Chereads / Menikah dengan Mantan / Chapter 11 - Bab 11

Chapter 11 - Bab 11

Dokter dan suster ke luar dari kamar rawat Qia dan Kenan pun segera menghadang langkah dokter.

"Dok, bagaimana keadaan pasien di dalam?"

"Anda siapa, ya?"

"Saya ... em, saya calon suaminya," jawab Kenan sedikit ragu.

"Oh, kalau begitu, mari ikut saya," ucap si dokter dan ia pun berjalan terlebih dahulu.

Kenan berjalan di belakang sang dokter, sampai di ruangan si dokter, ia pun duduk di kursi depan meja dokter. "Jadi, bagaimana ke adaan calon istri saya, Dok?"

"Nona Ananta mengalami trauma yang menyebabkan dirinya berusaha untuk melakukan bunuh diri. Kami sudah meminta psikiater untuk menangani Nona Ananta," jawab dokter.

"Apa dia bisa sembuh?"

"Kita akan berusaha untuk membantu Nona Ananta. Saat ini dukungan keluarga sangat di perlukan untuk membantu Nona Ananta sembuh dari traumanya."

Kenan hanya diam mendengar penjelasan dokter lebih lanjut. Selesai dengan dokter, ia pun pergi ke ruang rawat Qia. Perlahan ia membuka pintu ruangan yang di tempati Qia, cukup lama ia di depan pintu memandangi tubuh Qia yang hanya terbaring dengan selang inpus yang menancap di punggung tangannya. Dengan langkah ragu ia pun berjalan menghampiri brankar Qia. Ia benar-benar tidak tahu dengan tubuhnya yang ingin mendekat ke arah Qia. Pikirannya menolak untuk mendekat tapi tubuhnya memintanya untuk mendekat.

Wajah pucat dengan bibir kering itu yang ia lihat di wajah Qia. Ingatan tiga hari lalu saat dirinya terakhir bertemu dengan Qia kembali melintas di benaknya. Wajah pucat dan mata cemas itu terlintas. "Apa yang terjadi padamu?" tanyanya seraya menatap Qia yang masih memejamkan matanya.

Ia menarik kursi dan duduk di samping brankar Qia. Ia melihat luka sayatan dan perban di pergelangan tangan Qia. Kenan terus memandangi Qia yang tertidur lelap karena obat penenang.

Ia berdiri dan memutuskan untuk mengisi perutnya, malam ini ia akan menemani Qia di rumah sakit. Selesai mengisi perutnya ia kembali ke ruangan rawat. Dering telpon yang sedari tadi mengusiknya ia abaikan, padahal yang menelponnya adalah Raka. Dia masih kesal karena Raka begitu mengkhawatirkan Qia, tidak mempedulikan dirinya yang cemburu.

Sekitar pukul sebelas malam matanya sudah mulai mengantuk, karena tidak ada brankar lain atau pun sofa Kenan pun tidur dengan posisi duduk. Ia menumpukan kepalanya di tempat tidur dengan satu tangan menjadi bantalnnya.

Sekitar pukul 01.25 dini hari perlahan mata Qia mulai terbuka. Matanya menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Ia mulai bangun dari tidurnya dan dengan kasar melepaskan inpusnya. Darah segar pun mulai mengalir dari punggung tangannya. Seperi tidak mearasakan apapun Qia turun dari tempat tidur tanpa ekspresi. Tatapan matanya begitu kosong dan pergerakannya di rasakan Kenan yang perlahan membuka matanya.

Ia mengerjapkan matanya untuk menyesuaikan pencahayaan yang masuk ke matanya. Ia membulatkan matanya saat melihat Qia kini sudah berdiri dan siap untuk melangkahkan kakinya. Baru selangkah Qia berjalan dengan cepat Kenan memegang lengan Qia membuat langkah Qia berhenti dan menoleh ke arahnya. "Mau kemana kamu?" tanya Kenan begitu dingin.

Qia mengerjapkan matanya beberapa kali, "Kak, Ken," panggilnya dengan suara lirih.

Kenan terdiam mendengar panggilan yang di lontarkan Qia padanya. "Kak, Ken," panggil Qia lagi dengan suara lirihnya.

Mata Qia mulai berkaca-kaca dan tanpa terasa air matanya ke luar begitu saja dari sudut matanya. "Kak, Papa, Mama dan Kak Nat-nat udah meninggal," ucapnya dengan suara lirih dan air matanya yang semakin membasahi wajahnya.

"Andai Tata menyelamatkan mereka, Tata enggak akan sendirian di dunia ini. Semua salah Tata, semua salah Tata," ucapnya yang kini mencengkram kerah kemeja Kenan dan ia mendongak menatap wajah Kenan tanpa ekspresi itu.

