess, jangan bercanda dulu, gue beneran khawatir sama lo."
Tessa senyum tipis, "Gue gapapa, puas lo?"
"Beneran? Ada yang sakit?" Tessa menggeleng.
Hening menyelimuti mereka berdua yang masih nyaman bertatapan satu sama lain, saling menyalurkan rasa ketenangan diantara keduanya.
"Maaf," ucap Natha tiba-tiba.
"Kayanya lo deh Nath yang sakit, sakit jiwa." celetuk Tessa asal.
"Gue serius,"
"Ya lagian lo ngapain coba tiba-tiba minta maaf,"
Natha terdiam sebentar, "Maaf soal Hani, ternyata ucapan lo bener kalo dia selingkuh dari gue. Gue bener-bener ngerasa bersalah sama lo, Tess. Harusnya gue percaya sama lo,"
"Udah Nath, gapapa." kata Tessa lembut sambil mengelus punggung tangan Natha.
Mau sekesel apa Tessa ke Natha, tapi kalo Natha udah nyesel sama perbuatannya dan minta maaf, pasti Tessa bakal maafin. Karna menurut Tessa yang paling penting itu Natha udah menyadari kesalahannya dan ga bakal ngelakuin hal itu lagi.
Pas Tessa bilang gitu, Natha malah nangis.
"Eh eh, Nath. kok malah nangis sih? kan gue udah maafin," kata Tessa panik, dia nepuk-nepuk pundak Natha.
"Maka dari itu gue nangis," rengek Natha.
"Hah?"
"Lo tuh kenapa baik banget sih,"
"Ya terus, lo gamau dimaafin sama gue gitu?" Natha menggeleng membuat Tessa menghela nafasnya.
Natha terkekeh, dia juga bingung. Dia tuh cuma ngerasa bersalah aja sama Tessa karna udah nyakitin cewe sebaik dia, tapi disisi lain dia mau dimaafin sama Tessa.
"Gini Nath, selagi lo mengakui kesalahan lo sendiri itu udah cukup buat gue. Tapi lo harus janji ga bakal ngelakuin hal itu lagi," kata Tessa membuat Natha mengangguk.
"Janji," ucap Natha sambil mengaitkan kelingkingnya dengan jari Tessa.
"Yaudah sekarang lo tidur, udah malem." ucap Natha sambil menyelimuti tubuh gadis itu.
"Selamat malam, Nathanael." kata Tessa sambil menatap Natha yang tiduran di atas sofa.
"Selamat malam juga, Terenosaur." Balas Natha sambil terkekeh, membuat Tessa berdecak.
Natha mengulum senyum melihat wajah Tessa yang kini sudah menutup matanya, dia dan Tessa memang tidak pernah diizinkan untuk bertengkar dalam kurun waktu yang lama.