Seperti biasa siang ini Nindi ikut dengannya ke kedai kopi. Gadis itu tampak begitu santai duduk di mejanya hingga kemudian parasnya tampak terkejut ketika menerima sebuah telepon.
"Kenapa?" tanya Bara yang menghampiri sosok itu sambil membawa secangkir kopi.
"Bar ... dia kesini! Bastian di sini!" guman gadis itu dengan panik.
"Disini dimana? Mana orangnya?" tanya Bara sambil celingak-celinguk mencari sosok yang Nindi maksud.
"Masih di stasiun Bar!" wajah itu masih tampak panik.
Bara tersenyum, lalu merogoh saku celananya dan menyodorkan kunci mobil pada Nindi yang masih tampak kebingungan itu.
"Jemput dia pakai mobilku aku siapkan hidangannya!"
Sosok itu tampak terkejut, ia kemudian meraih kunci mobil itu dan tersenyum.
"Terimakasih, Bar." gumamnya lirih lalu berdiri dan melangkah keluar.
Bara tanya geleng-geleng kepala melihat betapa semangatnya gadis itu pergi, tentu saja dia kan akan bertemu dengan kekasihnya itu. Bara kembali tersenyum, kemudian ia melangkah menuju meja raciknya.
***
Bara sudah selesai meracik secangkir kopi ketika ia melihat Nindi dan sesosok laki-laki berwajah oriental masuk ke dalam, Bara tersenyum simpul, pantas Nindi tergila-gila, secakep ini, calon dokter pula! Ia bergegas menghampiri tamu spesialnya itu.
"Hallo, Bastian ya?" sapanya sambil tersenyum ramah dan mengulurkan tangannya.
Sosok tinggi dengan kulit putih bersih itu tersenyum dan membalas ukurannyan itu.
"Iya, saya Bastian. Senang bisa berjumpa."
"Kenalkan saya Bara, mungkin Nindi sudah cerita tentang saya." guman Bara memperkenalkan dirinya.
"Iya, dulu sudah cerita." Bastian tersenyum. "Senang bisa berjumpa."
"Aku juga senang ketemu sama kamu, kita santai aja ya." ujar Bara sambil tertawa, ia melihat senyum kaku itu. Mungkin Bastian masih sedikit tidak enak kepadanya, karena dia dekat dengan Nindi? "Oh ya ... mau minum apa nih?"
"Kamu jual apa saja memang?"
"Banyak, ada kopi lokal juga, mau coba?" Bara mencoba tetap biasa, toh dia dan Nindi tidak ada hubungan apa-apa selain sahabat bukan?
"Punya kopi kintamani dong berarti?" wajah Bastian berubah cerah.
"Tentu ada, tunggu sebentar!" Bara tersenyum lalu berbalik dan pergi ke meja raciknya. Ia harus turun tangan sendiri menyajikan kopi untuk tamu spesialnya itu.
Dari meja raciknya, mereka terlihat sedang berbincang serius. Bara hanya tersenyum simpul melihat dua sejoli itu, bukankah mereka pasangan yang serasi?
***
"Kopinya nih," Bara tersenyum sambil menyodorkan secangkir kopi dan beberapa piring camilan. Ia kemudian duduk di kursi kosong yang berada tepat di depan Bastian.
"Terimakasih, kamu bikin sendiri?" tanya Bastian kemudian meraih cangkirnya.
"Ya begitulah ... untuk tamu spesial."
"Wah, terimakasih lho. Sudah lama bisnis kopi, Bar?" Bastian menyeruput kopinya, sejenak ia tampak tertegun, kemudian kembali meletakkan cangkirnya.
"Sudah tiga tahun ini sih, rencana dulu usaha ini mau buat mahar, tapi sayang gagal." Bara tersenyum kecut, ia mengacak rambutnya lalu bersandar pada kursinya.
"Mahar? Maksudnya?" Bastian nampak mulai tertarik banyak bicara, sedangkan Nindi lebih suka menyimak sambil melahap pukis pesanannya.
"Ya dulu sih rencana bikin usaha ini mau aku pakai buat maharin cewek, udah lama pacaran, udah aku lamar personal, eh ... "
"Ditikung orang!" sahut Nindi sambil tersenyum kecut.
Bara tertawa, ia hanya geleng-geleng kepala sambil menundukkan kepalanya. Sementara Bastian tampak tersentak dan tersenyum kecut.
"Laki-laki setampan dan semapan kamu kena tikung? Nggak salah, Bar?"
"Kamu nggak tahu siapa yang nikung sih, Sayang." Nindi mulai ikut nimbrung.
"Memang siapa?" tanya Bastian yang kini menoleh ke arah kekasihnya itu.
"Tau Yusrizal Effendi dong?" tanya Nindi sambil menatap Bastian lekat.
"Jangan bilang kalau yang nikung ... "
"Yup, bagaimana pun aku kalah sama anak presiden itu, Bas!" Bara tertawa, menertawakan dirinya sendiri.
