Pesta selesai, aku hanya sempat menyapa beberapa tamu—yang kebanyakan merupakan rekan kerja dan teman Renata saat kuliah—karena setelahnya aku terkapar di meja utama dengan segelas wine di tanganku. Aryan yang sejak setengah jam yang lalu datang, terus mengawasiku, menjagaku dari mata-mata keranjang yang bahkan bisa di baca isi kepalanya hanya melalui tatapan mereka.
Toleransi alkoholku rendah, dan aku sudah cukup mabuk sekarang. Tentu saja, sebotol anggur putih cukup membuatku kehilangan setengah dari kewarasanku. Aku mendongak untuk menatap Aryan, tubuhnya berjumlah tiga membuatku harus menggeleng beberapa kali untuk memastikan penglihatanku.
"Kau baik-baik saja?" tanya Aryan. Khawatir.
Aku kembali menggeleng, "Kenapa kau ada tiga?"
"Kau mabuk,"
"Itu bukan jawaban yang tepat," dengusku, aku memegangi kepalaku tak lama kemudian, "Kemana perginya kepalaku? Aku tidak dapat merasakannya," seruku lantang, kulihat beberapa orang di sana terkekeh karena ucapanku. Aku mengernyit sebal, ini merupakan sebuah bencana, bagaimana bisa kepalaku menghilang begitu saja.
"Itu karena kau mabuk Naraya," jelas Hendry.
Aku menggeleng, aku tidak semabuk itu kau tau. Bibirku mengerucut sebal, melemparkan tatapan tak bersahabatku pada pria itu, "Aku tidak semabuk itu sialan,"
"Kau bahkan mengumpat saat kau mabuk?" kudengar Jessica menyahut.
Aku menegakkan tubuhku, menatapnya sengit, "Kau masih memprovokasiku bahkan ketika orang-orang menganggap aku sedang mabuk?" senyum manisku mengembang lebar, "Apakah kau tidak bisa mencari objek panjat sosial selain diriku Jase? Aku merasa kasihan padamu,"
"Jaga bicaramu itu sialan," kulihat wanita itu menggertakkan rahangnya, matanya melotot marah kearahku.
Aku terkekeh singkat, "Kau tidak mabuk dan kau mengumpat. Kau harus berhati-hati dengan apa yang keluar dari bibir manismu itu Jessica, kau ingat kata pepatah bukan? Mulutmu harimaumu,"
"Kau juga harus menjaga bicaramu Nara. Ku dengar kau masih sering mengumpat di hadapan banyak orang," dia masih belum menyerah.
Tawaku menyembur begitu saja, mataku menatapnya nyalang. Wanita ini benar-benar menguras kesabaranku, "Seperti apa? Asshole? Bitch? Shit? Lalu kenapa? Selama ini aku tidak berusaha membangun image terbaik di hadapan semua orang. Aku hanya mencoba menjadi diriku sendiri. Sekarang lihatlah dirimu, Jessica. Kau terlihat sempurna, namun jangan salah di balik kesempurnaan itu aku mengetahui satu hal, kau adalah simpanan Tuan Hong yang terkenal itu bukan?"
Semua orang menatapku kaget, termasuk Aryan dan Hendry.
Jessica semakin meradang, kakinya melesat maju hendal menamparku namun Aryan menahannya.
"Tapi itu tidak terlalu buruk, kau masih bisa menjadi istri ke-4 nya Jase. Setidaknya sebelum kau meracuni dan mengambil semua hartanya seperti yang kau lakukan kepada mantan suamimu.
Aryan menarik napas panjang mencoba menekan kekesalannya, "Kita sebaiknya kembali. Kau sudah terlalu mabuk,"
Aku menggeleng, segera meneguk habis wine yang tersisa di dalam gelas yang ku genggam.
Hendry di sampingku berdecak, "Dasar bodoh. Aryan, kita benar-benar harus membawanya kembali atau dia akan semakin mengacau,"
"Kau benar,"
"Tunggu!" aku menaikkan kedua tanganku, "Bisakah aku mendapat hiburan malam ini. Pria tampan seperti Jung Jaehyun atau Lucas Wong misalnya,"
"Kau tidak akan mendapatkan pria panas itu sekarang kembalilah," desak Aryan sembari menarik lenganku untuk keluar dari venue. Aku mencebik, aku benar-benar ingin mendapat pria tampan.
