Hanifa merasa tidak nyaman dengan area kewanitaannya pagi ini. Perutnya mulas terus, apakah tamunya akan datang? Tapi tanggalnya masih lama, ia selalu mencatat siklus haidnya. Ia hendak melangkah ke kamar mandi ketika ia merasakan ada yang keluar dari sana.
Hanifa buru-buru melangkah dan terkejut mendapati darah keluar dari sana. Bukan darahnya yang membuat terkejut tapi warna darah yang keluar membuatnya tersentak! Kenapa begitu merah menyala? Ada apa? Perutnya pun begitu sakit. Ia bergegas masuk ke kamar mandi, mandi membersihkan diri lalu pergi ke klinik terdekat. Bara sudah meninggalkan debit card dan credit card-nya untuk Hanifa, lengkap dengan PIN keduanya. Ia harus segera memeriksakan dirinya, apa yang terjadi?
Hanifa sudah melangkah menuruni tangga, sebelum Bara pulang untuk makan siang dan memakan dirinya, ia harus sudah pulang. Jadi ia harus cari klinik yang tidak terlalu banyak antriannya. Atau ke IGD rumah sakit? Biasanya akan lebih cepat ditangani dokter jika periksa via IGD. Ahh ... sebodoh amat, yang jelas ia harus segera berjumpa dengan dokter untuk memastikan bahwa ia baik-baik saja!
***
"Mohon maaf sebelumnya, sudah aktif secara seksual?" tanya dokter itu sambil menuliskan sesuatu di kertas yang ada dihadapannya.
"Sudah, Dokter." jawab Hanifa jujur, memang sudah kan? Hanya belum ada sebulan ia sudah berkali-kali merasakan surga dunia itu, semua gara-gara anak bosnya!
"Terakhir melakukan masih ingat?" tanya dokter itu, Hanifa belum menikah, status di rekam medisnya masih Nn. alias Nona!
"Kemarin, Dok!" jawab Hanifa malu-malu, iya kemarin, dari siang kemudian berlanjut malam sampai pagi! Edan!
"Selama mens adakah keluhan yang dirasakan?"
"Sakit perut Dok, cuma kadang sakitnya sampai luar biasa, dan biasanya mens saya sampai lebih dari seminggu."
"Saya USG ya." guman Dokter berkacamata itu sambil mempersilahkan Hanifa naik ke ranjang.
Seorang perawat membantu memasang selimut di kaki Hanifa, lalu mengolesi perut Hanifa dengan gel dingin yang terasa begitu sejuk di kulit perutnya itu.
Sang Dokter mulai menggerakkan alat itu diatas perut Hanifa. Wajahnya tampak datar-datar saja, hingga kemudian ia kembali melangkah ke kursinya.
Perawat itu bergegas membersihkan perut Hanifa lalu membantu Hanifa bangkit dan melangkah turun dari ranjang.
"Jadi bagaimana, Dokter?" tanya Hanifa khawatir.
Dokter itu menunjukkan selembar hasil print out USG, Hanifa tidak mengerti, ia hanya diam menyimak dengan serius apa yang dokter kandungan itu sampaikan.
Jantung Hanifa seolah berhenti berdetak ketika dokter itu menjelaskan perihal apa yang terjadi kepadanya. Separah itukah? Air mata Hanifa menetes, ia tidak menyangka bahwa akan separah ini keluhan yang selama ini ia abaikan.
"Jadi solusinya bagaimana, Dokter?"
Dokter itu tampak mengembuskan nafas panjang, lalu menatap Hanifa lekat-lekat. Ia pun menjelaskan prosedur medis yang harus Hanifa lakukan terhadap temuannya tadi. Hanifa merasa dadanya begitu sesak. Ia benar-benar terpukul dengan apa yang ia dapatkan dari pemeriksaan ini.
"Jadi itu artinya ....." Hanifa menatap dokter itu dengan linangan air mata.
Dan dokter itu hanya mengangguk pelan, dengan ekspresi wajah yang sulit ia artikan.
***
Hanifa melangkah dengan gontai keluar dari rumah sakit itu, Smartphone nya berdering, ia tahu pasti itu Bara. Dan benar saja! Hanifa menghela nafas panjang, ia kemudian dengan malas mengangkat panggilan itu.
"Sayang, dimana?"
