Chereads / implicit: it's just you and me / Chapter 2 - Dibalik kacamata itu.

Chapter 2 - Dibalik kacamata itu.

Aku sudah sangat terlambat. Bukan berarti terlambat masuk ke kelas, tapi aku tidak pernah datang selama ini. Sekarang pukul 06.25 Aku datang tepat sebelum bel masuk kelas. Saat aku masuk ke kelasku, perhatian semua orang tertuju padaku.

Aku bingung.

Lalu aku melanjutkan langkah kaki. Ternyata di ujung kelas, sudah ada Rey yang duduk tepat disebelah tempat dudukku. Aku datang menghampirinya, lalu aku duduk di bagian kiri sedangkan dia di kanan.

"Selamat pagi, Hana" Ujarnya.

"Pagi.., kenapa deh semua orang ngeliatin aku begitu banget.."

"Soalnya kamu cantik hari ini"

Aku tersipu.

"Te-terima kasih.., tapi seriusan deh kenapa dengan mereka?"

"Oh., mereka mengira kita pacaran"

"Oalah, engga heran sih"

Tidak. Kami tidak pacaran.

Aku paham mengapa mereka mengira kami pacaran. Aku sudah terbiasa dengan hal itu. Guru mulai masuk, Pelajaran mulai dimulai. Tapi entah mengapa, rasanya biasa saja. Tidak ada sesuatu yang kurasakan seperti di anime-anime. Apa aku yang sudah gila?

Pelajaran demi pelajaran telah dilewati, karena bosan aku mulai melirik ke kananku, perlahan aku lirik. Tangannya yang tergeletak di meja itu mulai terlihat, lalu bahunya, dan rambutnya terlihat. Dia sedang tertidur. Aku belum pernah melihat cowok tidur di kelas sedekat ini sebelumnya, wajahnya menghadap ke tembok, aku tak bisa melihat. Aku pun tersadar, bahwa ini lah yang menyebabkan Rey sering mendapatkan nilai jelek. Ya, sebelum seks dengan dia hari itu aku sempat mencari tahu hal tentang dia, dan kuingat adalah cowok yang seringkali dipanggil ke ruang BK. Bukan karena bandel, tapi karena sering tidur di kelas dan nilainya yang buruk.

Aku teringat sesuatu.

"Oh jangan-jangan!"

Bel istirahat berbunyi, Rey terbangun karena bel itu. Dia menunjukkan wajahnya yang berantakan itu ke hadapanku.

"Eh? Udah istirahat?" Tanya Rey.

"Sudah." Jawabku.

Dia langsung tersadar dan berdiri.

"Gawat! Harus duluan ke kantin sebelum kehabisan mie ayam!"

"Yaudah sana."

"Ayok bareng!"

"Engga, aku mau nyelesaiin catatan dulu"

"Kalau gitu, mau nitip sesuatu?"

"Oh yaudah, bubur deh"

"Oke, tapi jangan nungguin ya, soalnya aku makan dulu dibawah!"

Dia pun pergi meninggalkan kelas dengan terburu-buru. Aku pun kembali menyelesaikan catatan matematika ini. Tidak lama setelah selesai, Rey datang dengan membawa 2 mangkuk bubur di tangannya.

"Loh? Gajadi makan di bawah?" Tanyaku.

"Engga. Udah kehabisan." Sahutnya.

Kami lalu menyantap bubur yang masih hangat itu. Aku selesai, tapi dia tidak. Entah kenapa dia berhenti makan dan menyisakan setengah porsi. Lalu aku melihat wajahnya, mulai memerah dan muncul bintik-bintik. Aku panik. Sekelas pun panik, cowok-cowok lalu membawanya ke ruang UKS. Aku terbingung apa yang terjadi pada Rey.

Aku lalu teringat harus mengembalikan mangkuk ke kantin menggantikan Rey. Setelah sampai di kantin aku melihat ada seseorang membawa 2 mangkuk mie ayam dari kedai mie ayam ke meja kantin. Aku pun penasaran dan menghampiri kedai mie ayam itu. Padahal cuma ada satu kedai Mie Ayam.

