Happy Reading
π»π»π»
Alayya sedang menunggu Atifa yang memasukkan buku-bukunya kedalam tas. Alayya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat sahabat nya yang mulai memoleskan lip tint di bibir nya.
"Udah. Ayo!" ajak Atifa. Ia memeluk lengan sahabatnya, Alayya. Kemudian berjalan beriringan menuruni tangga menuju pintu keluar gedung tempat mereka bimbingan belajar.
Walaupun mereka sudah selesai Ujian Nasional, mereka tetap pergi ke gedung Bimbel. Itu karena mereka masih butuh persiapan untuk ujian tertulis masuk universitas. Dan beruntungnya pihak Bimbel dengan senang hati membimbing mereka.
"Kamu dijemput sama dia lagi?" tanya Alayya.
"Iya. Mau jalan-jalan"
"Jalan-jalan mulu. Jadian nya kapan?" tanya Alayya menggoda sahabat nya itu.
"Santuy, kalau kata orang Jawa sih alon-alon asal kelakon" Atifa terkikik geli.
"Jangan senang dulu kalau belum jelas. Nanti di PHP-in baru tau rasa"
"Iih, kamu kok ngomong gitu sih? sama sahabat sendiri doa nya yang gak bagus begitu"
"Aku bukannya doain yang enggak-enggak, tapi aku cuma ngingetin kamu" ucap Alayya meluruskan.
"Iya iya paham. Enggak kok, dia baik. Kamu sendiri kan udah lihat dia orang nya gimana"
Alayya hanya mengangguk saja. Tanda bahwa ia merespon ucapan Atifa. Toh, mendebat Atifa tidak ada gunanya. Sahabat nya itu sedang dimabuk cinta. Apa pun yang akan ia katakan pasti tidak akan ditanggapi oleh Atifa. Masuk kanan keluar kanan, alias membal. Jadi percuma saja yang ada buang-buang tenaga.
Benar kata orang. Cinta itu buta.
π»π»π»
Atifa tersenyum senang saat melihat Bagas melambaikan tangan ke arah nya. "Al, aku duluan ya? Kamu sendiri gak papa kan?"
Alayya mengikuti arah pandangan Atifa. Atifa memang berbicara pada nya, tapi arah pandangan nya tertuju pada orang lain. Alayya hanya bisa geleng-geleng melihat tingkah Atifa.
"Iya gak papa. Udah biasa kok pulang sendiri"
"Yaelah, jangan baper dong" gurau Atifa.
Alayya mendengus. "Udah-udah samperin sana" ucap Alayya sambil mendorong bahu Atifa pelan.
"Oke. See you Alayya sayang"
π»π»π»
"Hai"
Atifa tersenyum malu-malu. "Udah lama nunggunya?" tanya Atifa.
"Enggak kok. Kurang lebih lima menit-an lah" jawab Bagas tak yakin.
"Jadi, mau langsung?" tanya Bagas.
"Terserah kamu aja"
"Gak mau pulang dulu? Ganti baju dulu misalnya?"
"Enggak. Langsung aja"
"Yaudah, ayo"
Bagas membukakan pintu mobil untuk Atifa. Dengan tersipu malu Atifa masuk ke dalam mobil Bagas.
π»π»π»
"Makasih ya untuk hari ini" ucap Atifa.
Bagas mengangguk dan tersenyum "Sama-sama"
"Gak mau masuk dulu?"
"Gak usah deh. Habis ini mau main futsal"
Atifa mengangguk. Kemudian ia keluar dari dalam mobil Bagas. Bagas membuka kaca jendela mobil nya agar Atifa bisa melihat ke dalam.
"Hati-hati ya"
"Siap"
Dan mobil Bagas pun melaju meninggalkan pekarangan rumah nya.
Atifa mencium kedua tangan orang tua Alayya. "Tumben kamu pulang sorean"
"Biasa Om, jalan-jalan sebentar"
"Sama siapa? Pacar kamu ya?" tanya Ayah Alayya menggoda.
"Bu-bukan. Sama teman kok,Om " jawab Atifa gelagapan.
"Teman apa teman?" goda Bunda Alayya.
"Teman Bun"
"Bohong Bun. Sama gebetannya itu tadi. Namanya Bagas!" seru Alayya yang entah datang dari mana. Atifa meringis. Sahabatnya ini benar-benar tidak bisa menjaga rahasia.
"Owalah, dasar anak muda" ucap Bunda terkekeh.
Sejak sebulan yang lalu Atifa memang tinggal di rumah Alayya. Orang tua nya mempercayakan dirinya pada kedua orang tua Alayya. Orang tua nya sejak sebulan yang lalu pindah ke desa tempat dimana kakek dan nenek nya tinggal.