Bastian tampak tercengang, ia menatap Bara tanpa berkata-kata lagi. Pantas saja, anak presiden tetap lebih dari segala-galanya, walaupun nanti kalau bapaknya sudah tidak jadi presiden entah bagaimana, masa bodoh. Yang penting sekarang dia masih berkuasa bukan?
"Sori, kalau malah bikin kamu inget sama yang udah bikin kamu sakit." Bastian menepuk pundak Bara, ia tak mengira kalau gadis cantik yang bikin banyak orang berdecak kagum saat hari pernikahannya itu adalah kekasih Bara.
"Sudah nggak apa-apa, mungkin memang belum jodohnya, ya ... walaupun nyesek juga." Bara menatap langit-langit kedai kopinya, "Padahal sejak SMA lho kita yang pacaran, mungkin dia juga udah bosen kali ya sama aku."
"Selama itu hubungan kalian?" Bastian kembali tertegun tak percaya, dan hubungan yang sudah selama itu kandas hanya karena jabatan bapaknya? Bukan main!
"Iya, walaupun ya kadang putus sambung." Bara kembali mengacak rambutnya, "Oh ya, dalam rangka apa nih dari Kalimantan main ke Madiun?"
"Cuma mau ketemu Nindi sebelum dia berangkat Internship." Bastian kembali menyesap kopinya, rasanya Bara bukan laki-laki yang perlu ia curigai, meskipun ia tetap harus waspada. Kalau sekelas pengusaha banyak duit seperti Bara aja kena tikung apalagi dia yang cuma dokter?
"Kamu nggak takut nih, Nindi sampai sana internship-nya?"
"Sudah resiko profesi kami, Bar! Mau bagaimana lagi, alurnya memang seperti itu. Aku sedikit senang ia tak harus ke daerah timur, apalagi kalau sampai ke Papua, nggak bisa bayangin."
"Ada emang yang harus sampai Papua?" Bara mulai tertarik dengan cerita Bastian, sungguh ternyata jadi dokter itu perjuangannya tidak main-main!
"Temenku ada, di daerah terpencil yang harus naik kapal, jalan kaki naik turun bukit. Mana alat telekomunikasi kadang nggak berfungsi, listrik di sebagian desa belum ada." Bastian menerawang jauh, membayangkan kondisi yang harus dihadapi disana.
"Tapi sekarang sudah balik kan?" Bara melambaikan tangan ke waiters-nya kode minta segelas kopi.
"Iya udah balik ... udah balik ke Sang Pencipta."
"Maksudnya ... " Nindi ikut tersentak, jangan bilang kalau ...
"Dia kena malaria, dan karena akses yang sulit, komunikasi yang sulit, dia telat mendapat pertolongan. Dia meninggal di perjalanan dengan helikopter untuk dibawa ke rumah sakit yang fasilitas kesehatannya lebih lengkap, sayang sudah terlambat."
"Tak ku sangka perjuangan para dokter itu tidak main-main." Bara menggelengkan kepalanya, mencoba membuang bayangan mengerikan itu dari pikirannya.
"Begitulah, tapi mau bagaimana sudah konsekuensinya."
Bara hanya mengangguk pelan, tak selang lama secangkir kopi pesanannya datang. Ia menyesap kopi itu pelan-pelan, lalu kembali meletakkan cangkirnya.
Tak beberapa lama ada sosok laki-laki paruh baya yang masuk ke dalam, mendekati Bara dan tampak berbisik sesuatu. Alis Bara tampak terangkat, lalu ia hanya mengangguk dan laki-laki itu beranjak pergi dari meja mereka.
"Sebelumnya aku minta maaf, aku ada urusan sebentar. Aku tinggal nggak apa-apa kan?" Bara kembali menyesap kopinya. "Bawa dulu mobilku, Nin. Kalau Bastian butuh apa-apa, telpon aku saja." Bara bergegas bangkit lalu menyalami Bastian dan Nindi satu persatu.
"Sori kalau aku malah jadi ngerepotin kamu," Bastian tersenyum, kali ini senyumnya tampak tulus.
"Sudahlah, pacar Nindi itu temen aku juga, jangan sungkan!" Bara menepuk pundak Bastian, lalu melambaikan tangan ke Nindi dan melangkah keluar.
Bara masuk kedalam mobil sport merahnya yang dibawa Pak Edi. Apaan lagi sih papa pakai ngajak ketemu segala? Pasti bahas perusahaan lagi bukan? Bara sudah benar-benar jenuh. Jual apa kenapa sih? Bara sudah adem ayem dengan usahanya sendiri masih saja dihantui sama perusahaan itu. Heran!
Bara menghela nafas panjang, sungguh ia benar-benar lelah, jika dulu ada Kirana atau Hanifa yang bisa ia gunakan sebagai sandaran, sekarang tidak ada!