Chereads / My Slave, My Servant, My Daughter / Chapter 99 - Bu Rati Geram, Marie Selamat, Pak Sumi Khawatir

Chapter 99 - Bu Rati Geram, Marie Selamat, Pak Sumi Khawatir

Di usia yang bisa dibilang tidak muda lagi, Aku hamil. Hal yang pertama yang Aku pikirkan setelah hamil anak pertama di usia 30 tahun ini adalah apakah Aku cukup umur untuk anakku nanti? Disisa umurku, apakah Aku bisa hidup hingga dia bisa 'berdiri sendiri'? namun lamunan itu buyar. Rasa khawatirku pudar ketika Aku melihat Marie yang sudah bisa berjalan sendiri.

"Ah anak itu. 15 tahun lagi dari sekarang, Marie mungkin telah menjadi wanita yang dapat diandalkan." Begitu pikirku.

Hal yang ingin Aku pastikan adalah kesalahpahaman Marie. Menurut Sumiku, Marie takut jika kami tidak menyayanginya lagi. Aku sempat tersenyum mendengar hal ini, hei ini adalah hal yang mustahil terjadi.

Aku menyayangi anak itu, Marieku. Meskipun bila nanti Sumiku lebih condong ke anak kami sendiri, akan kupastikan kalau Marie adalah orang yang pertama yang mengisi hatiku.

Namun agaknya sebuah niat baikku ini harus kupastikan sampai pada Marie. Niat saja tidak cukup jika tidak ada tindakan yang keluar. Apalagi kalau melibatkan orang lain. Minimal niat baik kita harus sampai kepada orang itu. Hm, beda kalau sama Tuhan. Niat kita pasti diketahui oleh Tuhan walaupun kita menyembunyikan dari siapa pun, karena Dia Maha Melihat.

Setelah malam itu, pada siang harinya Aku mengajak Marieku– pertama kali – berjalan-jalan di mal. Sumi merengek ingin ikut, tapi dia harus bekerja hari ini. Akhirnya hanya Aku dan Marie di dalam mobil ini. Seperti biasa anak itu diam. Dia hanya berbicara ketika Aku bertanya padanya. Aku berpikir apa Dia masih tidak biasa bersamaku.

Apa yang kupikirkan tentang Marie hilang begitu saja ketika Kami sampai pada tempat parkir Grand City Mall. Pada pintu masuk mal terdapat balon helium warna-warni di sebelah kanan dan kiri. Aku melihat Marie yang dengan asyik memandang jejeran balon itu hingga Marie menghentikan langkahnya. Kemudian anak itu memandangku. Kami, Aku dan Pak Satpam yang ada di samping balon-balon yang terikat di tembok tersebut, langsung tahu jika Marie ingin balon. Marieku melihatku apakah dia bisa mengambil satu. Hal ini sama seperti es krim di pernikahan Quora. Kemudian Marie mendapatkan satu balon.

Marie menjadi pusat perhatian orang-orang. Jarang – atau bahkan tidak pernah – ada orang yang berjalan dengan kaki besi. Bahkan saat Marie mengambil balon dari pak satpam, orang itu langsung bertanya padaku tentang tangan besi itu. Dia juga memperingatkanku akan bahaya dicurinya lengan dan kaki besi itu. Setelah berterima kasih pada Pak Satpam, Kami berdua masuk ke dalam mal.

Walaupun Aku sedang hamil, Aku merasa belum ada yang berubah pada tubuhku. Tidak ada yang benar-benar berubah disini. Kecuali perilaku Sumi yang terlalu overprotektif padaku. Namun sekarang dia tidak ada, Dia sedang bekerja. Aku bisa berduaan dengan Marie. Aku bermaksud membelikan Marie satu dua potong setelan baju atau aksesoris lain yang mungkin dia inginkan. Aku ingin dia memilih sendiri baju yang akan dipakainya.

Beberapa kali Aku bertanya pada Marie apakah dia lelah berjalan, tapi sepertinya dia menikmati jalan-jalan di mal. Banyak orang yang ada disini, jadi Aku pastikan Marieku selalu menggenggam tanganku agar tidak terpisah.