Nenek nya sudah meninggal setahun yang lalu dan kakek nya menyusul sebulan yang lalu. Seminggu setelah nya, orang tua nya memutuskan untuk tinggal disana untuk mengurus ladang dan sawah yang berhektar-hektar lebar nya. Ayah nya adalah anak tunggal, mau tak mau sang Ayah harus menjalankan tugasnya sebagai anak. Ayah Atifa bahkan rela resign dari perusahaan tempatnya bekerja demi untuk menetap di kampung halaman.
Awal nya Atifa ingin ikut pindah, namun keadaan tidak memungkinkan. Masih banyak yang harus di lakukan dan yang paling penting adalah ia harus fokus untuk ujian tertulis masuk perguruan tinggi.
Mana mungkin ia tinggal sendirian di kota yang terkenal dengan kehidupannya yang keras. Orang tua nya juga pasti khawatir meninggalkan anak sematawayangnya sendirian.
Atifa menceritakan semuanya pada Alayya. Dan Alayya menceritakan semua yang dialami Atifa kepada orang tuanya. Dan akhirnya orang tua Alayya menawarkan agar Atifa tinggal di rumah mereka. Awalnya orang tua Atifa ragu karena takut merepotkan. Singkat cerita orang tua Atifa setuju dan Atifa pun tinggal di rumah Alayya sekarang sementara rumah mereka dibiarkan kosong. Tetapi dua minggu sekali Atifa akan pergi ke rumah nya untuk membersihkan rumah itu walaupun hanya sekedar menyapu dan lain-lain. Sesekali ia mengajak Alayya untuk menginap.
π»π»π»
Atifa masuk kedalam kamar Alayya dengan handuk yang membungkus rambutnya. Ia berjalan ke meja rias dan melakukan ritual wanita sebelum tidur di sana.
"Gimana jalan-jalan nya?" tanya Alayya penasaran.
"Seru dong!"
"Ah gak asik. Padahal aku pengennya berantakan"
"Yeee, yang LDR-an syirik aja" ejek Atifa.
Tring
Atifa langsung berlari kecil ke meja belajar saat mendengar nada notifikasi dari handphone nya. Gerakan Atifa yang begitu tiba-tiba membuat Alayya terkejut.
Sedetik kemudian Atifa tersenyum-senyum sendiri lalu ibu jarinya dengan lihat mengetikkan sesuatu di sana. Alayya kembali membaca Novel yang ada di tanggal nya. Ia sudah bisa menebak dari siapa notifikasi itu berasal.
π»π»π»
Atifa dan Alayya tampak serius mengerjakan tugas mereka. Atifa sedang mengetik sesuatu di notebook nya sementara Alayya sibuk membaca secara bergantian buku-buku yang berserakan di atas meja cafe.
"Nih, minumannya!" seru Gilang.
Atifa melirik sebentar pada Gilang yang sekarang sudah duduk disamping nya. Kepala cowok itu terulur untuk melihat apa yang sedang di kerjakan Atifa di notebook nya.
"Ngapain, Peh?" tanya Gilang. Ia merangkul pundak Atifa.
"Lo, gak usah ngerusuh deh. Jauh-jauh sana!" seru Atifa galak. "Nama gue Atifa, bukan Ipeh!" lanjutnya.
"Kan sama aja, Atifa, Atipeh, Ipeh, Peh. Nyambung kan ?"
"Bulu idung lu nyambung, sana lo ah!"
Atifa menepis rangkulan Gilang di pundak nya. Ia berhenti mengetik kemudian meneguk jus jeruk yang dibawakan oleh Gilang tadi.
"Galak bener, lu" cibir Gilang.
"Ngapain sih lo disini ? Sana masuk ke ruangan lo. Kerja yang bener"
"Dih, suka-suka gue lah. Gue bos nya kalau Lo lupa"
Atifa tersenyum miring "Kak Abrar sama Kak Rangga juga bos nya kalau lo amnesia" jawab Atifa tak mau kalah.
"Tetap aja, gue bos utama nya disini. Karena semuanya gue yang urus, mereka mah cuma terima laporan"
Alayya mencium bau-bau peperangan. Bukan rahasia lagi kalau Atifa dan Gilang tak pernah akur.
"Wifi nya kok lelet banget, kak?" tanya Alayya menyela. Sebuah usaha untuk mencegah terjadinya perdebatan panjang antara Atifa dan Gilang.
Sedikit Informasi, Gilang adalah kakak kelas Atifa dan Alayya. Atifa mengenal Gilang karena Boyfriend Alayya adalah Best friend Gilang. Gilang satu tahun lebih tua dari mereka, Alayya selalu memanggil Gilang dengan sopan, namun tidak berlaku untuk Atifa, ia tidak pernah memanggil Gilang dengan sebutan Kakak seperti yang Alayya lakukan. Itu karena Gilang sangat usil dan menyebalkan.