Aku melihat masih banyak stok mie ayam yang terdapat di kedai itu. Ibu penjual mie ayam sadar aku memperhatikan kedainya.

Ibu itu lalu menegurku.

"Apa nak? Mau pesen mie ayam?"

"Eh? Engga Bu. Stok mie ayamnya masih banyak ya Bu?" Tanyaku.

"Masih nak, mau pesen?"

"Tapi tadi kata temenku udah habis Bu"

"Boro-boro habis, nak. Sepi malah. Gara-gara ada kedai ayam geprek baru di ujung Sono noh!" Gerutu ibunya.

Apa apaan itu?

Maksudnya apa sih?

Rey bohongin aku.

Tapi buat apa? Apa untungnya buat dia?

Aku lalu meninggalkan kantin dengan bingung dan mencoba menarik benang merah dari semua ini, mencoba mengerti apa yang sebenarnya Rey maksud.

Ah sial. Aku engga ngerti.

Malah jadi makin pusing mikirinnya. Dari kantin aku langsung pergi menuju UKS, aku khawatir dengan apa yang terjadi dengannya. Saat sampai di sana cowok-cowok kelasku melihat kepadaku, lalu pergi meninggalkan UKS. Aku lalu melihat Rey yang terbaring di kasur UKS.

Aku memegang kepalanya, terasa panas.

"Kamu kenapa Rey?" tanyaku.

"Ah, gapapa kok" sahutnya.

Tidak lama seorang wanita dewasa menghampiri kami.

"Ah kamu pasti pacarnya Rey ya?"

"Eh Bu, ah iyaa..." Sahutku dengan tergagap.

"Kamu jadinya gimana? Mau pulang aja?" Tanya Perawat itu ke Rey.

"Ah iya.., boleh tuh.." sahut Rey.

Perawat itu menyuruhku untuk memesankan ojek daring ke rumah Rey, Rey lalu memasukan alamat rumah nya ke aplikasinya di teleponku. Aku pergi ke kelas untuk membereskan barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam tas, lalu tasnya aku bawakan.

Aku lalu menemaninya dan mendampinginya ke gerbang sekolah hingga ojeknya sampai. Setelah ojeknya sudah berangkat tiba-tiba perawat tadi datang dengan tergesa-gesa.

"Loh?? Udah pergi Rey?" Ujarnya dengan nafas tersendat-sendat.

"Udah, baru aja. Ada apa?"

"Ini obatnya ketinggalan...hmmm.... Kalau begitu aku titipin ke kamu aja ya. Nanti kamu berikan kerumah nya"

Aku pun mengiyakan.

Namun saat aku kembali ke kelas, aku tersadar sesuatu.

Aku engga tau rumahnya di mana.

"Aku tanya di Line aja ya" ujarku sambil membuka teleponku.

Tapi aku tidak mempunyai kontaknya.

"Oh iya! Riwayat pengantaran! Ada di aplikasi ojek daring.."

Dan aku menemukan alamatnya.

*****

Sore harinya setelah pulang sekolah aku menelusuri alamatnya, aku belum berganti baju, masih memakai seragam sekolah. Ternyata rumahnya tidak begitu jauh dari rumahku.

Aku telah sampai di lokasi Rey menurut aplikasi ini. Tapi apa yang ada di depan ku adalah sebuah gang yang matahari tidak sampai menyinarinya.

Saat aku menelusuri nya, aku bertemu seorang lelaki dewasa yang sedang duduk di pos, lalu aku memutuskan untuk bertanya.

"Ah, pak. Maaf, mau tanya. Rumah Rey di mana ya?"

"Hah? Rey? Ga kenal." Jawab lelaki itu.

"Ah, maksudnya Reyan. Reyan Aditya.."

"Reyan? Maksudnya Reyhan?"

