DAGO, MUSIM HUJAN, TAHUN 2005.
Menyusuri jalanan berpaving, Doni sibuk membaca satu persatu nama distro di Jalan Dago. Vivi terlalu sibuk dengan ponselnya hingga seringkali tertinggal langkah dengan Doni. Mereka harus tiba di Stasiun Bandung sebelum pukul 4 sore. Itu sebabnya Doni mulai mempercepat langkah.
"Vi. Kamu tunggu di luar aja deh. Aku masuk situ bentar." Doni menuju ke salah satu pintu distro terkemuka. Vivi masih saja sibuk dengan ponselnya.
"Selamat datang, Silahkan Masuk, kak." Sapa pegawai distro kepada Doni sembari membukakan pintu.
"Terima kasih." Jawab Doni singkat. Dia mengedarkan pandangannya pada deretan baju yang berjajar rapi.
"Pacarnya gak masuk sekalian, kak?" tanya pegawai distro itu pada Doni.
"Ha? Pacar?" Doni melihat ke arah kanan dan kiri, sedikit kebingungan.
"Iya kak, yang baju biru muda, di luar. Itu pacarnya kak..." Ditunjuknya Vivi yang bersandar pada pohon besar di depan distro itu.
Doni hanya menggeleng. Tak digubrisnya ucapan pegawai tersebut. Dia melenggang masuk mencari deretan kaos yang sesuai dengan kesukaan Mika.
"Mas, saya ambil ini yang ukuran L ya."
Doni menyerahkan kaos coklat bergambar bola api bertuliskan 'Split Fire Wheel' pada kasir. Mika menyukai segala sesuatu bertema darkness, pasti dia akan senang menerima kaos ini, pikir Doni mantap.
"Gimana Don? Udah dapet?" tanya Vivi yang telah berada di samping Doni. Doni mengangguk.
"Laahh.. cuma satu? Bandung tuh jauh.. beliin kaos yang banyak.. disini kan bagus-bagus kualitas kainnya. Cetak gambarnya juga gak rusak kalo dicuci.." Vivi memulai ocehannya.
Menimbang pernyataan Vivi, sekali lagi Doni mengedarkan pandangannya. Berusaha mencari pilihan yang sesuai untuk Mika.
"Mika... suka jakett... mm.. ini dia!"
Doni menggumam yang hanya didengar oleh dirinya seorang.
Ditariknya jaket berwarna hijau tua dengan corak kecoklatan dari hanger yang terkait. Jaket itu memiliki keunikan, karena pola jahitannya terletak di luar bukan di bagian dalam. Sekilas yang mengenakan akan mengira jika jaket itu terbalik. Justru disitulah uniknya. Distro Bandung memang terkenal dengan kualitas pakaiannya yang terbaik. Doni yakin, Mika pasti senang menggunakannya.
Doni memilih beberapa gantungan kunci untuk oleh-oleh yang akan diberikan pada teman genk-nya. Dilihatnya ada gantungan kunci berbentuk strawberry dengan warna pink dan totol putih, diambilnya 2 buah sekaligus. Disaat Doni sibuk memilih gantungan kunci, Vivi mendekat lalu mengulurkan tangannya sedikit maju, mengambil foto mereka berdua tanpa sepengetahuan Doni.
"Nice pic!" pekik Vivi.
Doni tahu betul warna kesukaan Mika adalah ungu muda. Namun dia justru membelikan Mika gantungan kunci berwarna pink. Pasti Mika akan cemberut mendapati gantungan kunci pink itu, dan justru semakin cantik di mata Doni.
Di luar mendadak turun hujan dengan deras, Vivi kebingungan bagaimana cara mereka kembali.
"Ya.. tunggu disini aja Vi, biasanya hujan kalo deres tuh cuman sebentar doang," kata Doni dengan santai.
Sesuai perkiraan, hujan berlangsung sebentar, sekitar 20 menit. Cuaca dingin menjadikan Doni dan Vivi merasa lapar. Mereka berjalan menuju kedai mie ayam terdekat. Sambil menunggu pesanannya datang, Doni menyalakan rokoknya tanpa mempedulikan Vivi yang duduk tepat di sampingnya.
"Eh.. Don.. kok kamu merokok disini sih. Jauhan dikit sana," Vivi berusaha menyuruh Doni agar sedikit duduk menjauh darinya.
Doni tak bergeming. Tak dipedulikannya Vivi yang sedari tadi menutup hidung agar tidak menghirup asap rokok Doni.
"Ya kamu, kalo terganggu, kamu aja yang geser. Lagian seneng banget mepet-mepet aku," jawab Doni.
Vivi sedikit kesal. Muncul ide liciknya dalam kesempatan tersebut. Di saat Doni sedang memegang batang rokoknya, kembali dia mengambil foto dirinya dengan Doni. Vivi menyenggol lengan Doni, "Doniii.. say cheese!"
Di saat yang bersamaan Doni menoleh, tombol kamera ditekan oleh Vivi. Hidung Doni yang mancung dengan garis lekukan dagu yang tegas, sungguh menawan. Meski Doni tak tersenyum, namun foto itu cukup pantas untuk dipamerkan.
