Aku tak mampuh berdiri Badan ku lemas air mataku terus mengalir gundukan tanah merah jadi pijakan kedua lutut ku, Darma Suryadipraja Nama abah tertulis di papan nisan membuat ku terguncang, para pelayat sebagian sudah meninggalkan area pemakaman termasuk mamah dan bapak ku, di ujung sebelah timur nampak Jajang memakai kemeja hitam masih berdiri di depan makam ibu nya di dampingi sang Istri yang sedang hamil besar, mereka nampak bahagia, seperti ada sinyal yang kuat Jajang pun balas menatap ku, kami beradu pandang sorot matanya begitu sayu, Jajang melempar senyum padaku, tapi aku merasa senyum nya begitu hambar, apakah karena kejadian tadi pagi di sungai, hati ku kembali bergetar aku tak mampu membenci nya, hanya air mata yang jadi tanda kebodohan dan kelemahan ku.
Jajang berjalan meninggalkan area pemakaman menggandeng istri nya, aku menghela nafas panjang derita ku bahagia mereka. Aku marah, aku sedih, aku sayang, aku sangat kehilangan, aku tertekan aku tak sanggup ada di titik ini.
Ku lirik om Andre sedang bicara serius sama amir sesekali mereka melihat ku,
dan Tak lama mereka mendekati ku,
" Jay ada yang mau om tanyakan sama kamu" Ucap om andre, tapi aku tak bergeming sedikit pun, aku masih duduk bersila di atas tanah merah di atas tempat persemayaman abah yang terakhir,
Ku rasakan Badan ku seperti di seret menjauhi tepat pemakaman, aku coba meronta tapi tenaga ku tidak cukup kuat, aku hanya mendengar suara om Andre yang sedang berdebat sama nenek,
" ini masalah serius bu, pasti fajar mengetahui siapa yang membunuh Bapak"
"Dre kasihan fajar dia masih terguncang atas kematian Abah nya"
" Aku gak perduli bu, dia harus bertanggung jawab atas kematian Bapak, bapak mati terbunuh bu, dan pisau belati milik fajar ada di tempat kejadian"
"Bisa aja kan itu punya orang lain dre"
"Yang punya pisau belati seperti ini hanya Fajar bu warisan dari Bapak dan hanya ada dua, iya kan mir"
" Iya bu, pak Darma pernah cerita beliau hanya punya dua pisau belati warna emas dan warna perak dan itu sudah di wariskan sama fajar" Jawab Amir
" Denger kan bu, Amir ini salah satu murid Bapak juga, jadi dia sangat tau persis, untung amir yang menemukan pisau belati nya, coba kalau orang lain mungkin sudah jadi barang bukti dan Fajar bisa masuk penjara bu"
"Dre gak mungkin kan fajar membunuh Abah nya sendiri"
"Aku gak bilang begitu bu, tapi kemungkinan itu ada"
" Maksud mu dre "
" dia sering kerasukan iblis bu, mungkin dia gak sadar ketika menggorok leher Bapak"
" Gak mungkin dre... " Ucap nenek sambil menangis, dia hanya menatap ku sebentar dan berlalu pergi, dia sama sekali gak perduli sama aku yang sedang di seret oleh Cecep dan Amir, aku hanya bisa meneteskan air mata mendengar tuduhan om Andre, hati ku terasa di tusuk pisau yang teramat sangat tajam, rasanya sakit melebihi apa pun.
Tangisan ku sudah tak bersuara, hanya air mata dan ingus yang masih menetes, dadaku turun naik gak karuan, aku terus di seret sampai ke tepi hutan, badan ku terkulai lemah tak berdaya di atas rerumputan , jangan kan makan tak setetes air pun yang masuk ke kerongkongan ku sejak tadi pagi, pemakaman Abah dan bu Lastri baru di laksanakan sore hari setelah proses otopsi selesai, prosesi pemakaman di dampingi penjagaan yang sangat ketat dari pihak kepolisian, pelayat yang datang begitu membludak melebihi pemakaman pejabat pemerintah.