"Ah iya itu maksudnya pak"

Orang itu menunjukkan jalannya. Apa yang ditunjukkannya adalah sebuah kosan yang ada di dalam gang itu. Kamar Rey ada di paling ujung dari kosan itu. Aku mengetuk pintu, awalnya tidak ada jawaban. Saat aku mengetuk kedua kalinya, pintunya terbuka. Aku melihat Rey sedang dalam mode santainya. Ya hanya memakai kaos dan celana pendek. Kelihatannya dia sudah membaik. Rey mempersilahkan aku untuk masuk, aku lalu duduk lesehan di lantai. Walaupun kosan yang terkesan kecil, ternyata di kosan ini ada AC.

"Jadi, kamu kenapa kesini?" tanya Rey.

"Aku kesini karena obatmu ketinggalan" jawabku.

"Oh ya, makasih ya.."

Aku mencoba berbasa-basi.

"Ngomong-ngomong, saat aku mencari alamatmu, ada bapak-bapak yang ngasih tau jalan. Tapi dia tahunya kamu Reyhan, bukan Reyan. Sebenernya kenapa deh?" Tanyaku.

"Oh itu. Ya maklum aja, orang-orang sini kearifan lokalnya kental banget, jadinya mungkin gabiasa nyebut Reyan."

"Hmm, begitu..."

"Iya."

Aku bingung mau bicara apa lagi. Entah kenapa rasanya aneh. Aku seringkali melihat cowok telanjang, tapi saat aku datang kerumahnya, rasanya seperti aku pertama kali ke rumah cowok.

Aku masih canggung.

Dia lalu berdiri dan menggunakan celana panjang.

"Aku mau ke warung dulu ya." Ujarnya.

"O-oke"

Dia lalu keluar dan menutup pintunya. Aku mulai memperhatikan kamarnya, tidak ada yang spesial sih. Seperti kamar cowok pada umumnya, lalu aku melihat sesuatu di meja. Aku rasa itu kamera, seperti kamera yang lumayan mahal. Lalu aku melepaskan kepangan di rambutku dan membiarkan tergerai. Aku merasa gerah walaupun sebenarnya ruangan ini dingin.

Tak lama, pintu terbuka. Aku mengira itu Rey, ternyata bukan.

Itu adalah seorang wanita.

"Eh? Kamu siapa?" Tanya wanita itu.

Aku panik. Aku harus menjelaskan apa?

"Halo Rena, baru datang?" Ujar seseorang di balik pintu itu..

Ternyata itu Rey. Aku lega, hampir saja aku terasa terancam. Rey dan wanita itu berbicara di luar, entah apa yang dibicarakannya. Setelah itu wanita itu pergi dan Rey membawa seloyang pizza di tangannya.

"Rey, ah, itu tadi siapa?" Tanyaku.

"Oh, itu Rena, adikku." Sahutnya.

Aku baru tahu Rey mempunyai adik, lumayan cantik juga adiknya, dia memiliki rambut tergerai yang panjang. Lalu Rey menawarkan pizzanya, aku pun tak menolak. Sembari memakan pizzanya, aku bertanya kembali kepada Rey.

"Rey, ini kamu beli pizza di mana? Rasanya di dekat sini engga ada yang jual."

"Tadi adikku yang membawanya, pas banget aku juga lagi lapar.." sahut Rey.

"Begitu...., Oh ya, itu kameramu?" Tanyaku sambil menunjuk kamera di atas meja itu.

"Yap, itu kameraku. Mau lihat?" Lalu dia mengambil dan mendekatkan kameranya kepadaku.

Aku lalu memegang kamera itu. Terlihat sekilas seperti kamera pocket, tapi memiliki lensa yang lumayan besar seperti DSLR, aku belum pernah melihatnya.

"Itu adalah kamera mirrorless, Sony a6300." Lanjut Rey.

"Hmm, terlihat lebih kecil dari biasanya."

"Pasti lah, namanya juga mirrorless."

Lalu dia mulai berbicara panjang tentang mirrorless. Aku tidak mengerti apa yang dia sampaikan, tapi aku menangkap beberapa hal. Kamera ini bisa menangkap gambar lumayan di keadaan minim cahaya, bisa merekam dengan kualitas tinggi dan FPS yang tinggi, dan lebih ramping karena tidak menggunakan cermin untuk menangkap gambar. Aku sungguh engga paham, entah apakah kesimpulanku sudah benar atau belum. Tapi dari hal itu aku merasakan sesuatu yang aneh.

