Kala itu, Ibu sedang mengobrol bersama temannya di telepon.
Aku tidak tahu apa yang dibicarakan oleh mereka, tetapi Ibu selalu tertawa terbahak-bahak sampai lupa akan keberadaan putri semata wayangnya yang tidak pernah menunjukkan ekspresi apa pun selama beliau bercengkerama bersama teman baiknya itu. Pasalnya, itu bukan urusanku dan aku tidak pernah mengerti apa pun yang dibicarakan oleh mereka, kecuali Ibu sendiri yang akan menceritakannya (dan biasanya aku hanya tersenyum mendengarnya, kadang-kadang tertawa kecil kalau memang lucu).
Kami tidak menanam bunga, tetapi selalu ada bunga yang kuhancurkan eksistensinya setiap hari, walaupun sialnya, ia tetap hidup.
Di Seoul tidak pernah tumbuh bunga tengkorak, tetapi ia selalu kehilangan satu demi satu kelopak bunganya setiap kali aku merasa hancur.
Satu. Dua. Tiga.
Padahal ia tidak salah, tetapi aku selalu tega memisahkan kelopak demi kelopak dari mahkotanya dengan benda yang seharusnya kugunakan untuk memotong kertas. Pandangan menjuju kelopak keempat, ia memiliki lima kelopak, tetapi masih ada berpuluh-puluh bunga tengkorak yang patut kubinasakan. Aku tidak membenci bunga ini, tetapi aku membenci diriku.
Empat.
Dari putih menjadi merah, kelir bagai batu rubi menetes sedikit demi sedikit, turun ke permukaan lantai yang menyaksikan dosaku yang tidak pernah diketahui oleh Ibu.
Padahal kami senantiasa tinggal bersama, tetapi beliau tidak pernah menyadari eksistensi garis-garis yang menghiasi pergelangan tanganku. Apalagi menanyakannya.
Mungkin, memang sebaiknya begini.
Kulakukan ritual pencabutan kelopak bunga tengkorak dari mahkotanya, menjadikannya merah seperti darah.
***
Kala itu, Ibu sedang memasak sup tomat asam manis di dapur.
Bunga tengkorak berubah menjadi transparan sebab mandi air hujan, sesuai dengan hatiku yang lupa arti kata cerah di dalam kamusnya. Seingatku, hatiku pernah cerah pada saat aku masih menduduki bangku sekolah dasar. Aku masih bisa tertawa lepas tanpa beban, aku masih bisa menghargai hidupku, aku masih bisa membiarkan kelopak-kelopak bunga tengkorak itu mempertontonkan kecantikannya yang suci, tak ternoda dosa.
Lalu, pada saat aku menginjak jenjang sekolah menengah pertama, pada saat aku kehilangan cinta pertamaku, hujan badai menderu hatiku.
"Yurim."
Aku, yang sedang memandangi hujan yang mengguyur Seoul dari jendela lantai dua puluh, menoleh sedikit. "Ya?"
"Kok, kamu sering pakai baju lengan panjang, sih, di rumah?" Pertanyaan Ibu sukses membuat bulu kudukku bergidik. Aku menyembunyikan bukti dosaku di balik lengan panjang ini, bagaimana bisa aku mengatakannya kepada Ibu? "Maksud Ibu, pakailah baju lengan pendek di rumah agar kamu bisa menggunakan baju lengan panjang untuk ke kampus."
"Dingin," jawabku singkat, meletakkan peralatan makan di atas meja. "Sekarang saja hujan, Bu. Nanti aku kedinginan."
"Oh," angguk Ibu, tidak bertanya lebih lanjut lagi. "Makanlah sup tomat asam manis buatan Ibu, mumpung masih panas. Sebentar lagi selesai, kamu sudah siapkan sendok, garpu, dan piringnya?"
Mungkin, memang lebih baik Ibu tidak pernah tahu soal ini.
"Sudah, Bu."
Mungkin, memang lebih baik Ibu tidak pernah tahu bahwa aku menyembunyikan sayatan demi sayatan di balik sweater berbahan benang wol ini.
***
Kala itu, aku ingin mati.