Aku berusaha bangun sekuat tenaga merangkak dan duduk bersandar di batang pohon Saga yang rindang, Amir, Cecep, dan om andre berjalan mendekat ke arah ku, mereka seperti serigala yang siap menerkam mangsanya, om andre berjongkok dan mengusap rambut ku,
" Fajar, kamu sayang sama abah kan " Aku hanya mengangguk pelan, badan ku gemetar ketakutan, aku belum pernah di perlakukan om andre sekasar ini,
" Kamu juga tau kan siapa yang membunuh abah" Aku hanya menggelengkan kepala
"Fajar, om tau kamu, matamu gak bisa bohong"
"Aku gak tau apa-apa om" Ucap ku pelan,
"Om punya batas kesabaran fajar, jangan sampai om berbuat kasar sama kamu, om tanya sekali lagi siapa yang membunuh Abah" Ucap om andre sambil teriak dan menarik kerah baju ku, badan nya bergetar, matanya merah berkaca-kaca, dia melampiaskan amarah nya dengan menampar wajah ku kiri kanan kemudian menjatuhkan lutut nya di atas rerumputan kepala nya menunduk lesu air matanya jatuh dengan deras nya, bahunya berguncang ketegaran nya jebol, ku peluk badan om andre erat tangis ku pecah di dadanya, ku kerahkan semua tenaga ku tuk memeluk nya seolah gak mau lepas, om andre membalas pelukan ku, dia pun terisak dan larut dalam kesedihan,
"Tinggalkan kami sebentar" Ucap om andre sambil melihat ke arah Cecep dan Amir yang berdiri di depan kami, setelah mereka pergi om andre pun melepaskan pelukan ku.
" Sayang, om minta maaf sudah kasar sama kamu" Ucap om andre sambil mengecup pipi ku kiri kanan,
"Om...aku rela bertukar nyawa sama abah, om"
"Jay kamu harus kuat ikhlaskan kepergian Abah, om juga sama sangat kehilangan , om hanya ingin tau kejujuran mu" Aku mengecup pipi om Andre pelan,
"Om kasih fajar waktu untuk mengetahui kebenaran nya, om percaya fajar kan"
Om andre menghela nafas panjang
"Apakah Jajang yang membunuh Abah atau kah Bodyguard bu Lastri, bilang sama om ayo bilang Jay"
"aku gak tau om, jangan berprasangka buruk dulu sebelum ada bukti yang akurat"
"Hutang nyawa di bayar nyawa jay" Ucap nya sambil melayangkan pukulan nya ke batang pohon tempat ku bersandar, sampai tangan nya berdarah
"Om pukul aja fajar jangan sakiti dirimu om" Seru ku sambil memegang tangan nya.
"Jay berhenti bersikap sok pahlawan"
" Maafin fajar om" Ucap ku sambil memeluk om Andre.
"Om gak akan memaafkan kamu sebelum kamu bicara jujur"
"Aku kan sudah jujur sama om"
"Om tau kamu Jay, om benar-benar kecewa sama kamu"
"Om... " Om Andre mendorong tubuh ku dan pergi meninggalkan ku, begitu juga dengan Amir dan Cecep.
Entah berapa lama aku duduk bersandar di batang pohon, langit sudah mulai gelap kumandang adzan magrib terdengar samar-samar dari kejauhan aku mencoba berdiri dan melangkahkan kaki ku untuk segera pulang ke rumah, telapak tangan ku mengibas baju dan celana ku yang kotor dengan debu karena di seret si kunyuk Amir dan Cecep, lumayan jauh juga dari area pemakaman.
Jalan setapak menuntun ku meninggalkan pinggiran hutan memasuki area pemakaman, langit makin gelap pandangan ku terbatas ku pelan kan langkah kaki ku setelah memasuki area pemakaman masih terlihat dua gundukan tanah merah di sana walaupun lerak nya terpisah, makam abah berada di pinggir dekat jalan setapak tidak terlalu jauh dari tempat ku berdiri sedangkan makam bu Lastri ada di tengah.
Angin pun tiba-tiba bertiup kencang pohon beringin yang ada di area pemakaman seakan bergoyang, suara hewan malam sudah terdengar nyaring bersahutan, disusul suara gugur dan kilatan cahaya dari langit. Sepertinya akan hujan.
Aku putuskan untuk sembahyang magrib di area makam karena memang ada selokan air yang mengalir dari area hutan, aku berjalan menuruni lereng berumput mendekat ke arah selokan untuk mengambil wudhu, selesai ambil wudhu aku merasa ada yang memperhatikan ku, tapi tak nampak pergerakan apapun, ku potong dua helai daun pisang yang akan ku jadikan alas untuk sembahyang.
Ku panjatkan doa yang aku bisa kepada sang maha pencipta agar mengampuni dosa Abah semasa dia di dunia dan menerima segala amal ibadah nya.
Hidup selalu menawarkan banyak pilihan. Tapi tidak untuk ku, kepergian Abah membuat ku terguncang terkurung dalam kesunyian. Katanya Hidup ini indah, entah di sebelah mana keindahan nya, atau kah mungkin belum kutemukan.
Aku bangkit dari tempat duduk, suasana malam sudah mulai gelap ku langkahkan kaki ku menuju jalan setapak arah pulang, suara lolongan anjing dari dalam hutan membuat suasana makin mencekam, tapi tak sedikit pun rasa takut menyelimuti ku. Aku terus berjalan meninggalkan Area pemakaman. Suara gemuruh dari arah hutan menghentikan langkah ku, ku balikan badan dan melihat ke sumber suara.
Bersambung