"Iya, memang ada sedikit masalah. Nanti gue coba perbaiki" jawab Gilang.
"Sini hape Lo. Pake Wifi khusus gue sama pegawai aja. Lebih kencang"
Dengan senang hati Alayya memberikan handphone nya pada Gilang. Gilang mengotak-atik handphone Alayya.
Tak sampai satu menit, Gilang mengembalikan handphone Alayya.
"Nih, udah terhubung"
"Kak Gilang baik banget sih. Makasih kak Gilang" kata Alayya girang.
"Indonesia people. Demen banget kalau udah gratisan. Dapat wifi gratis aja udah berasa kayak menang undian liburan ke Dubai" sindir Gilang. Alayya hanya terkikik mendengar ucapan Gilang
"Lang" panggil Atifa.
"Apa Lo!" seru Gilang galak.
Ia memeluk lengan kanan Gilang. "Galak bener, lu" ucap Atifa menirukan gaya bicara Gilang.
"Gue bagi wifi juga dong"
"Apa-an lo nempelin gue? Jauh-jauh sana lo"
"Gue juga mau wifi , Lang"
"Itu kan udah terhubung" Gilang menunjuk notebook Atifa.
"Ini wifi khusus pengunjung. Lelet"
"So?"
"Sambungin ke hape gue juga dong, wifi khusus pegawai lo" pinta Atifa. Ia mengerjapkan matanya berulang-ulang. Bertingkah seimut mungkin sambil menyodorkan handphonenya pada Gilang. Berharap Gilang akan memberikannya.
"Enak aja lo, bayar! nothing is free in this world! "
"Pelit banget lo. Alayya lo gratisin masa gue bayar. Gak adil banget lo sama teman sendiri!"
"Teman? Siapa? Elo? Memangnya lo teman gue?"
Atifa berdecak. "Dasar Gilang pelit!"
"Alayya ya beda lah. Dia kan pacar Abrar. Abrar juga bos disini, seperti yang lo bilang tadi. Lah elo siapa? Cewek Rangga bukan, cewek gue apalagi?"
Atifa berdecak kesal. "Gue doain kuburan lo sempit"
Atifa kembali mengetik di notebook nya. "Lo mau wifi pegawai kan?"
Atifa menoleh secara cepat ke arah Gilang. Ia mengangguk dan mata nya berbinar.
"Ada syaratnya. Eh salah, lebih tepat nya ada dua pilihan"
"Apa?" tanya Atifa antusias.
"Lo harus pilih salah satu, jadi pegawai gue atau lo jadi pacar gue"
Atifa melotot. "Dasar sinting!" serunya.
Gilang terkekeh melihat ekspresi wajah Atifa. "Gak mau lo? Padahal cewek-cewek pada ngantre mau jadi pacar gue"
"Kecuali gue" sahut Atifa cepat.
"Yakin lo gak mau? Jadi gue di tolak nih? Awas nyesal lo ya"
Atifa berdecak. "Diam lo ah! Berisik banget jadi cowok. Dasar playboy mesum"
Gilang kembali tertawa. Kali ini lebih lepas. Entah sejak kapan membuat Atifa kesal menjadi hiburan tersendiri untuknya.
π»π»π»
"Hai sayang" sapa seorang gadis cantik. Gadis itu mencium pipi kiri Gilang.
"Hai, kamu cantik banget" puji Gilang jujur.
"Thanks"
Gadis itu duduk di depan Gilang. Kini jarak mereka terhalang oleh meja minimalis berbentuk bundar. Di atas meja bundar itu terdapat sebuah lilin hias dan vas berisi bunga mawar. Dan jangan lupakan lampu yang tidak begitu terang membuat suasana menjadi sangat romantis.
"Kamu udah lama nunggu nya?" tanya Dila, gadis yang mencium pipi Gilang tadi.
"Lumayan"
"Maaf ya, aku ada pemotretan tadi"
Gilang tersenyum "Iya gak papa. Aku ngerti kok"
Dila tersenyum lebar. "Udah pesan?"
"Udah, bentar lagi juga datang pesanannya"
"Kamu gak pesanin aku makanan yang banyak minyak sama lemaknya kan? Aku gak mau badan aku jadi gendut. Lagian Manager aku bisa-bisa ngomel panjang lebar"
"Enggak sayang. Aku pesan makanan yang biasa kamu pesan"
"Good boy"
Dila adalah seorang model. Tak usah tanyakan seperti apa bentuk tubuhnya, yang Gilang tahu bentuk tubuh Dila hampir sempurna. Mengapa hampir? Karena tidak ada manusia yang sempurna. Tapi menurut Gilang pribadi, bentuk tubuh Dila sangat sempurna. Baik depan maupun belakang sudah sesuai dengan porsinya.
