"Apa? Untuk kesekian kalinya anak Kiai Gringsing melamar, Neng?"
Itu sudah menjadi tradisi bagi keluarga Neng sendiri, jangan heran jika banyak sekali mobil dan motor parkir di halaman rumah. Bukan karena ada acara hajatan tetangga lalu menitip kendaraan, bukan juga karena ada orang yang meninggal dunia lalu berdatangan. Kenapa?
Seperti kejadian Minggu lalu, disaat aku berjalan menelusuri tempat yang Umi titah (Suruh), aku mencari rumah Nyai Sutinah, beliau adalah Bibi dari pihak Abi yang tak lain adalah adik kandungnya Abi.
"Kenapa nggak ketemu juga, ya? Perasaan dari tadi aku lewat di sini aja nggak ada beda nya. Masa, sih, aku kesasar di lembur (Kampung) orang. Dimana rumah bibi Sutinah?"
Menapaki jalan yang berlumpur becek mungkin saja kemarin hujan deras di lembur ini (Kampung ini). Akan tetapi, disaat aku berniat untuk menanyakan sebuah alamat pada orang yang ada, kejadian inilah yang terjadi lagi.
"Punten, Akang. Neng bade–."
Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku pada pria itu, dia langsung becir (Pergi) dari hadapanku, berlarian seperti orang yang kesurupan sembari berteriak.
"Maaa ... Hayang kawin ... Mak!"
Aku pun hanya bisa menghela napas dalam-dalam mendengarnya, segitunya, kah? Astagfirullah. Apa aku harus memakai helm kemana-mana, aku sudah pakai cadar Gusti. Haruskah pakai helm juga?