Hari Minggu ku habiskan dengan bersantai menonton kartun di televisi sedari pagi. Leo membawa guling kesayangannya lalu merebahkan tubuhnya persis di sebelahku. Sedikit mencuri pandang padaku, Leo memberanikan diri bertanya,
"Kak, semalam aku lihat ada HP warna biru di meja kakak. Itu punya siapa kak?"
"HP temenku, dek." Aku menjawab singkat tak menoleh padanya.
"Kenapa dibawa sama kakak? Itu kan HP mahal."
"Sok tau kamu itu HP mahal, kata siapa?"
Leo beranjak lalu mengambil buletin kecil dari meja di kamar Mbak Nia. Dibuka lembar demi lembar, kemudian dibolak-baliknya sekali lagi. Disitu tertera beragam gambar tipe handphone mulai keluaran tahun lama hingga tahun terbaru. Disampingnya tertulis dengan lengkap spesifikasi tiap ponsel disertai range harga dalam kurs rupiah.
"Ini dia! Tuh sama, kan. Haarrgaa...nya..."
Leo menelusuri huruf dan angka yang dia tunjuk dengan jarinya. Aku meringkuk mendekati Leo, turut membaca keterangan yang tertera di buku kecil itu.
"Ini punya siapa, dek? Punya mbak Nia, bukan?"
"Iya punya mbak Nia, kenapa?"
"Bentar siniin, aku mau baca. Kamu geser. Gerah tauk!"
Aku membaca berulang tiap kata. Mencoba memahami maksud dari Camera 1,5 MP, RAM, ROM, dan istilah lain dalam bentuk singkatan.
"Ini apa sih maksudnya, ndak ngerti aku," gumamku dalam hati.
"Kak, emang HP siapa sih itu kak?" Leo mengulangi pertanyaannya.
"Itu HP temen dek, dititipin ke kakak kemaren," aku menjawab Leo dengan seadanya. Sebaiknya aku menyembunyikan ponsel itu sebelum Leo semakin ingin tahu, batinku.
Berdasarkan keterangan di buletin yang berisi ragam gambar ponsel, aku dapat mengetahui bahwa ponsel yang ku pegang ini memang memiliki performa yang prima. Harganya tergolong mahal. Kameranya pun jernih dan menangkap cahaya nyaris seperti aslinya. Tidak ada lecet atau bekas benturan di sekelilingnya, aku memutar-balikkan ponsel itu.
Akhirnya aku menekan tombol power yang terletak di atas layar. Zink. Muncul tulisan,
"NOKIA CONNECTING PEOPLE".
Ponsel dalam mode ready. Menu apa yang hendak aku buka ya, pikirku.
Tik.. Tik..
Suara keypad berbunyi. Aku membuka menu Message bergambar amplop putih. Hanya ada beberapa pesan masuk, salah satunya dari aku, sisanya dari nama-nama teman si empunya ponsel. Aku buka opsi draft, ku temukan folder bertuliskan LOVELY. Tergelitik rasa ingin tahu, kemudian aku buka folder itu. Ah. Berderet pesan yang pernah ku kirimkan semuanya tampil sesuai urutan tanggal pengiriman pesan. Aku tersenyum simpul, "Ada-ada aja, Mas."
Hatiku tertarik sekali lagi, membuka menu Photos. Ada foto apa saja ya, kira-kira, batinku.
Tik.. Tik.. suara keypad kembali terdengar.
Hanya terdapat tiga folder, diantaranya folder Family, Mika dengan simbol hati, dan Roxette.
"Memangnya ada fotoku? Tapi kita kan belum pernah foto bersama," aku berbicara pada diriku sendiri. Berusaha mengendalikan akal pikiranku agar tidak semakin liar. Aku tekan folder Mika dengan simbol hati, berharap ingin tahu apa isinya. Ternyata, kosong.
Dahiku mengernyit. Kemarin sepulang sekolah, Mas Doni hanya berkata, "Bawa ini, Mik. Hari Senin aku ambil lagi ya." Dia tidak memberitahuku lebih lanjut tentang apa yang harus aku lakukan dengan ponselnya itu. Sejenak aku berpikir, lalu aku buka folder Family, yang berisi foto Mas Doni dan kedua saudaranya serta kedua orangtuanya. Berikutnya, aku buka folder Roxette dan kudapati puluhan foto dia bergaya dengan teman-teman sekolah dalam berbagai pose. Aku tertawa sendiri melihat fotonya tersebut, "Dasar konyol," ucapku sembari tersenyum dan scrolling down foto demi fotonya.