Tubuhku terhempas ke permukaan tanah, tutup tasku terbuka sampai akhirnya buku paket Psikologi Industri dan Organisasiku terkapar di sebelahku, hampir saja menjitak kepalaku. Aku merintih kesakitan, menatap sangar gadis berambut pirang yang berdiri dengan angkuhnya di hadapanku.
Laju kereta memutuskan niatku untuk menjerit, tetapi setelah keretanya pergi, barulah aku menjerit dengan volume tinggi.
"JEON HARANG!"
"JEON YURIM!" Harang balas berteriak, hampir saja menamparku apabila tidak ditahan Soorim. "APA-APAAN KAMU?! KAMU MAU MATI, YA?!"
Aku tidak tertawa. Biasanya juga selalu begini. Aku akan melakukan berbagai macam hal untuk melayangkan kelopak-kelopak bunga tengkorak ini, lalu dihentikan oleh mereka berempat—Eunha, Harang, Soorim, dan Younghee. Eunha sedang mengerjakan tugas kelompok Psikologi Industri dan Organisasi, sedangkan Younghee... aku tidak tahu, tetapi bisa jadi sedang meratapi nasib di dalam kelasnya yang entah apa.
"DARI AWAL AKU JUGA SUDAH INGIN MATI!" balasku sengit. "KENAPA KALIAN MENYUSULKU?!"
"KARENA KAMI TIDAK MAU KAMU MATI!" balas Soorim. "KAMI INGIN KAMU TETAP HIDUP, BAIK-BAIK SAJA BERSAMA KAMI BEREMPAT! KAMU HARUS TETAP BERJUANG!"
Berjuang?
Memangnya aku tidak berjuang selama ini?
"AKU LELAH BERJUANG TERUS!"
Aku lelah hidup di bawah ambang. Aku lelah terhembalang bagai duduk di atas roller coaster sepanjang aku mengambil napas. Bahkan, amarahku yang meledak-ledak seperti ini merupakan manifestasi dari diriku yang senantiasa terpontang-panting, layaknya atom-atom yang saling bertabrakan, mengambang di udara tanpa tujuan yang pasti.
Semua serba salah, lebih baik pergi saja.
"ADA KAMI!" Soorim berteriak sampai suaranya serak. "Ada kami..." Volume suaranya menurun seketika.
Aku melotot lebar. Tidak tahu harus berkata apa lagi.
Sebelum diusir oleh satpam penjaga, bunga tengkorak sempat menangis pilu, didekap oleh dua orang yang menginginkannya untuk tetap mekar dengan indah.
***
Kala itu, aku dan Eunha sedang mengobrol di dalam kelas. Kelas kami terletak di lantai tiga, tepat di pojok gedung sehingga kami bisa melihat pemandangan dari kedua sisi, yaitu dari samping dan dari belakang. Kami duduk di kursi paling belakang, buku Psikologi Abnormal terbuka lebar sebagai saksi bisu konversasi kami.
Halaman 484. Borderline personality disorder.
Ditandai dengan ketidakstabilan emosi dan impulsivitas sehingga dapat mengakibatkan berbagai macam masalah di dalam kehidupannya. Mereka yang mengidap gangguan ini tidak dapat menoleransi kesendirian dan akan secara terus-menerus melakukan usaha-usaha nekat agar terhindar dari perasaan ditinggalkan.
Aku tertawa getir.
Didiagnosis dengan gangguan yang sangat sulit ditangani menurut para psikolog itu memuakkan, tahu. Kamu seolah-seolah tidak memiliki harapan untuk sembuh.
Makanya aku ingin bunga tengkorak itu layu.
"Kamu akan tetap berjuang, 'kan?"
Aku tertegun sesaat. "Hah?"
"Kamu," putus Eunha yang sedang memasang ekspresi serius di wajahnya, "akan tetap hidup, 'kan? Walaupun begini?"
Aku mengulum bibir. Jujur, aku sangsi.
Memangnya aku ingin bunga tengkorak itu terus-menerus mekar?
"Walaupun begini."
***
Kala itu, aku sangat ingin mati.
Berpuluh-puluh tablet dan jarum suntik ambyar di atas tempat tidur, siap-siap kuteguk sekitar sepuluh tablet antidepresan sekaligus.
"JEON YURIM!"