"Vi, kita beda kereta kan, pulangnya. Jadi aku habis ini balik ke kosan ambil baju, trus langsung ke stasiun. Kita pisah disini aja. Thank You udah ditemeni jalan." ucap Doni di sela-sela sesi makan siangnya.
"Yaahh, Doni, kok buru-buru.. masi lama kan kereta mu.." Vivi merengek tak ingin berpisah dengan Doni. Dipegangnya lengan Doni dengan manja.
"Daripada telat, aku mendingan stay di stasiun lebih awal."
"Tapi bentaran deh, mampir ke toko souvenir depan situ yuk!"
"Duh.. kayak wisata aja padahal inikan cuma tes buat kuliah."
"Enak aja.. kan tadi kamu duluan yang minta ditemenin jalan. Ya gantian dong sekarang!" Vivi sekali lagi bergelayut manja di lengan Doni.
Dengan langkah malas, Doni memasuki toko souvenir. Kemeja Doni penuh dengan keringat. Dilipatnya sedikit lengan bajunya agar hilang sedikit kegerahan siang itu. Tangan Vivi yang memeluk lengannya belum juga dilepaskan.
"Don, kalo dipikir-pikir, kenapa sih kamu mutusin aku? Aku juga cantik, sama seperti Mika.."
"Apaah? Suatu kesalahan nembak kamu dulu itu, Vi."
"Tapi masak iya, gak bisa? Aku bakalan nemenin kamu terus, bentar lagi kita kan sama-sama kuliah disini.."
"Gak bisa, Vi."
"Kenapa gak bisa? Mika... Mika... Mikaaa... terusss... Apa hebatnya dia sih..!"
"Hebatnya Mika? Kamu mau tahu hebatnya Mika itu apa?"
Vivi mengangguk, "Iya. Apa hebatnya dia?"
"Mika tuh hebat... karena jalan kaki sendiri, gak perlu gelayutan di tangan orang kayak kamu sekarang!"
Sontak Vivi memasang wajah cemberut dan melepaskan pelukannya di lengan Doni. Dia merasa begitu tersindir dan dipermalukan oleh Doni. Hati Doni sudah membatu, dan hanya tetesan sayang dari Mika yang mampu melunakkannya.
Kata-kata Doni begitu membekas dalam hati Vivi. Dia merasa gagal mendapatkan hati Doni. Tapi dia masih memiliki kesempatan untuk menghancurkan hati Mika.
***
Kereta pulang menuju Amerta baru saja berangkat. Doni tak sabar esok akan bertemu Mika di sekolah. Dia sengaja seharian ini tidak berbagi kabar dengan Mika. Doni ingin Mika memarahinya, lalu Doni akan memeluknya ketika emosi Mika belum terselesaikan.
Kemudian dia ingat..
Mungkin dia harus menjaga jarak dengan Mika ketika berada di sekolah demi kebaikan Mika. Agar teman-temannya tidak menjauhi Mika lagi.
***
Sementara itu, di rumah Mika.
"Balikin HP kakak! Leo! Awas kamu!"
"Ye.. yee.. No!"
Mika dan Leo tengah berebut ponsel untuk bermain game. Mbak Nia hanya melirik sebentar tak mempedulikan mereka yang berbuat gaduh di kamarnya.
Tiit.. Tiitt..
1 Message Received
MIKA AKU ADA CERITA BUAT KAMU. TELEPON AKU SEKARANG!
[June Jelek]
"Eh HP kakak bunyi. Bentar dek, serius pinjem bentaran!" Mika merebut ponselnya dari Leo, berharap itu pesan dari Doni.
June?
Ada apa ini?
Semenit kemudian Mika menelepon June menggunakan telepon rumahnya.
"Hei jelek, ada apa?" sapa Mika.
"Mik, HP kamu gak bisa terima MMS kan?"
"Iyaa gak bisa, HP jelek butut gini. Napa sih?"
"Kalo HP Mbak Nia, gimana? Bisa?" tanya June mendesak Mika.
"Bisa.. bisa.. mau kirim apa emang?"
"Aku kirim ke nomor Mbak Nia aja ya. Oke tutup telponnya."
Klik. Sambungan telepon terputus.
"Mbak Nia, pinjem HP bentar. Si June mau kirim MMS katanya.."
Mbak Nia hanya menggangguk memberi ijin. Diraihnya ponsel Mbak Nia di meja.
Kurang dari semenit, diterimanya pesan bergambar dari June. Mika menahan ekspresi terkejutnya. Dia segera menghapus pesan tersebut agar Mbak Nia tidak mengetahuinya.
Mika memasuki kamarnya yang terletak bersebelahan dengan kamar Mbak Nia. Ditutupi wajahnya dengan bantal. Tak banyak yang dia bisa lakukan. Mika berteriak dari bawah bantalnya dengan sangat keras, namun beruntung bagi Mika, tak ada satupun orang rumah yang mendengar teriakannya.
"Aaaaarrghhh!!!!"
***