Muncul pemikiranku untuk memotret diriku sendiri, "Leeooo, sini dong bentaran aja!" Aku memanggil adikku agar masuk ke kamarku.
"Ya kak.." Dia menggelayut di handle pintu kamarku dengan tetap memeluk guling kusamnya.
"Dek, fotoin kakak sini. Kamu berdiri disitu, coba deh."
Leo menerima ponsel biru itu dan memperhatikan sejenak dengan seksama.
"Tekan yang ini, bukan?"
Leo menekan tombol bulat yang terdapat di tengah keypad, memisahkan tuts kiri dan tuts kanan. Lalu terdengar bunyi pelan, "rrr... seett".
"Lah, kak Mika kok merem gini sih?" ucapnya polos.
"Ais, Leo, kakak belum siap. Ulangi. Jangan asal pencet, ntar rusak loh!" nadaku meninggi.
Aku menatap kaca panjang di kamarku, merapikan sedikit rambutku, memilin bagian kanannya yang memang lebih panjang dibanding sisi rambutku yang sebelah kiri.
"Sudah siap, ayo mulai ya."
"OK ya, 1.. 2.. 3.." Leo memberi aba-aba.
[rr... sett]
"Udah, kak. Coba liat hasilnya."
Aku menekan menu Photos, mencari hasil foto jepretan adikku. Ada folder baru yang tadinya tak ada, kini tiba-tiba ada, folder Camera. Aku buka folder tersebut dan mendapati hanya fotoku satu-satunya berada disitu.
"Wee.. kakak kecentilan gayanya," ejek Leo menggodaku.
"Haha, iya ya dek. Hapus aja kali, ya? Fotoin ulang ya?"
"Jangan dihapus dulu, kak. Foto dulu yang banyak, baru dipilih. Yang jelek, yang kecentilan, dihapusin, gitulo kaakkk."
Ya ampun, anak SD ini pintar sekali akalnya, batinku.
"Mmm.. gini dek. Kakak bergaya, kamu pokoknya fotoin aja. Langsung jepret-jepret yang banyak. Gitu ya, dek?"
Leo mengangguk tanda paham. Baru pertama kali bagi kami memegang dan mengutak-atik ponsel dengan kamera seperti ini. Tapi seperti fotografer handal, Leo begitu menguasai angle yang tepat untuk mengambil gambar diriku.
"Sudaahh ah, Kak. Banyak ini. Aku capek tahu!" Disodorkannya ponsel biru itu padaku. Gulingnya ditarik dan dia berlalu begitu saja menutup pintu kamarku.
Aku tersenyum, sembari membuka folder camera, satu persatu memandangi fotoku.
"Hm.. Not Bad, Leo," gumamku.
***
MALAM
Ponsel Mas Doni berdering. Aku lupa mematikannya sedari siang tadi seusai Leo dan Aku bermain dengan kameranya yang jernih. Nomer tanpa nama tertera di layar. Aku ragu menerima panggilan masuk itu. Siapa ya, apa saudara Mas Doni, atau jangan-jangan orang tua Mas Doni, atauuu... ah, biar saja aku terima, aku akan katakan yang sejujurnya. Pikiranku berkecamuk, antara menerima atau membiarkan panggilan telepon itu.
"Tit"
Nada tersambung. Terdengar suara di seberang sana, suara yang tak asing bagiku. Sontak dalam hatiku bersorak kegirangan karena kecemasanku akhirnya tak terjadi.
"Halo, Mika?"
"Ya.. Mas Doni?"
"Lagi ngapain, sayang?"
"Haha.. lagi goleran aja di kamar, Mas.."
"Kok lama angkat teleponnya? Tidur?"
"Takuuutt, Mas. Kirain siapa, jadi gak berani aku angkat daritadi."
"Ini pake telpon rumahku kok."
"Ooh, pantesan gak ada namanya disini."
Aku membenahi posisiku, beringsut menarik selimut dan memeluk guling. Ku raih remote AC dan ku tekan tombol UP menaikkan suhu menjadi 26°. Aku tiba-tiba merasakan badanku sedikit menggigil namun bukan karena dinginnya suhu dari AC.
"Mika, kenapa diem?"
"Benerin selimut, Mas. Kayak badanku meriang deh. Dingin rasanya."
"Tapi sudah makan malam?"
"Sudah, Mas."
"Aku temenin dari sini, ya? Kalo ketiduran juga gak papa, sayang"
"Mas..." sejenak aku menelan ludah.
"Mas, kok aku gak bisa ya, panggil kamu pake kata sayang, gitu?"
"Lah, haha.. Aku sih gak maksa kamu, Mik."
