Namaku Naraya Adithama, usiaku duapuluh empat. Tinggiku 170 senti dengan berat badan 40 kilo gram. Lajang. Berprofesi sebagai model pada awalnya, sebelum bulimia menyerangku dan membuatku harus merelakan seperempat berat badan awalku.
Dan ketika kedua orang tuaku tau, mereka memaksaku untuk keluar dari dunia modeling. Dan beginilah, aku menjadi pengangguran selama setahun terakhir. Papa dan mama terus mendesakku untuk fokus pada bulimia yang ku derita sebelum kembali bekerja.
Keluargaku, cukup terpandang dan terkenal dalam dunia bisnis. Aku tidak pernah merasa kekurangan dalam segi material.
Aku Naraya Adhitama. Putri bungsu dari tiga bersaudara. Kakak sulungku, Aryani Adhitama. Seorang wanita karir berusia dua puluh lima. Cantik dan anggun, kulitnya sawo matang, tidak sepertiku yang berkulit pucat. Aryan mempunyai lesung pipit di masing-masing pipinya membuatnya begitu mempesona kala tersenyum. Rambutnya hitam sepanjang punggung, selalu di kuncir cepol terlebih ketika ia bekerja. Karirnya, bisa di bilang dia adalah pengusaha sukses yang masih berusia sangat muda. Kemampuannya dalam dunia bisnis tidak di ragukan lagi, itulah alasan mengapa papa memberikan perusahaannya kepada Aryan, bukan kepadaku dan saudariku yang lain karena kami pun tidak tertarik berkecimpung di sana.
Aryan masih lajang hingga saat ini. Masa lalu masih menjeratnya. Kadang aku merasa prihatin ketika beberapa orang menanyakan pertanyaan sensitif. Kapan menikah.
Saudaraku yang kedua, namanya Renata Adhitama. Ia juga cantik, tubuhnya mungil dan wajahnya menggemaskan, pipi dan matanya begitu bulat. Ia lebih tua 5 menit dariku. Namun orang-orang selalu menganggap aku lebih tua darinya. Menyebalkan.
Rena begitu dewasa, namun juga boros. Bagaimana bisa ia menukarkan mobil hadiah dari ayah saat ulang tahun kami ke delapan belas hanya demi sebuah novel klasik kesukaannya. Dasar gila.
Renata Adhitama bekerja di sebuah perusahaan percetakan yang cukup terkenal di kota kami. Penulis.
Dan di sinilah aku. Di sebuah venue besar yang ramai. Pesta pertunangan saudara kembarku bersama seorang konglomerat china terkenal bernama Guanlin. Cukup rumit karena Rena memilih melangkahi Aryan.
"Menikmati pertanya nona?" seseorang menegurku membuatku sontak menoleh.
Kusinggungkan senyum simpul kepada sosok itu—Mahendra—rekan kerja Aryan yang sangat menyebalkan, "Seperti yang anda lihat," jawabku tanpa minat.
Kulihat pria itu tersenyum lebar, "Ku lihat kau sendirian. Berkenan menikmati pesta ini bersamaku nona?"
Aku menggeleng tanpa pikir panjang. Aku tau di mana akan berakhir, di meja utama dengan berpuluh botol wine dan cocktail. Aku bukan peminum yang baik kuakui, maka dari itu zona aman lebih baik untuk saat ini, "Anda bisa pergi bersama orang lain tuan. Aku tidak tertarik dengan itu semua,"
"Ayolah nona. Bukankah kau sudah sembuh dari bulimiamu itu? Lantas mengapa kau masih menghindari makanan?"
Aku mendengus. Lancang sekali, "Apapun yang menimpaku tidak ada hubungannya dengan anda Tuan Mahendra. Anda boleh pergi sebelum aku berteriak,"
Mahendra mendengus, segera melangkah menjauhiku dan mendekati mangsa lain. Sepupu jauhku, Angeline. Aku terkikik dalam hati. Dasar buaya.
"Nara! Sudah lama sekali tidak melihatmu," seruan itu mengagetkanku.
Ah Hendry, mantan pacar Aryan yang pergi ke America beberapa tahun terakhir. Astaga, aku tidak menyangka dia akan berada di sini, "Hendry?" alisku terangkat tanpa sadar, "Sudah menemui Aryan?" tanyaku tanpa perlu basa basi.
Dia tersenyum, wajahnya masih sama seperti terakhir kali kami bertemu. Mungkin rahangnya semakin tegas sekarang. Tampannya, sangat cocok dengan Aryan, kuakui.
"Dia menangis, aku merasa bersalah," jawabnya tampak menyesal.
"Aryan membutuhkan waktu Hendry. Kau yang meninggalkannya dulu. Lalu menghilang nyaris selama setahun terakhir. Semuanya banyak berubah sekarang,"
"Maka dari itu aku kembali. Sebelum perasaan Aryan kepadaku berubah," balasnya.
