"Abitama Kharisma Putra?"
Pak Bimo, guru penegak kedisiplinan itu menatap intens pada sosok siswa baru di hadapannya. Postur tubuh anak itu yang tampak berbidang gagah dan tegap, terlihat sedikit kurang lazim buat ukuran remaja seusianya. Kemudian, ia memperhatikan ukiran wajah anak itu yang bak pahatan seni, terkesan tajam bila dilihat melalui sudut manapun. Dari semua itu, hal yang paling menojol yaitu terletak pada mata elangnya. Entah mengapa saat kedua manik mereka bertemu secara padu, dia sedikit merasa gentar karena sorotan netra gelap anak itu yang terlampau mengintimidasi.
Kharisma, kewibawaan dan aura kepemimpinanannya sangat tinggi. Namun disamping itu, pembawaanya terlihat seolah tak ada gairah hidup. Suram. Begitu kesan pertamanya terhadap anak didiknya ini.
Pria itu kembali menilik berbagai sertifikat milik Abitama. Matanya berbinar kagum. Kejuaraan OSN SMP Matematika tingkat Provinsi, Runner Up OSN Matematika SMA Tingkat Nasional, Kejuaran Silat, Debat, dan lain-lainnya masih begitu banyak.
'Wah anak ini benar-benar', pikirnya.
Guyuran hujan beserta suara kilatan guntur diluar sana membuat atmosfer diruangan ini semakin mencekam. Biarpun begitu, sosok dihadapannya ini terlihat santai sekali. Pak Bimo yang memiliki phobia terhadap petir merasa takut dan was-was. Ia mengeratkan rahangnya, berusaha terlihat baik-baik saja untuk menjaga image-nya, walaupun sebenarnya ia merasa sangat jantungan.
"Saya ingin menanyakan satu hal," tanya Pak Bimo setelah selesai membaca lembaran-lembaran kertas di tangannya.
"Pencapaianmu dari segi akademik maupun non-akademik bagus sekali. Tapi mengapa dari segi kepribadian yang di dalam rapor kamu . . . kebanyakan dapat nilai D?"
"Tidak tahu." Abitama menjawab dengan ekspresi datar.
Pak Bimo yang tadi mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuknya untuk menetralisir rasa takut, kini seketika berhenti dengan menunjukkan ekspresi tak menyenangkan. Pria itu mengerjap beberapa kali.
"Jawaban macam apa itu? Kau sering terlibat masalah atau bagaimana, Abitama?" Pak Bimo menekan kalimatnya, merasa greget sendiri.
Diamnya sejenak anak itu menandakan bahwa dia tengah berpikir. Entah darimana ia harus mulai menjelaskan semua ini. Dia tertunduk menatap lantai marmer putih itu, lalu menghela samar.
"Saya hanya tidak bisa diam begitu saja jika ada sesuatu yang salah, Pak."
"Terus, gimana? Pernah kena SPO dari sekolah kamu dulu? Gimana tanggapan orang tuamu, apa merasa kecewa atau malu? Tapi kok bisa yah kamu berprestasi sehebat ini, padahal sikap kamu buruk dan problematik sekali jika berdasarkan dari kabar yang beredar."
Hening.
Kali ini Abitama bungkam. Sedikitpun tidak ada niat untuk menjawab pertanyaan judgmental seperti itu. Dia menegakkan kepalanya lagi, tetapi kini dengan tatapan yang sangat tajam menatap guru dari bagian 'Bimbingan Konseling' ini. Menurutnya, bukan hanya dari segi bicaranya, bahkan wajah pria itu juga terlihat sangat menyebalkan. Ia bertaruh kalau selama ini, siswa-siswi disini merasakan hal yang sama sebagaimana dirinya.
"Hey." Pak bimo menjetikkan jarinya hingga berbunyi di hadapan wajah anak itu. "Denger saya bicara, kan?"
"Maaf, Bapak bilang tadi bertanya satu pertanyaan, tetapi ini malah sudah lebih dari dua."