"Semua salah Tata," lirihnya lagi yang kini menundukkan kepalanya. Ia menangis sambil memegang erat kerah kemaja Kenan. Tangan Kenan terangkat untuk menyentuh puncak kepala Qia, tapi tangannya kini hanya diam tanpa menyentuh. Pemikirannya sedang bertarung dengan egonya, di satu sisi ia tidak menyukai wanita dan untuk apa ia peduli dengan Qia yang bukan siapa-siapanya. Di sisi lain, melihat Qia serapuh ini membuatnya ingin memeluk Qia. Entah apa yang terjadi pada dirinya hingga bisa merasakan hal seperti ini pada Qia.

Tiba-tiba Qia menghentikan tangisannya dan tangannya pun sudah terlepas dari kerah kemejanya yang terlihat merah karena darah dari punggung tangan Qia yang belum berhenti ke luar. Qia menghapus air matanya sambil mendongak menatap Kenan. "Maaf, Kak, Tata nangis lagi. Padahal Kakak udah sering bilang jika Kaka enggak suka dengan wanita yang cengeng," ucap Qia yang berusaha tersenyum.

"Benar kata Kak Aurora, Tata enggak pantas jadi pacar Kak Ken. Cewek manja dan cengeng seperti Tata cuma cocok jadi pacarnya cowok culun," ucapnya dengan senyum terpaksanya.

"Maafin Tata, Kak," ucapnya dan ia membalikkan tubuhnya untuk pergi. Tubuh Qia yang masih belum sehat beberapa kali terjatuh.

Kenan masih terdiam di tempatnya, ingatannya di tarik ke masa lalu mendengar ucapan Qia barusan.

***

Seorang gadis yang memakai baju putih abu-abu dengan kuncir duanya yang di pita dengan pita merah putih dan kalung permen di lehernya menghampiri Kenan yang sedang duduk di kursi yang ada di bawah pohon rindang membaca bukunya. "Kak, boleh minta tanda tangan, enggak?" tanya gadis itu dengan senyum cerianya.

Kenan langsung mendongak dan menatap gadis itu dengan tatapan datar. Setelah itu ia kembali membaca bukunya. "Kak, cuma sebentar aja, loh, tanda tangan, enggak sampai semenit selesai," ucap gadis itu sambil mengulurkan buku dan pena ke hadapan Kenan.

"Gadis rendahan!" maki Kenan yang sudah berdiri setelah itu ia melangkah pergi meninggalkan gadis itu.

Gadis itu menundukkan kepalanya takut dan tidak lama suara isak tangisnya terdengar membuat langkah Kenan terhenti. Kenan terdiam di tempatnya berdiri sambil mendengar suara tangisan gadis itu yang semakin kuat di telinganya. Ia mengepalkan tangannya kuat kemudian membalikkan badannya dan segera melangkah mendekati gadis itu. Sampai di samping gadis itu, dengan kasar ia megambil buku dan pena yang di bawa gadis itu.

Ia menandatangani buku itu dan tidak lupa dengan namanya. "Nih, ambil!" ketusnya sambil mengulurkan buku dan pena gadis itu. Gadis itu mendongak dan menerima bukunya. "Jangan menangis di depanku dan mucul di hadapanku lagi!" peringat Kenan tegas kemudian ia membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi dari sana.

Gadis itu mulai menyunggingkan senyumnya dan senyuman itu semakin lebar seiring punggung Kenan yang menghilang di balik tikungan. Seorang pria dengan seragam SMA yang kancingnya sudah terbuka semua itu berdiri di belakang tubuh gadis itu. Kepalanya sudah di samping wajah gadis itu dan menatap ke arah depan. "Lo sawan, ya?" tanyanya tiba-tiba membuat gadis itu terkejut hingga ia jatuh terduduk.

"Kak, Nat-Nat!" teriaknya kesal sambil mendongak menatap pria di hadapannya.

Pria yang di panggil Nat-Nat itu membantu si gadis berdiri kemudian membantu membersihkan rok belakangnya yang sedikit kotor. "Kenapa deh, lo, senyum-senyum sendiri?" tanya pria yang di panggil Nat-nat itu.

"Tahu, enggak, Kak?"

"Gak, tahu," potong pria itu.

"Gua belum selesai ngomong!" kesal si gadis.

"Terus?" Si gadis memutar malas bola matanya medengar pertanyaan kakanya.

"Dih, adek gak sopan. Di tanya malah mutar bola mata!" cibir si pria.

Si gadis kembali tersenyum dengan matanya berbinar ketika mengingat Kenan, lelaki dingin tapi membuatnya malah merasakan hal yang tidak biasanya. "Gua tadi ketemu cowok yang super ... tampan."

"Tampan?" tanya Kakanya mengernyitkan dahinya. " Ngigo, lo! Mana ada cowok tampan di SMA ini kecuali gua, Nathan Putra Mahakam!"

"Dih, PeDe banget, Lo!" ketusnya dan ia pun memilih pergi meninggalkan kakaknya yang obatnya sepertinya sedang habis.

"Ya, Tatakan gelas!" teriak Nathan memanggil adiknya yang memiliki nama lengkap Ananta Putri Sidqia.