Pertama, Kami sampai di booth H&M. Aku biarkan anak itu memilih pakaian yang disukainya. Sesekali Kami mencoba pakaian yang terlihat cocok menurutku. Marie tidak banyak berkomentar soal pakaiannya, yang pasti anak itu tidak suka baju warna merah dan putih.

Ternyata Aku sudah cukup umur ketika Aku sudah lelah dengan hanya berjalan-jalan selama beberapa jam. Kemudian Kami duduk santai di stand makanan pada mal ini. Puas Marie jalan-jalan, Aku membelikannya banyak pakaian.

"Ibu Itu pedas?" Tanya Marie tiba-tiba ketika dia melihatku sedang makan tahu campur.

"Iya pedes, Marie jangan icip ya. Punyamu tidak pedes kan." Kataku.

"Um, lalu Perut ibu bagaimana?" Tanya Marie.

"Perut? Oh dedek bayi disini? Ahaha tenang saja Marie. Jadi, bayi itu memakan sari-sari makanan yang telah terserap melalui usus. Toh ada lambung yang membuat halus makanannya. Jadi dedek bayi tidak makan pedes ya." Kata Bu Rati.

"Ee... ehehe Marie ngga ngerti." Kata Marie.

"Hahaha, maaf... Marie, bagaimana hari ini, Kamu senang?" Tanyaku.

"Iya! Makasih ya ibu, balunnya bagus." Kata Marie.

Meski banyak tas berisi sandang dan pernak-pernik bagi Marie, Marie masih lebih senang dengan balon yang digenggamnya.

"Balon itu." Kataku.

"iya, Balun!" Kata Marie.

"Marie, Kamu sengaja ya?" tanyaku.

"Hehe, maaf." Jawab Marie.

Kami kemudian melanjutkan makan. Setelah makanannya habis, Marie berkata,

"Ibu, sekarang Marie akan ditaruh mana?" tanya Marie.

Aku diam. Kata-kata itu membuatku berpikir apa maksudnya.

"Ditaruh? Ditaruh bagaimana Marie." Kataku.

".... dibuang." Kata Marie pelan.

"Dibuang? Marie, siapa yang akan membuang Marie?"Tanyaku.

"Marie telah dibelikan... baju, makan enak, balon, habis ini Marie mau ditaruh di tempat kakek ya?" Kata Marie.

Marie sungguh berpikir jika Kami akan membuang Marie karena kehamilanku. Dan saat ini adalah saat dimana Kami akan membuatnya senang untuk terakhir kali sebelum Kami membuangnya. Entah dari mana anak ini belajar hal seperti ini. Sepertinya Aku harus lebih memperhatikan apa yang ditonton Marieku di Teve.

"Hm begitu ya.... Kalau Marie di tempat kakek, terus siapa yang bantu ibu kalau di rumah tidak ada ayah?" Kataku.

Marie yang tadinya menunduk, menegakkan kepalanya.

"Kenapa Marie pikir Marie akan dibuang? Marie, itu semua tidak benar." Lanjutku.

"...Ibu kan sudah punya anak, jadi ibu... tidak butuh Marie." Kata Marie.

"Marie, Marie itu anak ibu. Ya meskipun Marie tidak lahir dari sini (aku menunjuk ke perutku), tapi untuk sekarang dan selamanya kami tetap ibu dan ayah Marie, bukan begitu, SU-MI-TRO?" Kataku.

Kemudian laki-laki di sampingku berbalik arah dan menurunkan topinya, terlihat kepala plontos yang Aku kenal, dengan polosnya dia tersenyum. Itu adalah Sumi.

"Bukannya kerja, Kamu malah buntutin kami kesini ya." Kataku.

Aku jewer kupingnya. Aku geram dengan tingkah laku Sumi.

Kemudian Ia menjelaskan jika dirinya sedang dalam tugas lapangan. Tapi hei apakah ada tugas lapangan yang mengharuskan seorang polisi untuk ke mal? Aku tidak mempercayainya. Meskipun itu benar, Aku tetap tidak percaya kalau Sumi tidak meminta kepada Warno untuk melakukan ini.

