Chereads / BARA / Chapter 30 - Pertemuan

Chapter 30 - Pertemuan

Bara menghela nafas sejenak sebelum turun dari mobil, Septi meliriknya sekilas, kemudian tersenyum.

"Beneran sudah siap?" tanyanya menggoda, kalung itu sudah bertengger di leher Septi, tampak begitu cantik dan elegan, tak lupa anting dan gelang itu.

"Siaplah, demi segera menghalalkan mu!" guman Bara serius.

Septi menatap manik mata itu, astaga laki-laki ini benar-benar serius? Baru beberapa hari kenal. Ia ikut menghela nafas panjang lalu melepas seat belt dan mulai turun dari mobil.

Ia sudah menelepon abangnya, bilang bahwa Bara akan kemari, jadi Septi yakin bahwa semuanya sudah duduk dan menunggu mereka saat ini.

Sementara Bara ikut turun sambil membawa plastik berisi martabak manis, dan beberapa oleh-oleh lain. Ia sudah bertekad bahwa ia harus berhasil meluluhkan hati orangtua Septi.

"Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam," tampak Andre sedikit terkejut. Pantas saja adiknya mati-matian menolak ia jodohkan dengan sejawatnya, rupanya sekeren ini laki-laki yang hendak melamarnya!

"Bang, ini Abimana, yang kemarin Nisa ...."

"Ajak masuk ke dalam, papa mama sudah nunggu." guman Andre tegas sambil mengulas senyum simpul.

"Andre," guman Andre ketika menjabat uluran tangan Bara. "Mari silahkan masuk."

Septi sekali lagi menatap Bara, Bara hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala pelan. Kemudian mereka melangkah masuk ke dalam, dimana kedua orangtua Septi sudah menanti.

"Mari silahkan duduk, Nak ...."

"Abimana, Bapak, nama saya Abimana." guman Bara sambil mengulurkan tangannya.

"Silahkan duduk, Nak Abi." Hadi, papa Septi mengukir senyum merekah di wajahnya.

Bara mengangguk pelan, lalu duduk di kursi bersebelahan dengan Septi. Tampak Andre turut duduk di sana. Dan jujur Bara merasa benar-benar gugup.

"Jadi menurut cerita yang Bapak dengar dari Nisa, Nak Abi punya niatan baik pada anak gadis bapak, apa itu benar?"

"Benar sekali, Bapak. Mohon maaf jika terkesan lancang, namun jika bapak ibu dan kakak mengizinkan, dan dari Nisa sendiri juga setuju, saya ingin meminang Nisa untuk saya jadikan istri saya, Bapak."

"Sebelumnya bapak mohon maaf, untuk Nak Abi sendiri pekerjaan sekarang apa?"

"Saya tidak bekerja pak, tapi Alhamdulillah bisa memperkejakan beberapa orang. Hanya bisnis kecil sih, tapi insyaallah saya jamin saya bisa membahagiakan dan mencukupi semua kebutuhan Puteri Bapak."

Sialan! Batin Andre gemas. Anak ini boleh juga rupanya, jujur Andre langsung terkesan dengan sosok yang digilai adiknya itu. Wajahnya tampak sopan, dan sepertinya dia memenangkan tipikal laki-laki yang bertanggung jawab, Andre dapat melihat itu dari mata pemuda itu.

"Bapak percaya, sekarang tinggal Nisa nya bagaimana." Hadi tersenyum, ia kemudian menoleh dan menatap putri semata wayangnya itu. "Bagaimana, Nis?"

Septi sontak tersenyum, wajahnya memerah. Ia menatap satu persatu orangtua dan kakaknya itu.

"Septi terima semua niat baik Abi, hanya saya kalau untuk menikah, Septi minta waktu sampai akhir tahun ini, apakah boleh?" Septi menoleh, menatap Abi yang tampak sangat tegang itu.

Sontak Abi tersenyum lega, dapat terlihat dari wajah itu bahwa ia lega luar biasa mendengar jawaban gadis itu.

"Boleh, tapi mohon maaf bapak ibu, orangtua saya jika diperkenankan ingin silahturahmi kemari, sekaligus melamar Nisa. Jika Nisa keberatan untuk menikah dalam waktu dekat ini, setidaknya saya ingin kami bertunangan dulu."

Andre benar-benar salut, sebenarnya siapa sih sosok ini? Bahasanya begitu lugas dan sangat meyakinkan. Sepertinya diam-diam ia harus cari tahu siapa sebenarnya sosok ini. Karena pria inilah yang kelak akan meminang adiknya, menikahi adiknya, semoga saja semua yang terlihat baik saat ini bukan hanya pencitraan semata.

