Distian baru saja meninggalkan pos satpam setelah berbagi cerita dengan Pak Haris, tiba-tiba Asdar dan juga seseorang dengan tubuh yang tinggi dan cukup besar itu lari menghampiri Distian dengan seringai lebar di wajah mereka. Mereka berhenti tepat di depan Distian, mengatur napas perlahan-lahan
"Lu harus liat ini," kata Asdar. Distian mengikuti mereka, ada hal apa sampai-sampai membuat mereka harus berlari sekuat tenaga hanya untuk mencarinya.
"Emang ada apa sih Pik?"
"Udah ikut aja."
Mereka berjalan melewati kelas-kelas, hampir semua kelas yang mereka lewati hanya diisi beberapa orang saja, Distian menoleh ke arah lapangan, ada banyak orang tapi tidak seberapa.
Semakin mereka melangkah semakin terdengar suara riuh entah dari mana, di ujung jalan mereka berbelok ke kiri, mata Distian menyipit memerhatikan, keningnya mengerut, heran dan bertanya-tanya. Kenapa dengan semua orang ini, apa yang mereka lakukan?
Kerumunan orang-orang itu membentuk sebuah lingkaran, mereka menerobos kerumunan orang agar bisa berada di depan, Distian sebenarnya enggan. Namun, kedua orang ini memaksa. Sekarang Distian tahu apa yang membuat orang-orang ini berkumpul dan bersorak riuh. Wajah seorang cewek yang sedang berdiri tepat di tengah itu tidak asing di mata Distian, yah cewek yang meminjamkannya pulpen kemarin.
Saat ia melihat cowok yang sedang berjalan ke arah cewek itu berdiri membawa sebuah boneka yang cukup besar, rasanya Distian ingin bersumpah serapah namun ia urungkan.
"Gue ke kelas," kata Distian, Asdar dan Opik tersentak, dengan sigap mereka menahan Distian.
"Apa sih?"
"Nanti dulu," kata Asdar, tatapan mata Distian seolah berkata dia tidak peduli dengan hal seperti ini. Mereka kembali menahannya saat Distian hendak beranjak pergi.
"Gue mending di kelas daripada harus buang waktu ngeliat adegan gak senonoh kek gini."
"Gue traktir Dis," ujar Topik.
"Untung lu apa goblok."
"Udahlah Dis, bentar lagi selesai kok."
Asdar bersikeras. Distian menyerah, matanya kembali menatap dua orang yang sedang berdiri di tengah-tengah kerumunan dengan enggan, disertai perasaan jijik yang amat menggelikan.
Cowok itu sudah berada di depan cewek itu, ia menunduk malu, tepatnya keduanya menunduk malu, membuat Distian makin merasa jijik saat cowok itu memamerkan senyum keparat di wajahnya.
Cowok itu menyodorkan boneka panda yang digenggamnya sejak tadi dengan malu-malu, teriakan terdengar, sorak-sorai penonton yang melihat adegan itu pecah. Cewek itu mengambilnya dengan malu-malu, kemudian bibirnya bergerak mengucapkan sesuatu. Distian tidak mendengar apa yang dia ucapkan, tapi ia sangat yakin, kata yang keluar dari bibirnya adalah ucapan terima kasih.
Mereka bertiga kembali ke kelas lebih awal, Distian bersikeras tidak ingin melihat adegan yang dianggapnya tidak senonoh itu hingga akhir. Satu per satu dari mereka memasuki kelas. Distian sibuk dengan handphonenya, Asdar dan Topik terkekeh entah sedang membicarakan apa. Mendadak kelas kembali riuh, Yuni dan teman-temannya memasuki kelas.Yuni tersenyum malu dengan boneka yang sedang di dekapnya. Entah kenapa, mata Yuni dengan mata Distian bertemu, Distian mendengus, ia menyeringai jijik, Yuni cepat-cepat mengalihkan pandangannya.
