Dia berdiri di depanku dengan senyum semringah.
"Reen!" teriaknya mencoba menggapai tubuhku. Aku mengernyitkan kening saat melihat sosok lelaki jangkung yang wajahnya seperti familiar.
"Maaf. Siapa ya?" tanyaku saat tak berhasil membongkar memory-ku tentang sosok di depanku.
"Randy. Lupa? Randy Bagaskara." Dia tersenyum dengan mata berkilat bahagia.
"Randy! Ya Allah. Gimana kamu bisa ada disini?" Aku menubruk tubuh tinggi bongsor itu. Kami berpelukan sejenak sebelum melepas tawa bersama.
Randy adalah sahabat sekaligus tetanggaku di masa kecil. Meski dia tiga tahun lebih tua dariku, tapi wajah 'baby face'-nya membuat dia nampak lebih muda dariku. Sialan!
Saat usianya 10 tahun, ayahnya mengalami kecelakaan dan membuat ibunya harus bekerja demi memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Untungnya Randy tidak mempunyai adik, jadi beban ibunya juga tidak terlalu berat.
Saat ibunya bekerja itulah Randy sering bermain denganku, mama juga senang dengan adanya Randy. Selain pintar, Randy juga sopan dan ringan tangan. Tak jarang, dia membantu mama membersihkan kebun belakang. Atau menemani papa main catur di hari Minggu bila ibunya ada pekerjaan yang masih harus diselesaikan. Maklum ibunya bekerja di perusahaan asing yang kadang jam kerjanya suka seenak mereka sendiri.
Aku mulai ingat, selepas SD, ibunya menikah lagi dengan lelaki bule dari Australia. Randy pun pindah, mengikuti keluarga barunya.
Saat itu, aku menangis berhari-hari karena kepergiannya. Aku benar-benar kehilangan sosok sahabat sekaligus kakak yang selalu melindungiku. Hingga akhirnya, kedatangan Kak Yuni, mampu membuatku sedikit demi sedikit melupakan kesedihanku.
Kami tidak pernah bertemu sebelumnya, makanya aku heran bagaimana dia bisa mengenaliku.
"Aku tahu, kita pasti akan bertemu lagi suatu saat. Yang aku nggak percaya, hari ini adalah hari keberuntunganku," ucapnya cepat secepat tarikan tangannya, kami melewati pintu keluar dan berjalan bersisian di sepanjang trotoar yang semakin ramai. Tanpa banyak kata dia menggiring langkahku menuju ke sebuah box container burger di dekat kios tadi.
"Kamu gimana bisa mengenaliku?" tanyaku saat kami tiba di depan kasir. Randy memesan dua paket burger dan mengajakku duduk di bangku taman terdekat.
"Aku selalu mengikuti medsosmu Reen. Aku mengetahuinya saat tanpa sengaja melihat beberapa unggahan grup musikmu di Youtube. Akhirnya aku putuskan mencari semua akun medsosmu agar aku yakin kalau itu kamu," jelasnya dengan bangga tanpa melepas pandangan matanya padaku.
"Idih. Terniat banget." Aku terkekeh pelan mendengar penuturannya
"Yaa, karena aku sangat kangen kamu, Reen."
"Aku juga," rengekku bersikap manja hanya untuk menggodanya. Randy tertawa melihat tingkahku. Aku jadi ikut tertawa. Memang senyumnya begitu mudah menular.
"Kamu sama siapa di sini? Liburan?" tanya Randy sambil menggigit burger di tangannya.
"Sendiri. Aku study dan tinggal di situ." Aku menunjuk sebuah gedung apartemen yang memang nampak tak jauh dari tempat kami duduk.
"Wow. College?"
"Belum dong Ran. Aku masih harus menyelesaikan satu tahun senior high school sebelum lanjut college."
"Why? Kenapa tidak selesaikan dulu Senior di Indonesia, baru ke sini?" tanya Randy heran. Jangankan kamu, aku aja heran. Sepertinya papa dan mama memang benar-benar tidak menginginkanku ada di sekitar mereka.
"Yaa, biar lebih mudah aja nanti masuk ke college-nya." Aku mencoba memberi alasan yang sebenarnya aku juga ragu. "Mungkin seperti itu..." lirih hatiku.
"Hei. Kok jadi keliatan sedih gitu? Ada apa Reen?" Nampaknya Randy terlanjur menangkap sedikit ekspresi sedihku sesaat tadi. Dia memang semenjengkelkan itu. Tak ada yang bisa aku sembunyikan darinya sejak dulu.
"Aku sedih berpisah dengan papa mama," jawabku berbohong
"Hei. Ada aku di sini. Mulai sekarang, aku akan jadi kakakmu di sini. Deal?"
"Yakin mau punya adek kayak aku?"
"Kenapa memangnya?"
"Aku masih suka nangis, loh."
"Emang."
"Aku suka makan, jajan, nonton, jalan-jalan. Yakin mau nemenin?" kerlingku mulai menggodanya. Randy tertawa dan mengacak pucuk rambutku pelan.
"Yaa, semoga kekasihku bisa memahaminya."
"Ish! Udah punya kekasih aja. Padahal ..."
"Jangan ngarep. Aku nggak napsu ama kamu. pengintil."
"Hei!" Randy tertawa dan merangkul bahuku pelan.
"Tenang. Nanti aku kenalkan pada Clara, kekasihku. Dia sangat baik."
Aku hanya mengerucutkan bibir yang disambutnya dengan tawanya yang semakin keras.
Ya. At least aku tidak merasa kesepian lagi. Ada Randy di sini.