Aku mengangguk, "Aryan tidak semudah itu. Dia begitu rumit, bahkan lebih rumit dari kehidupanku,"
Hendry tertawa, selera humornya memang begitu sulit di pahami, "Bagaimana kabarmu? Kau terlihat kurus sekali. Apakah menjadi model begitu menekanmu adik kecil?"
Aku mendengus mendengar panggilan itu, "Banyak yang terjadi selama kau menghilang bak di telan bumi kakak laki-laki. Kau harus mengejar ketertinggalanmu itu,"
"Wah apakah itu kau Hendry?" seseoran menginstrupsi percakapan kami.
Aku menoleh dan mendapati dua bintang utama malam ini tengah berjalan mendekati kami "Sebuah kejutan bukan? Bahkan dia lebih memilih menemui Aryan sebelum menemui kalian," aku memprovokasi.
Rena tertawa sinis, "Dasar tidak sopan,"
"Yah seharusnya aku menemui kalian, tapi Aryan lebih penting dari apapun,"
"Si bedebah ini," kudengar Rena mendesis, aku menyeringai puas, "Lalu kenapa kau meninggalkannya bodoh?"
"Karena sebuah hal mendesak," jawab Hendry santai, "Selamat untuk pertunangan kalian. Ku harap kalian tidak menikah sebelum aku dan Aryan,"
"Percaya diri sekali. Apakah kau yakin Aryan akan menerimamu kembali asshole," ejekku.
Hendry menggaruk tengkuknya, "Setidaknya aku akan berusaha,"
"Berusahalah tuan. Aryan tidak semudah itu," Rena tersenyum mengejek, menepuk bahu Hendry beberapa kali.
"Ya, dia sudah dewasa sekarang,"
"Kalian seumuran bodoh," rutukku kesal, "Memang benar, sebaiknya aku minum dari pada harus menghadapi si bodoh ini," aku berseru sebelum melangkah menjauh dengan sedikit menaikkan gaun panjang yang kukenakan.
"Naraya," reflek aku menoleh mencari sosok yang baru saja memanggilku.
Oh sial, mantan kekasihku saat sekolah menengah atas, dia datang. Namanya Luke, bersama kekasih barunya Jelita. Mereka tampak serasi. Astaga, bagaimana bisa pesta ini penuh dengan mantan kekasih, rutukku.
"Hai Luke dan Jelita," sapaku seramah mungkin, "Apakah kalian menikmati pestanya?"
"Tentu saja, siapa yang merancang dekorasinya. Indah sekali," Jelita membalas dengan riang.
Aku tersenyum, "Aku yang menyiapkan semuanya. Syukurlah jika kalian menyukainya,"
"Seleramu memang tidak main-main Nara. Bahkan di pertunangan saudara kembarmu sendiri," puji Luke.
Aku tersenyum bangga, segera menggumamkan terimakasih.
"Kapan kau akan menyusul mereka?" sialan, pertanyaan itu membuatku nyaris mendengus. Jika saja Jelita bukan kekasih dari mantan kekasihku—mungkin aku akan menyiram gadis ini dengan wine di meja utama.
Aku tersenyum paksa, "Aku akan menyusul setelah Aryan. Aku putri bungsu tidak mungkin melompati kakak sulungku,"
Pasangan itu terkekeh bersamaan.
"Kuharap kau segera menemukan seseorang yang dapat menjagamu Nara. Kau begitu berharga untuk di sia-siakan," ujar Luke tulus.
Aku tersenyum lalu mengangguk. Segera pamit untuk berlalu menuju meja utama.
"Wow siapakah gerangan si cantik ini," seseorang menegurku.
Aku hanya tersenyum tipis, "Namaku Naraya,"
"Apakah kau kakak Rena?" tanyanya.
Gelenganku menjawab pertanyanaannya, "Aku adik kembarnya,"
"Wah aku tidak menyangka Renata mempunyai seorang adik secantik dirimu,"
Aku tersenyum canggung sebagai balasan.
"Aku Jacob, rekan kerja Rena," dia mengulurkan tangannya yanh kusambut dengan baik walau canggung.
"Namaku Naraya. Kau bisa memanggilku Nara," balasku.
"Nara?"
Aku menoleh, "Oh. Hai Jessica," balasku, menyapa Jessica, rivalku saat di sekolah menengah.
"Kau dengan seorang kutu buku sekarang?" tanyanya terlihat terkejut, aku tau ucapannya sarat akan sindiran dan cemoohan.
Aku mengedikkan bahu, "Apapun yang terjadi padaku jelas sekali bukan urusanmu benar? Kawan lama," aku menyeringai, segera berlalu tanpa menghiraukan dengusan wanita itu.