Aku menarik lenganku dari cekalan Aryan, ku tatap dia sebal, "Aku bisa berjalan sendiri. Kalian bisa kembali ke pesta,"
"Kami tidak akan membiarkan kau mengemudi dalam keadaan mabuk Nara," balas Hendry.
Aku mengedikkan bahu, "Supir yang membawaku kemari dan supir juga yang akan mengantarku pulang,"
Aryan mengangguk, sepertinya menyetujui, "Akan kuantarkan kau ke basement,"
"Tidak perlu, aku bisa melakukannya sendiri. Kalian bisa kembali sekarang,"
"Tapi—"
"Kembalilah. Aku tidak semabuk itu," potongku, "Jangan khawatirkan aku," aku melanjutkan sebelum melangkah terseok-seok menuju basement gedung ini. Kudengar decakan dari belakang sana namun aku tak peduli.
Mataku melirik kanan dan kiri. Mobil mewah yang berjajaran membuatku pusing. Cukup sulit menemukan mobil bmw kesayanganku itu.
Kepalaku berputar membuatku meringis dan sukses memegang erat benda itu agar tidak hilang.
"Sebenarnya di mana kuletakkan besi hitam kesayanganku itu," rutukku, kurasakan dunia seakan berguncang, kakiku melangkah mengikuti guncangan itu bahkan tanpa kusadari, "Mama, aku akan mati sekarang,"
Guncangan itu semakin menjadi, dan sebelum tubuhku limbung aku segera bertumpu pada mobil di sampingku. Oh tuhan rasanya benar-benar gila.
Aku menoleh ke belakang untuk menatap mobil macam apa yang menjadi sandaranku. Puji tuhan, mobilku. Tanpa banyak bicara aku segera melesat memasuki mobil hitam itu, mendudukkan diri di kursi belakang dengan tangan kiri yang masih memegangi kepalaku.
"Apa yang—"
"Jangan banyak bicara dan segera antar aku pulang," ucapan sosok di balik kemudi terpotong oleh seruan kerasku.
"Tapi—"
Hoek
Semua isi perutku keluar saat itu juga, lega sekali rasanya. Namun bersamaan dengan itu, kesadaranku hilang begitu saja.
***
Aku membuka mataku ketika cahaya matahari mengusik tidur nyenyakku. Hal yang pertama yang ku lihat adalah langit-langit kamar berwarna abu-abu. Aku mencoba beranjak namun rasa pusing yang mendera membuatku harus kembali membanting tubuhku tenggelam dalam ranjang yang begitu nyaman.
Mataku terpejam selama beberapa saat, selama beberapa saat rasa mual tak tertahankan menghampiriku, membuatku mau tak mau segera beranjak hendak menuju kamar mandi namun sebuah keanehan terjadi, bagaimana aku melupakan letak kamar mandi di kamarku sendiri?
Dan astaga bagaimana bisa kamarku yang cantik dengan warna pink dominan berbuah menjadi sebuah kamar bercat putih gading, dan yang paling mengejutkan lagi, di mana meja riasku? Aku nyaris memekik, namun kuurungkan ketika rasa mual itu semakin menjadi.
Aku berjalan cepat sembari menutup mulut, berusaha agar tidak muntah di sembarang tempat.
Brakk
Kubuka pintu berwarna biru di hadapanku, benar saja pintu itu menuju toilet. Tanpa banyak bicara aku segera melesat menuju closet, mengeluarkan semua isi perutku tanpa terkecuali.
"Kau baik-baik saja?" sebuah suara yang serak namun maskulin mengagetkanku. Aku menoleh dengan cepat.
"Siapa kau?" tanyaku yang bahkan belum sempat mencuci wajah.
"Namaku Jeffrey Airlangga, dan semalam kau muntah di mobilku," jawab pria itu santai.
Aku mengernyit, mencoba mengingat-ingat. Pesta pertunangan Rena, Hendry yang datang, wine, Jessica yang memprovokasiku dan aku muntah sebelum pingsan semalam, oh sial aku dalam masalah besar.
"A , aku—" aku menatap sekitar, tidak tahu harus bagaimana menanggapinya.
"Sepertinya kau membutuhkan beberapa obat dan pakaian. Asistenku akan datang dalam 5 menit. Persiapkan dirimu dan temui aku di lantai bawah secepatnya,"
Aku mengangguk tanpa banyak bicara. Merasa bersalah akan apa yang ku lakukan semalam.