"Ja-jangan... bertengkar." Kata Marie melerai kami.

"Hahaha Kami tidak bertengkar kok, memang ayahmu ini. Iih." Kataku.

"Hm, kok sepertinya dejavu. Tapi Kamu apa tidak apa-apa jalan jauh, Rati? Ah Marie juga apa tidak lelah jalan sejauh ini?" Tanya Suamiku.

"Tidak." Kata Marie sambil menunduk.

"Kamu khawatir sampai-sampai membuntuti Kami dari tadi sampai disini kan?" Tanyaku.

"Dari tadi? Tidak kok tidak..." Elak Suamiku.

"Hei Sumitro, Aku tahu baumu dari jarak 50 meter loh." Candaku.

Suamiku memang telah mengikuti Kami. Entah dari kapan, tapi Aku sadar waktu Kami sudah masuk ke dalam mal.

"Jadi Marie, seperti yang Ibu katakan tadi, Kami sangat menyayangi Marie. Tolong Jangan pergi ya." Kata Suamiku.

"Iya." Kata Marie singkat.

Lalu Marie menangis. Kami sempat kewalahan menahan tangisnya dan menjadi pusat perhatian semua orang yang ada disini. Marie berhenti setelah kelelahan. Kemudian Kami berdua pulang. Hal yang membuatku merasa tidak enak adalah Sumi yang mengikuti kami sampai ke depan mobil.

"Pak, Kamu itu harus kerja. Kenapa masih disini?" Tanyaku.

"Setidaknya biarkan Aku menyetir sampai ke rumah ya?" Pinta Suamiku.

"Aku bisa sendiri." Jawabku.

"Kalau nanti Kamu kelelahan bagaimana?" Tanya Suamiku

"Sayaaaang, Aku tidak apa-apa. Jangan mentang-mentang dekat sama Pak Warno, bapak jadi berani begini ya." Kataku.

"Disini Aku juga kerja. Warno setuju kalau Aku yang bertemu sama yang punya mal ini." Kata Suamiku.

"Nah kan, harusnya bukan Kamu kan yang kesini?" Tanyaku.

"Ee, iya... Ehehe." Jawabnya.

"Nah itu Kamu menyalahgunakan wewenang, ayang~." Kataku.

"Habisnya kalau Kamu bagaimana-bagaimana bagaimana?" Katanya.

"Bagaimana-bagaimana bagaimana? sudah tolong Kamu kembali saja sekarang, Aku tidak apa-apa, ini ada Marie. Marie mau jaga ibu kan?" Tanyaku pada Marie.

"Iya!!" Kata Marie yang sudah duduk di mobil dengan riang.

"itu kata Marie." Kataku pada Suamiku.

Setelah Aku menjelaskan (sedikit memaksa sih) keadaannya pada Sumiku, akhirnya dia mau kembali ke kantor. Aku pulang bersama Marie. Pada saat perjalanan pulang Marie menyeletuk,

"Terima kasih ibu." Kata Marie

"Hm? Iya sayang?" Kataku.

"Apakah benar-benar tidak apa-apa jika Marie ada disini? Tidak perlu lagi ada yang menangis kalau Marie ingin tertawa? Marie tidak perlu bunuh orang lain untuk tetap hidup?" Katanya.

Aku tidak paham apa maksudnya. Tapi jelas dia terlalu memikirkan orang lain daripada memikirkan dirinya sendiri. Marie adalah seorang anak yang baik.

"Apa yang Kamu katakan Marie... begini ya Marie, Bagi kami, bapak dan Ibu, Marie ya Marie, seorang anak kecil kami yang cantik yang kami sayangi, dan kakak bagi dedek ini." Kataku.

"Kakak?" Tanya Marie.

"Iya, Jadi Marie sebagai kakak harus belajar banyak ya mulai hari ini." Kataku.

"Iya! Aku akan mulai belajar masak." Kata Marie semangat.

"iya, itu benar, mau masak apa?" Tanyaku.

"Es krim!" Jawab Marie.

"Walah masak ya, bagaimana Aku ajari anak ini memasak? Toh saat Aku masak air saja, airnya sampai hilang semua." Batinku.