Pintu kamarku dan Eunha didobrak oleh Soorim, Eunha langsung mencengkeram tangan kiriku yang sedang menggenggam tablet-tablet kedaluwarsa, Harang langsung menyapu tablet-tablet tersebut hingga mereka terkapar di permukaan lantai, dan Younghee tidak berani masuk, matanya melotot lebar seperti mata lalat.
"JANGAN MAIN-MAIN KAMU! APA LAGI YANG SEDANG KAMU RENCANAKAN, HAH?!" omel Harang kencang-kencang sampai-sampai telingaku sakit.
"Apa lagi?" sinisku, memutar mata. "Kalian bosan denganku, ya?"
"BUKAN SAATNYA UNTUK BICARA BEGITU!" sembur Harang gusar. "PERLU BERAPA KALI, SIH, KAMI BILANG KALAU KAMU TIDAK BOLEH MATI! KAMI MENYAYANGIMU!"
"Sayang?" Alisku menukik turun. "Bohong."
"YUIM!"
"Harang, tenang," tegur Eunha yang masih mencengkeram tanganku kencang-kencang. Dilepaskannya cengkeramannya dari tanganku, lalu ia langsung memelukku erat-erat, seperti Ayah memelukku pada saat aku masih balita.
Ibu saja tidak pernah memelukku sampai seerat ini.
"Yuim," panggilnya, "tetaplah hidup."
Hatiku mencelos.
"Mudah bagimu untuk menyuruhku," kataku, meringis. "Aku lelah berjuang terus. Tanpa obat, aku tidak akan bisa berfungsi dengan baik dan benar. Tanpa obat, aku akan gila. Dari atas ke bawah, dari marah ke sedih. Terlampau sering kualami secara bergantian dengan jeda waktu yang berdekatan, sampai-sampai kadang-kadang aku tidak tahu lagi aku sedang merasakan apa. Aku itu paradoks dan aku lelah dengan fakta itu. Bisikan-bisikan harus mati secepat mungkin itu terus-menerus menerorku. Aku lelah."
Tak kusadari sebelumnya, air mataku jatuh, dari hulu ke hilir, dari ujung mata ke permukaan Bumi.
Aku melolong, meminta tolong kepada Tuhan agar paradoks ini bisa berakhir sekarang juga.
Bunga tengkorak berubah menjadi transparan, kali ini diguyur air mata.
Seperti diriku yang tidak akan diingat lagi di dalam kehidupan orang lain apabila aku layu, tetapi pada akhirnya aku akan kembali menjadi putih usai air mataku kering.
***
Kala itu, Ibu menjerit.
Sebelum kesadaranku direnggut zulmat, samar-samar kudengar derit pintu dibuka, pekikan Ibu, dan derap langkah yang terburu-buru.
Sejujurnya, aku tidak berniat sampai sejauh ini, namun tubuhku terlampau bergemetar sampai-sampai aku tidak bisa mengontrol seberapa besarkah energi yang perlu tangan kananku kerahkan agar ia bisa membunuh kelopak-kelopak putih milik bunga tengkorak itu dengan serapi mungkin (jadi, aku gampang membersihkannya).
Naas, kali ini, mereka tercecer ke mana-mana. Bercerai-berai ke sana kemari dengan putihnya yang memerah.
Lemas di permukaan lantai, intensi untuk secepat mungkin terbang ke angkasa menguasai otakku, ingin kujumpa Ayah di atas sana.
Itu pun kalau Tuhan mengizinkanku untuk masuk ke dalam surga.
Kini, Ibu tahu bahwa aku telah membunuh puluhan bunga tengkorak. Sayangnya, Ibu tidak bisa melarangku untuk kembali menyakitinya, baik di depannya maupun di belakangnya.
Sirene ambulans terngiang-ngiang, menginvasi gendang telingaku. Isakan Ibu terdengar samar, di dalam hati kuminta maaf. Bisa saja aku kembali berjuang, buktinya sampai saat ini bunga tengkorak itu belum layu.
Apakah aku masih bisa berjuang?
Memangnya bunga tengkorak itu masih bisa mekar dengan indah?
Memangnya aku mau?
Diphylleia grayi. Sekali lagi, aku tidak membenci bunga itu. Aku membenci diriku.