Yuni tahu apa yang ada di pikiran Distian saat ini, ia sangat tahu, wajahnya yang sejak tadi tersenyum mendengar teman-temannya yang tak berhenti menggodanya tiba-tiba murung. Distian masih memerhatikannya beberapa saat sebelum matanya kembali tertuju ke handphonenya.
***
Gelap, sunyi dan tenang, hanya ada cahaya laptop menerpa wajahnya, matanya fokus, headphone mendekap erat telinganya. Jendela kamarnya terbuka seolah mengizinkan angin malam mengisi hampanya kamar itu. Distian bersandar dengan laptop yang sedang di pangkunya. Matanya terus terpaku, seolah tak ada yang bisa mengusiknya saat ini. Kamarnya sederhana, hanya ada ranjang yang berada di sisi kamar, meja kecil di sampingnya dan lemari pakaian, tak ada meja belajar, hanya poster Naruto terpajang tepat di atas kepalanya dan cermin yang menempel di samping jendela kamarnya. Namun, di lantai tersusun tumpukan buku dan komik. Entah kenapa Distian tidak ingin menggunakan meja belajar dan juga rak buku untuk menampung buku dan komiknya, ia lebih suka membiarkan mereka tergeletak seperti itu.
Distian membuka headphonenya, menutup rapat-rapat laptopnya, meletakkannya di meja kecil di samping ranjang. Beberapa menit kemudian terpaan cahaya lampu menerangi kamar itu. ia mengambil buku di atas ranjangnya, lalu berbaring dan mulai membaca. Buku tebal, sampul buku yang berwarna hitam dengan seekor kucing yang sedang menoleh tepat berada di tengah jendela.
DIFFERENT SEASON, buku karangan Stephen King, jemarinya membuka tiap lembaran dengan lembut, matanya fokus, otaknya meraba-raba, membentang imajinasi dari buku yang ia baca itu.
Bukan tentang peri, bukan tentang penyihir, bukan tentang cinta, tapi tentang kehidupan, manusia dan keburukannya. Buku yang membahas tentang orang-orang yang menjalani hidup dengan jalan yang berbeda, mencari arti hidup dengan jalur yang berbeda, di bumbui dengan selipan-selipan horor di dalamnya. Distian menyukainya, dia menyukai jalan pikiran pengarangnya.
Suara langkah terdengar mendekati kamar Distian, langkahnya berhenti tepat di depan pintu kamarnya. Tiga kali ketukan terdengar, pelan namun terdengar jelas. Dia menutup bukunya, dia sangat tahu siapa di balik pintu itu. pintu itu terbuka perlahan, muncul tubuh mungil dan menggemaskan dari balik pintu itu.
"Abang, teman abang datang," ucapnya, Distian yang mulanya tersenyum melihat Ara yang sedang berdiri di ujung sana dengan senyum polos sekarang keningnya mengerut, pikirannya menerka-nerka. Dia mengangkat tangan kirinya, dilihatnya jam yang menunjukkan pukul 08:03. Dia bangkit, berjalan menuju Ara yang masih menunggunya di depan pintu yang terbuka setengah itu.
Kening Distian makin mengerut sekarang, di tambah dengan ekspresi bingung dan juga kesal. Kedua orang yang sedang duduk di ruang tamunya menyeringai lebar. Ara berdiri di samping Distian masih menggenggam tangannya dengan erat.
"Ngapain kalian ke sini?" terdengar jelas, itu bukan nada seorang tuan rumah yang senang menyambut tamunya. Kedua orang itu melempar senyum. Distian menyuruh Ara masuk menyusul ibunya di dapur. Dia menatap bingung kedua orang itu lalu merebahkan dirinya di kursi.
"Ngapain kalian ke sini?"
"Nongkrong yuk?" kata Asdar.
"Gak."
"Yaelah nih anak, sekali-kali Dis," kata Topik.
"Gak." keduanya menghela napas kecewa.