Iya, sangat aneh.

Rasanya aneh, selama ini saat aku ke rumah cowok, aku langsung disuguhkan oleh kelamin pria dan permintaan birahinya itu. Namun kali ini tidak. Selama ini aku belum pernah merasakan hal yang 'normal' seperti ini, canggung saat masuk ke kamar cowok atau melakukan hal lain selain memanjakan nafsu cowok. Sembari memikirkan hal itu, aku lalu mengangkat kedua tanganku dan menguncir rambutku ke belakang. Lalu ku sadar Rey memandangiku.

Dia bengong gitu.

Rey terdiam melihatku dengan mulutnya yang terbuka sedikit. Aku lalu bertanya kepadanya, "A-ada apa?"

"Ah, gapapa kok" sahutnya sembari memalingkan wajahnya.

Mungkin dia tidak sadar, tapi aku tahu kalau dia melirikku saat aku melanjutkan menguncir rambut. Setelah itu, selama beberapa menit kami berdua hanya berdiam diri, tidak melakukan apapun. Karena itu aku memberanikan diri untuk bilang kepadanya bahwa aku ingin pulang. Wajahnya terlihat agak kecewa. Namun dia tetap mengizinkanku untuk pulang, dia sempat menawarkan untuk mengantarkan, tapi aku menolaknya. Lalu aku pergi meninggalkan tempat itu.

Tubuhku rasanya sudah lengket sekali, aku belum berganti baju. Aku mempercepat jalanku, sembari memikirkan apa yang telah terjadi.

Aku datang ke kamar cowok. Lalu masuk ke kamarnya. Mengantarkan obatnya. Makan pizza. Berbicara panjang tentang kamera. Menguncir rambutku. Lalu pulang. Apa lagi yang terlewat?

Oh ya, adikknya Rey. Rena namanya. Terlihat seperti orang kelas atas.

Ini yang aku bingung daritadi. Walaupun memang kamarnya lumayan rapih dan bahkan ada AC, tapi tempat itu, kosan itu terbilang menyedihkan. Sinar matahari terhalang tembok yang membentuk sebuah gang. Membuatku berpikir apakah Rey orang miskin?

Tapi, kameranya...

Aku lalu membuka telefonku dan menelurusi internet untuk mencari tahu kamera milik Rey. Kamera itu seharga 7 juta rupiah.

Bukannya aku meremehkannya, tapi 7 juta bukan uang yang sedikit. Apakah dia menabung?

Lalu adiknya, sangat glamor. Aku tidak tahu pastinya, tapi aku sempat melihat jam tangannya bermerek mahal. Merek itu bisa berharga paling murah 1 juta rupiah. Aku tahu karena ayahku punya merek yang serupa.

Jadi Rey itu orang miskin atau berada?

Apa mungkin dia diadopsi?

Apa dia diusir dari keluarganya?

Apa bahkan keluarganya jatuh miskin?

Kenapa aku selalu berteori tentang orang sampai begini?

Kenapa aku sangat penasaran dengan Rey ini?

Sampai asiknya berpikir, aku tidak sadar bahwa sudah sampai di apartemenku. Lalu aku mengunci pintu dan membuka pakaianku, aku langsung membasahi diri di shower. Setelah selesai, aku pergi ke kamarku untuk mengenakan pakaian. Saat aku sedang memakai kaos, seseorang menelfonku. Aku mengangkat dan menyalakan loudspeaker telfonnya.

"Nak, uangnya sudah ayah transfer ya. Maaf bulan ini ayah masih belum bisa mengunjungimu. Ayah masih ada kerjaan di luar negeri, oleh karena itu ayah tid------"

Aku memutuskan panggilan itu. Lalu aku mengirim pesan ke orang yang tadi menelfon. Aku membalas 'Iya'. Dari semua isi percakapan dalam pesan itu, aku hanya membalas 'iya', tidak lebih.

Dasar orang tua.