***

"Sudah lega?" tanya Septi ketika mereka berdua duduk di depan rumah.

"Banget," jawab Bara sambil tersenyum, sejak tadi senyum itu tidak mau hilang dari wajah Bara.

"Maaf, aku masih minta waktu, aku mau kita saling mengenal lebih jauh lagi sebelum benar-benar melangkah ke jenjang itu, Bi."

Bara mengangguk pelan, ia paham betul jika gadis itu belum seratus persen yakin dengan perasaan yang Bara punya untuknya. Tak masalah, ia akan membuktikan pada Septi bahwa ia benar-benar serius dan layak mendapatkan dirinya.

"Aku mengerti, hanya saja tolong ... jangan ragukan perasaan ini, Sep. Aku benar-benar tulus padamu."

Septi tersenyum, "Iya ... baiklah. Aku tidak bermaksud meragukan, hanya saja ...."

"Iya Sayang, aku paham." potong Bara sambil tersenyum.

Sayang? Sontak wajah Septi memerah. Bara memangil dia sayang? Kenapa rasanya lain kalau Bara yang memanggil?

"Hey, wajahmu merah." guman Bara sambil menahan tawa.

"Apaan sih, enggak lho!" Septi mencoba mengelak, namun sayang wajahnya makin merah macam kepiting rebus.

Bars hanya terkekeh, ia benar-benar gemas dengan sosok satu ini. Rasanya ingin ia peluk erat gadis itu. Namun sayang ini bukan waktu dan tempat yang tepat.

Rasanya Bara sudah tidak sanggup lagi menunggu akhir tahun. Dan saat itulah nanti ia dapat memiliki sepenuhnya gadis cantik yang langsung sukses menganggu pikirannya sejak pertama kali ia lihat Septi turun dari motornya dulu itu.

Dan rupanya mereka berjodoh, buktinya besok hari mereka bertemu, dikedai ayam geprek Bara, dan berkahir hingga saat ini.

"Tunangan nanti undang Nindi dan sahabat aku yang lain, boleh?" Septi lirih ketika Bara hanya diam saja.

"Tentu boleh dong, ini pasti bakal jadi kejutan luar biasa buat Nindi." Bara tertawa, tidak bisa ia bayangkan bagaimana ekspresi ibu-ibu beranak satu besok itu ketika tahu ia hendak menikahi sahabat yang selama ini Nindi sodorkan hendak dijodohkan dengannya itu.

"Pasti dia mengomel panjang lebar." Septi ikut tertawa, ia benar-benar sudah tidak sabar melihat bagaimana tanggapan Nindi soal pertunangan mereka. Bukankah kemarin Septi menolak keras-keras usaha Nindi yang hendak mengenalkan dirinya dengan Bara?

"Biarlah, dengerin saja emak-emak itu mengomel."

"Bener juga sih, iya didengerin aja."

"Ngomong-ngomong, kalau sudah nikah nanti, kamu nggak ada niatan buat nunda hamil dulu kan?" tanya Bara yang sontak membuat Septi terkejut.

"Tentu tidak lah, memang kenapa?"

"Aku sudah ingin punya fotocopy-an ku."

Septi sontak tertawa, astaga. Memang hanya Bada yang sudah ingin punya anak? Jujur Septi juga sudah ingin. Apalagi kalau ingat betapa lucu si Arra, anak Lili Dokter Yudha. Serta Andhara, anak Nindi dan Dokter Bastian itu.

"Kenapa tertawa?" tanya Bara sambil tersenyum kecut.

"Tidak apa-apa, memang siap gantiin popok, tidur digangguin, makan digangguin gitu?"

"Siap dong, kalau perlu aku sewa nanti baby sitter terbaik se-Indonesia buat anak kita." Bara tersenyum menatap manik mata itu dalam-dalam. "Nanti berhenti bekerja ya, bantu aku urus usahaku. Mau kan?"

Septi tertegun, berhenti kerja? Bantu Bara urus usahanya? Dia lulusan kebidanan, bukan ekonomi bisnis.

"Aku lulusan kebidanan, Sayang ... apa aku mam ...,"

"Aku bimbing, jangan khawatir. Aku butuh kamu, kita urus bersama ya nanti." pinta Bara sekali lagi, dengan tatapan memohon.

Septi hanya mengangguk pelan sambil menyunggingkan senyum manisnya. Bara meraih tangan inti lalu menggenggamnya erat-erat.