Beberapa detik kemudian wanita paruh baya berjalan ke ruang tamu dengan nampan berisikan 2 cangkir teh dan juga sepiring kue kering. Di letakannya dua cangkir teh itu dan juga kue kering dengan senyum ramah.
"Di makan yah."
"Iya tante," jawab mereka bersamaan.
"Yakin Dis, kita udah jauh-jauh loh ke sini." Asdar memelas berharap keteguhan cowok yang ada di hadapannya ini berubah. Namun jawabannya tetap sama. Wanita itu berbalik, menatap Distian tajam, senyumnya terlihat mengancam.
"Kenapa Dis?" tanyanya dengan mata menatap keponakannya itu dengan tajam, terpampang senyum di wajahnya tapi bukan senyum ramah, senyum yang seolah-olah akan membunuhmu kapan saja.
Distian menatapnya dengan ragu, terlintas perasaan takut dan juga kesal.
"Ini tante kita mau ngajakin Distian keluar," jelas Topik.
"Bolehkan tante?" Tante Distian melempar senyum ramah, tapi di mata Distian itu bukan senyum ramah sama sekali, ada sesuatu di balik senyum itu, sesuatu yang mengancam. Perlahan kepalanya menoleh menatap Distian.
"Kok gak ikut." Ucapnya dengan pelan dan jelas namun menakutkan bagi Distian. Distian menatap kedua orang itu sedang tersenyum lebar penuh kemenangan.
"Iya gue ikut."
Malam ini malam minggu, wajar jika lalu lintas tidak seperti biasanya, Distian tidak terlalu peduli dengan itu, dia jarang, bahkan sangat langka meninggalkan rumah, radius paling jauh hanya ke sekolah saja, selain salah satu tempat yang selalu ia kunjungi jika ada sesuatu. Dia mengendarai motornya sendiri, sedangkan Asdar dan Topik berboncengan, Topik menitip motornya di rumah Distian. Awalnya Distian sangat kesal dengan dua orang itu. Tapi semakin ia menjauh dari rumah semakin dalam rasa nyaman yang ia rasakan, pikirnya mungkin hanya karena angin malam, lampu-lampu jalan, gedung-gedung tinggi, jalan yang ramai mengalihkan pikirannya. Membuang sejenak beban di kepala.
Mereka masuk ke dalam cafe, dalam benaknya Distian suka dengan design yang di sajikan dari cafe ini, lampu redup, gradien warna yang menyejukkan, dinding kaca, dan yang paling dia suka, larangan merokok. Distian suka dengan kursi dan mejanya yang terbuat dari kayu mahoni, warnanya membaur dengan warna lampu yang bergelantungan di atas kepalanya, di sudutnya terbentang panggung live music. Bunyi bel terdengar tiap kali ada pelanggan yang masuk dan juga keluar, hampir semua meja sudah terisi.
Asdar melihat sekeliling, Distian hanya fokus melihat design dan suasana yang disajikan cafe ini. Mereka merebahkan diri, Asdar berhasil mendapatkan meja kosong untuk mereka. Tak lama berselang seorang pelayan cewek menanyakan menu yang mereka inginkan, minuman dan makanan sudah mereka pilih sisanya hanya menunggu hingga pesanan itu tiba di meja mereka. Distian mengeluarkan sebuah buku berukuran kecil dari dalam slingbagnya lalu fokus membaca.
Topik dan Asdar sedang asyik dengan percakapan mereka sendiri tanpa menghiraukan Distian, mata Asdar tertuju pada satu meja, ada tiga cewek di meja itu, bisa di bilang semuanya cantik, tingkah laku mereka, cara berpakaian mereka, Asdar mengaguminya, bukan semuanya tapi salah satu dari mereka, cewek dengan kemeja putih di pasangkan dengan celana chinos cream dengan rambut panjang terurai membuatnya terlihat sangat anggun di mata Asdar.
"Itu Feby kan?" Topik menoleh ke arah mata Asdar terpaku, ternyata dia mengenali sosok itu, Topik mengiyakan.