Gilang dan Dila mulai pacaran sejak sebulan yang lalu. Waktu itu Gilang pergi ke sebuah Club yang cukup terkenal di Jakarta. Club itu hanya bisa di kunjungi oleh orang-orang tertentu saja. Dan di sana lah ia bertemu Dila. Entah bagaimana, secara perlahan mereka menjadi dekat dan kemudian berpacaran.
Pelayan pun datang membawakan pesanan mereka.
"Kamu kenapa pake pakaian yang begitu kesini?" tanya Gilang sedikit tak suka.
Tadi ia tidak sengaja melihat pelayan pria yamg mengantarkan makanan mereka melirik ke arah Dila. Lebih tepatnya ke arah dada Dila. Pakaian Dila sangat mini, bahkan belahan dadanya terlihat.
"Kenapa sama pakaian aku? Ada yang salah? Biasanyakan memang begini" jawab Dila santai.
Gilang menghela napas kasar. Pakaian Dila mengundang hasrat seorang lelaki. Sebenarnya ia tidak ingin mengakui ini, namun mau bagaimana lagi? Ia juga lelaki normal.
Siapa yang tidak tergiur melihat pemandangan seperti itu, terlebih lagi pria dengan iman lemah seperti dirinya.
Susah payah Gilang mengalihkan perhatiannya dan dengan gampangnya pelayan tadi melirik ke arah dada Dila.
Gilang berdiri dan mendekat pada Dila. Dibukanya jaket nya lalu di sampirkannya jaket itu di bahu dia.
"Makasih sayang" ucap Dila. Gilang hanya merespon dengan senyuman. Lalu ia kembali ke tempat duduknya.
Jangan kira Gilang tidak pernah menegur cara berpakaian Dila. Hal itu sudah sangat sering dilakukannya dan Dila pasti akan mengatakan bahwa ia nyaman menggunakannya, wajar berpakaian seperti itu karena dirinya seorang model dan ia di tuntut untuk itu, dan masih banyak lagi.
Cara berpakaian Dila sudah seperti sebuah kebiasaan, sangat sulit untuk di ubah.
Mereka pun makan dengan tenang. Sesekali berbicara dan saling menceritakan kegiatan mereka masing-masing.
π»π»π»
Bagas mengikuti langkah Atifa mengelilingi tiap-tiap lorong rak buku. Ya, mereka sedang di toko buku.
Bagas memperhatikan setiap gerakan Atifa, mulai dari berjalan sampai menarik buku dari barisan. Ia tersenyum kecil. Walaupun ia berjalan di belakang Atifa, ia bisa tahu bagaimana serius nya Atifa saat ini.
Atifa terus berjalan melewati rak demi rak untuk mencari buku yang ingin dibelinya.
"Kapan ujian seleksinya?" tanya Bagas.
"Dua minggu lagi" jawab Atifa sambil terus berjalan.
"Jadi ambil jurusan Pendidikan Ekonomi?"
Atifa mengangguk. "Jadi dong!"
Bagas mengacak rambut Atifa. Gemas melihat tingkahnya. "Anak IPS banget"
"Di universitas tempat aku kuliah kan?"
Atifa berhenti lalu berbalik. "Astaga iya Bagas. Udah berapa kali kamu tanyain itu ke aku coba?" Atifa terkikik geli.
Bagas menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal, salah tingkah.
"Aku cuma mau pastiin aja. Ini yang terakhir deh" ucapnya.
"Rasanya bakal seru karena kita satu kampus. Yaaa walaupun beda Jurusan" lanjut Bagas.
Atifa mengangguk setuju. "Kenapa kamu ambil pendidikan ekonomi?" tanya Bagas.
"Karena aku mau jadi guru" jawab Atifa.
"Kenapa harus ekonomi? Kenapa gak yang lain, sosiologi atau geografi misalnya"
Atifa meringis. "Karena aku suka ekonomi. Kalau kamu? Kenapa ambil Sistem Informasi?"
"Karena aku mau jadi hacker" jawabnya tanpa pikir panjang.
Atifa tertawa. "Yang bener aja. Jadi hacker?"
Bagas mengangguk. "Mau nge-bobol hati kamu" gombalnya.
Dan sialnya Bagas berhasil. Berhasil membuat Atifa tersipu malu. Atifa membalikkan badannya lagi, kembali berjalan dan pura-pura fokus mencari buku. Padahal sebenarnya ia sedang menyembunyikan senyuman dan pipi merahnya dari Bagas.