"Lagi mau balik ke apartemen." jawab Hanifa lesu. "Mau dibawakan apa?" ia sekuat tenaga menahan air matanya.
"Tidak usah, cepatlah pulang, aku sudah bawa makanan kesukaanmu!"
"Oke, sebentar ...," Hanifa buru-buru menutup teleponnya, air matanya kembali menetes.
Ia sudah hampir mencintai sosok itu, namun kenapa malah terjadi hal seperti ini? Ia tidak bisa terus bertahan seperti ini. Tidak!
Hanifa sudah bertekad, sepulang dia nanti kesana akan menjadi saat terakhirnya berjumpa dan berkumpul dengan sosok itu. Ia harus pergi, ia tidak boleh terus berdiam disana, tidak!
Hanifa mempercepat langkahnya, ia sudah menyiapkan kata-kata yang hendak ia katakan pada Bara. Ia tidak mau tahu, intinya ia ingin pergi!
***
"Han ... kamu kenapa?" tanya Bara ketika menemukan Hanifa masuk dengan mata memerah.
"Aku mau bilang sesuatu." jawab Hanifa sambil memaksakan diri tersenyum.
"Apa? Bilang saja!" Bara benar-benar penasaran, dari mana gadis itu, kenapa pulang dengan mata memerah seperti ini.
"Aku nggak bisa kayak gini terus, Mas." Hanifa kembali menitikkan air mata.
"Maksudmu?" Bara menatap Hanifa tak mengerti.
"Kita nggak bisa kayak gini terus."
"Oleh karena itu aku mau menikahi mu, Han." Bara meraih tangan Hanifa, menggenggam keduanya erat-erat.
Hanifa mencoba melepaskan genggaman tangan Bara. "Maaf Mas, aku tidak bisa."
"Apa maksudmu?" suara Bara meninggi, ada apa dengan gadis ini? "Kita sudah sejauh ini, aku sudah menodaimu, menidurimu berkali-kali dan kamu malah ingin pergi? Han aku serius mau menikahimu!"
"Tapi aku nggak bisa, Mas. Maaf!"
"Beri aku alasannya!" kata Bara sambil menatap tajam gadis itu.
"Alasannya hanya satu, aku tidak mencintai mu!" balas Hanifa sambil menatap mata itu.
Bara tampak tersentak, ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang dikatakan gadis itu. "Masalah cinta bisa kita pupuk bersama, Han. Aku sudah cukup nyaman denganmu!"
"Maaf aku tidak bisa. Jadi tolong, biarkan aku pergi, dan Mas berhak mendapat yang lebih baik." Hanifa mencoba tersenyum, air matanya kembali menetes.
"Han ... tunggu, kita memang belum lama kenal, tapi aku sudah benar-benar yakin dengan keputusanku, tawaranku kepadamu!" Bara mencoba meyakinkan lagi gadis itu.
"Maaf, keputusanku sudah bulat. Aku tidak mau bertahan dalam kesalahan ini." Hanifa menatap lurus mata itu. "Aku minta maaf, dan terimakasih untuk beberapa hari yang indah ini. Tolong jangan ganggu aku lagi."
"Tapi ... Han ...."
"Tolong, jangan cari atau gangguan aku lagi, kumohon!" guman Hanifa lalu kembali melangkah tanpa berbalik lagi.
***
Bara benar-benar tidak mengerti, ia kembali ditinggalkan lagi? Astaga apa yang salah sebenarnya dengan dirinya itu? Meskipun perasaannya pada Hanifa belum bisa dikatakan cinta, namun ia sudah cukup nyaman dengan gadis itu. Ia menyukainya, dan tentu saja tubuhnya. Ia yakin bahwa gadis itu akan bisa membuat ia lama kelamaan melupakan Kirana. Namun sekarang ia malah pergi, bagaimana dengan Bara?
Bara menghempaskan dirinya ke sofa, sebenarnya ada apa dengan gadis itu? Benarkah ia tidak mencintai Bara? Atau sebenarnya apa yang terjadi? Apa yang membuat Hanifa tiba-tiba pergi seperti ini?
Bara menghela nafas panjang, ia tidak tahu apa yang ia harus lakukan sekarang. Apakah harus mengejarnya? Kemudian menyeretnya dan kembali menahannya di sini? Atau membiarkan dia pergi? Ahh Bara benar-benar tidak mengerti, ia bingung, dan ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan setelah ini!