"Mintain nomornya dong Pik."
"Ogah!"
Distian yang sejak tadi membaca kehilangan konsentrasi, dia menoleh ke arah cewek yang di maksud Asdar.
"Siapa sih?"
"Lah lu gak tau?" Seru Asdar, Distian mengangkat kedua bahunya, Asdar menghela napas berat.
"Kak Feby, Dis. Kakak kelas kita, cantik kan?" Dia menyeringai di kalimat terakhirnya. Distian berdiri, meletakkan penanda di buku yang tadi dia baca, lalu beranjak ke arah meja Feby dan teman-temannya. Topik dan Asdar membelalak kaget.
"Permisi," ucapnya dengan sopan, ketiga cewek itu menoleh ke arahnya. Ada empat kursi, salah satunya kosong, di atasnya tergeletak tas kecil berwarna merah maron.
"Iya," jawab Feby bertanya-tanya.
"Ganggu gak?" Feby dan teman-temannya saling menatap satu sama lain.
"Gak kok."
Distian tersenyum, mungkin itu bukan senyum tulus yang terpampang di wajahnya. Namun, terlihat sopan di mata ketiga cewek itu.
"Boleh minta nomor WA nya gak?" ucap Distian tanpa basa-basi, matanya menatap Feby lembut. Feby mengangkat telunjuknya dengan pelan kemudian di arahkan ke dadanya.
"Gue?" Distian mengangguk dengan senyum ramah.
Keadaan hening beberapa detik, Feby menatap Distian dengan senyum malu-malu.
"Bukan gue kok yang minta, kali aja lu gak mau karena ngeliat tampang gue, teman gue yang disana yang ngebet nomor lu," jelas Distian blak-blakan sembari menunjuk ke arah Topik dan Asdar, Topik dan Asdar yang sejak tadi memerhatikan dengan cepat memalingkan pandangan mereka, salah tingkah.
Senyum Feby memudar, ragu. "Kayaknya gak deh."
"Hmm, kalau gitu makasih yah, sorry ganggu." Distian pamit pergi, ketiga cewek itu melempar senyum ramah.
Distian berbalik, tanpa ia sadari seorang cewek yang sedang menunduk menatap handphonenya sudah berjarak 10 cm dari wajah Distian, entah kenapa cewek itu tiba-tiba menyadari ada seseorang yang akan bertabrakan dengannya. tepat saat dia menyadari hal itu Distian juga tersentak kaget, keduanya tersentak kaget hampir bertabrakan, handphone yang di genggam cewek itu terpental tanpa ia sedari, Distian dengan sigap menangkapnya, sebelum menghantam lantai. Cewek itu menghela napas lega, mengusap dadanya perlahan.
"Maaf banget yah gue gak-"
"Sans, gak apa-apa kok," potong Distian sebelum cewek itu menyelesaikan kalimatnya, dia masih menatap erat handphone yang berhasil dia tangkap. Dia mendongkak menatap cewek yang sedang menatapnya dengan perasaan menyesal, Distian memandanginya sejenak, seolah menatap wajah yang tidak asing baginya. Cewek itu tersenyum sesal.
"Maaf banget yah," ucapnya lagi.
Distian mengulurkan handphone yang di genggamnya. Sekali lagi menatap cewek itu namun kali ini tepat di matanya, tatapan mereka bertemu beberapa saat sebelum Distian beranjak pergi tanpa sepatah kata.
***
"Dis, kantin yuk," ajak Asdar, Distian menghela napas, menoleh ke sebelah kiri, seseorang sedang asyik menatap layar handphonenya.
"Min." Orang itu menoleh ke sumber suara, dia mengangguk menanyakan, "Kantin."
Suasana kantin seperti biasanya, jelas tergambar ekspresi malas di wajah Distian, alasan kenapa dia lebih suka menitip agar dibelikan makanan oleh Asdar atau Topik hanya karena dia malas harus bertemu dengan banyak orang. Saat hendak memesan makanan, mereka berpas-pasan dengan Rani dan ketiga temannya, Asdar menyapa.