"Gak papa ya, aku panggilnya Mas aja."
"Gak papa kok, semampumu aja."
Kemudian kami saling terdiam beberapa saat. Aku merasa tidak enak hati pada Mas Doni. Dia begitu baik sikapnya, dan begitu pengertian terhadapku. Sedangkan aku, hanya menganggap dia sebatas.. apa adanya. Bahkan untuk memanggilnya dengan panggilan Sayang, aku tak sanggup.
Aku mulai menyalahkan diriku sendiri yang ternyata belum lepas seutuhnya dari ingatan tentang Rio. Ku kepalkan tangan, ku hantamkan perlahan ke tembok kamar. Mika bodoh, Mika bodoh, lirihku. Dan ternyata Mas Doni mendengarnya di seberang sana.
"Mika kenapa? Itu yang duk..duk.. suara apaan sayang?"
Aku terisak. Memanggil Mas Doni dengan suara lirih dan memelas, "Maass.. maafin Mika.. Mika belum bisa kalo disuruh sayang sama Mas Doni."
Tangisku pecah. Aku yakin disana Mas Doni tengah keheranan dengan sikapku. Pilihan terbaik saat itu adalah menutup wajahku dengan selimut, tenggelam dalam emosiku sendiri. Tak ada yang perlu ku kecewakan, bahkan Mas Doni sekalipun.
"Mika, are you OK, sayang?"
"Mika ini.. kenapa kok tiba-tiba nangis?"
"Mas tadi salah bicara gak sih?"
Layar ponsel Mas Doni basah karena airmataku. Aku menyekanya dengan ujung selimutku, sejenak menghela napas, lalu ku hembuskan. Suaraku mulai terdengar sengau.
"Mas, aku mau cerita deh. Mau denger gak?"
***
Tak terasa, 50 menit berlalu dan kami saling bercerita. Aku memberanikan diri bercerita pada Mas Doni tentang Rio. Semua tentang Rio, dan tak ada poin yang tertinggal.
Bagaimana Rio menjadi masa laluku namun tetap membayangiku, hampir setiap hari.
Bagaimana kerasnya usahaku melupakan Rio, tapi aku belum juga melepas semua kenangan tentang dirinya.
Kenapa aku berupaya keras membuka hati untuk Boy, namun justru semakin keras pula pukulan yang kurasakan di hatiku karena mengingat Rio.
Apa saja yang telah Rio lakukan dan berikan padaku, selama ini, dan aku merasa aku berhutang budi padanya.
Akan selalu ada Rio dalam benakku, bahkan seorang Mas Doni sekalipun belum tentu mampu melepaskanku dari belenggu masa lalu dengan Rio.
"Aku belum mampu memberikan hatiku pada yang lain, termasuk Boy, atau bahkan kamu, Mas. I'm sorry. Deeply sorry."
Aku lega akhirnya dapat mengungkapkan semua isi hatiku pada Mas Doni malam itu. Aku berterima kasih atas segala kebaikan dan ketulusannya selama beberapa bulan menyandang status sebagai pacarku. Terserah bagaimana Mas Doni menyikapinya.
"Aku sayang sama kamu, Mika. Aku tak peduli masa lalumu. Aku bersedia menunggu mu." Jawaban yang begitu singkat dan lugas. Nadanya terdengar tegas tak bergetar sedikitpun. Padahal baru saja Mas Doni mendengar cerita pahit tentang perasaanku padanya.
"Mas, kalo besok pagi jemput aku, apa bisa?" tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.
"Bisa kok, Mik. Jam berapa maunya dijemput?"
"Pukul 6.45 sudah nyampe depan rumah gimana? Bisa?"
Tut.
Belum ada jawaban, ponsel Mas Doni mati. Layarnya gelap. Habis batere, batinku. Aku bangkit dari tempat tidurku, menyibak selimut tebal dan sekejap saja menghubungkan kabel charger dengan ponsel biru Mas Doni.
Ting.
1 Message Received
KENAPA TELPONNYA KEPUTUS? APA BATERE NYA HABIS? BESOK AKU JEMPUT. KAMU ISTIRAHAT YA.
Mas Doni mengirim pesan padaku menggunakan nomer lain yang tak ku kenal. Sesaat ragu aku membalasnya. Namun akhirnya, aku tetap mengetikkan beberapa kata sebagai penutup malam ini.
TERIMA KASIH YA, MAS.
1 Message Sent
Selang semenit kemudian, Mas Doni kembali membalas pesanku.
Ting.
1 Message Received
I LOVE YOU, MIKA
***
"Soon, i'll try to love you too, Mas" ucapku lirih sembari menarik selimut.