"O—oh. Oke. Maaf."
Skakmat. Mendegar penolakan itu, Pak Bimo tergagap dan mengangguk paksa.
"Sekarang aku ngerti kenapa nih bocah di cap begitu. Modelannya aja songong begini," batinnya. Ia berdeham, mencoba menetralisir gugup dan degup jantungnya yang ternyata berpacu semakin cepat. Ditambah hujan dan guntur yang belum kunjung mereda, membuat suasana tegang ini bertambah.
Tapi . . . tunggu, kok malah jadi berasa aku yang diinterogasi?! Kurang hajar nih anak.
Dengan rasa kesalnya, Pak Bimo ingin segera menyudahi perbincangan ini dan membereskan kertas-kertas itu.
"Baiklah, begitu saja. Agaknya saya tidak perlu menjabarkan lagi hal-hal yang pastinya sudah kamu ketahui tentang SMA Harapan Jaya. Kalau dari gosipan yang bilang 'sekolah ini isinya anak monster jenius' itu sih sedikit berlebihan, gak perlu diranggapi serius. Namanya juga gosipan anak remaja. Dan juga…" dia berdiri, berjalan mendekat ke anak itu sembari menepuk pundaknya.
"...saya yakin pihak sekolah gak salah dan menyesal merekrutmu untuk memberikan beasiswa khusus kesini. Jadi, Goodluck!"
"Ah, tunggu, Pak!" Abitama bangkit terpaksa, lalu jalan tergopoh saat Pak bimo tiba-tiba menuntun paksa badannya menuju keluar ruangan.
Dengan sigap ia langsung meraih ransel dan hoodie hitamnya yang di kursi tadi.
Saat dia sudah di depan pintu, sepasang guru beriringan pula masuk ruangan dengan ekspresi yang kebingungan melihat mereka.
"Loh, ini kenap—"
"Oh Bu Sarah dan Pak Adit, ayo silahkan masuk cepat!" ujar Bimo memotong ucapan wanita itu.
Bimo menatap kembali menatap Abitama, kemudian tersenyum masam. "Untuk kamu, selamat menikmati hari pertama disini," tukasnya untuk terakhir kali.
BLAM!!!
Pria itu menutup kasar pintu ruangan menyisakan Abitama yang sendiri di luar.
Mendapat perlakuan tak menyenangkan, anak itu mendengus kesal sembari menggendong ranselnya kembali dengan hoodie yang masih basah di lengannya. Kemudian, ia memilih pergi dan perlahan menyusuri koridor remang, disertai sedikit campuran cahaya dari kilatan guntur.
Sembari melangkah, ia mengamati cipratan air yang mengalir melalui kaca-kaca jendela disini, beberapa tanaman segar yang basah, serta pemandangan lainnya di luar sana.
Seulas senyuman perlahan terukir di wajah Abitama. Seseram apapun suara dan kilatan guntur dikala hujan, itu sama sekali tak mengusiknya. Justru hatinya menjadi tenang, raut wajahnya pun menghangat di tengah hawa dingin.
Dia yakin pasti, saat ini ada ribuan makhluk Tuhan yang sedang bersuka-ria akan rahmat-Nya yang tak terbatas. Dan dia, adalah salah satunya.
Lamunannya tak berlangsung lama, hingga lantunan nada dari ruang di ujung sana sukses membuat senyumnya memudar. Rasa penasaran menuntunnya untuk melangkah menuju tempat dimana suara itu bersumber.
Lagi dan lagi dia tersenyum. Tetapi kali ini, senyumannya sangat lebar dengan sorotan yang begitu antusias ketika dia telah sampai di hadapan pintu ruangan ekskul musik ini.
Dia celingukan, melihat daerah sekitar yang masih sepi —atau memang sepi seperti biasa— tanpa berpikir panjang, Abitama langsung melangkah masuk ke dalam ruangan bernuansa klasik itu.