"Ran, bakwan Mba Rahma masih adakan?" tanya Asdar, Rani dan teman-temannya menghentikan langkah sejenak.
"Masih kok, buruan nanti keburu habis loh. " Teman-temannya menatap lawan bicara mereka, ada seseorang yang sedang menunduk malu, Yuni.
"Oi," seru Distian.
"Oi budek," serunya lagi, Hikma menyenggol Yuni, kemudian berbisik.
"Yun, di ajak ngomong tuh" Seketika Yuni langsung mendongkak, mendapati dirinya bertatapan dengan Distian, seolah hendak menyatakan sesuatu.
"Pulpen lu, nanti gue balikin."
Yuni hanya mengangguk mengiyakan. Mereka melanjutkan langkah mereka masing-masing.
Distian dan ketiga orang itu duduk menunggu pesanan mereka datang. Beberapa cewek memasuki kantin, sebagian mata tertuju pada mereka, tidak terkecuali Topik, Asdar dan Armin. Itu Feby dan teman-temannya, Distian, Asdar dan Topik sempat bertemu mereka beberapa hari yang lalu. Distian hanya menoleh sejenak kemudian mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Topik dan Asdar berceloteh, siapa yang paling cantik di antara mereka bertiga, Asdar tetap memilih Feby sebagai jawaranya.
Tiba-tiba salah satu dari mereka memfokuskan tatapannya ke arah Asdar dan Topik duduk, cewek itu berjalan sembari menerka-nerka, senyumnya terlihat saat sudah cukup dekat dengan mereka, dia duduk tepat di hadapan Distian, lalu menjulurkan tangan kanannya.
"Maaf yah." Lamunan Distian buyar ketika sadar seseorang sedang mengulurkan tangan di hadapannya.
Matanya tertuju kepada tangan itu terlebih dahulu yang masih bergantung di udara, kemudian perlahan menatap wajah cantik yang sedang tersenyum ramah kepadanya. Distian menjabat tangan itu dengan ragu, kemudian melepasnya perlahan. Distian tahu siapa cewek yang sedang tersenyum ramah kepadanya itu. Cewek yang hampir bertabrakan dengannya di cafe waktu itu.
"Hey, maaaaf," seru cewek itu, mencoba mendapat perhatian.
"Buat apa?"
"Kemarin itu." Distian langsung mengerti arah pembicaraan cewek ini.
"Gue udah bilang gak apa-apa."
"Gue Natasya." Sembari mengulurkan kembali tangannya, Distian membalas.
"Distian." Ada yang aneh dengan keadaan ini, ketiga orang yang sejak tadi bersamanya hanya terdiam kaku tanpa menyahut sedikit pun.
"Kalau gitu gue kesana dulu yah Dis." Distian mengangguk, Natasya kembali ke tempat teman-temannya. Ketiga orang yang sejak tadi bersamanya hanya terdiam kaku, kini memandang Distian erat-erat.
"Bangke," ujar Armin tiba-tiba, wajahnya terlihat tidak percaya, Topik dan Asdar pun begitu.
"Kenapa?"
"Itu Natasya Dis." Distian mengeleng bingung, sedangkan ketiga orang itu berdecak kagum.
"Gue gak kenal."
Armin tahu, Topik dan Asdar pun pasti tahu, cewek dengan body sexy dan juga wajah yang rupawan seperti itu, kepribadiannya yang ceria dan juga prestasinya, semua cowok tahu.
"Dan sekarang lu kenal," ucap Armin, Distian tidak membalas lagi ucapan Armin.
Dia menoleh ke arah Natasya yang baru saja memilih tempat duduk bersama teman-temannya. Disana Natasya sedang menatap ke arah Distian, tatapan mereka bertemu, Natasya melempar senyum hangat namun tidak di balas.