Chereads / MIKA & DONI / Chapter 3 - Aku Tak Suka Surprise

Chapter 3 - Aku Tak Suka Surprise

BEBERAPA HARI JELANG LOMBA PASKIBRA

Hari Minggu siang, aku, Al, dan Yohan latihan formasi di sekolah beserta teman-teman team paskibra lainnya. Smasa Amerta mengirimkan 2 team sebagai delegasi lomba tahun ini. Team pertama terdiri dari para adik kelas dan anggota baru, sedangkan aku termasuk dalam team kedua yakni anggota senior. Kami mampu bergerak tanpa komando, semua sudah otomatis berjalan karena sudah mendapat chemistry satu sama lain.

Sedari pukul 1 siang kami latihan dasar. Dengan menggunakan kaos lengan panjang dan celana kain longgar, kami semua berusaha tetap fokus satu sama lain. Tidak boleh mengeluh kecapekan atau bahkan kegerahan. Kami mengulangi gerakan demi gerakan agar tak ada kesalahan sedikit pun saat perlombaan nanti.

Tepat pukul 4 sore, kita akhiri sesi latihan ini karena lapangan akan digunakan untuk persiapan turnamen basket tahunan, Smasa Cup. Turnamen basket yang selalu dinanti oleh seluruh siswa seantero Amerta, bahkan lawan tanding dari kota lain pun akan datang menyaksikan. Sponsor turnamen Smasa Cup selalu mengikutsertakan vendor-vendor ternama seperti merk minuman bersoda, merk rokok, bahkan merk sepatu bertaraf internasional juga bergabung menjadi sponsor. Bukan main, laga tanding yang luar biasa.

Peserta turnamen Smasa Cup berasal dari seluruh kalangan sekolah menengah atas. Terbagi menjadi dua grup, yakni grup Putra dan grup Putri. Jika ditinjau dari pertandingan tahun lalu, ketika aku duduk di kelas 1 SMA, lawan terberat Smasa adalah dari SMA 3 Amerta atau biasa disebut Smaga. Menempati urutan ketiga, adalah SMAK, Sekolah Kristen kenamaan tempat Rio sekolah saat ini. Rio sendiri, dia salah satu atlet basket yang cukup terkenal di Amerta.

"Yo, Smasa Cup tahun ini, Rio ikut gak ya kira-kira?" tanyaku pada Yohan.

"Jelas itu Mik. Udahlah nanya yang lainnya aja. Kamu kan bilang, kalo udah putus ya putus. Tapi kenapa diharepin mulu, "tegas Yohan dengan nada setengah kesal menanggapi pertanyaanku.

"Hahaa, sialan! Iya, aku belum bisa move on."

"Terus maumu apa? Cepetan bilang! Aku buru-buru habis ini mau ke gereja."

Yohan akhir-akhir ini sering sewot ketika aku membahas tentang Rio dengannya. Dia kesal karena aku masih saja tidak tegas dengan keputusan yang buat sendiri.

"Gak, gak mau apa-apa kok. Udah sana cusss... nanti telat ibadahnya." Aku memutuskan tidak meneruskan obrolanku agar Yohan tidak terus menerus memarahiku.

Yohan adalah satu-satunya sahabat yang paling tahu tentang bagaimana aku dan Rio. Itu karena Yohan dan Rio adalah teman satu gereja. Mereka berdua sering bertukar cerita tentangku saat ibadah hari minggu di gereja. Ketika ada kegiatan sosial di luar gereja pun, Yohan dan Rio sering bertemu. Rio sering menitipkan surat untukku, juga beberapa kali mengirimkan bunga, melalui Yohan. Dulu, Rio sering mengatur skenario dengan Yohan untuk memberikan kejutan di hari ulang tahunku. Mungkin jika tak ada Yohan, aku sudah sangat lama putus dengan Rio. Karena Yohan-lah, kami (Aku dan Rio) bisa tetap bersama meski jarang bertemu.

Saat aku dan Rio menghadapi masa krisis kemarin, Yohan sebagai orang ketiga, penyambung lidah kami. Yohan yang menyuruhku agar tetap sabar menghadapi sikap Rio. Dia pernah seharian menunggu Rio di gereja hingga malam, demi dapat bertemu dan menasehati Rio agar tidak memperpanjang masalah kami. Meski hari itu, ternyata Rio tidak datang ke gereja. Jika Yohan sekarang kesal padaku, itu mungkin karena dia lelah. Sungguh dia telah berbuat banyak demi hubunganku dan Rio.

SENIN ESOKNYA DI SEKOLAH

Yohan menghampiri mejaku, saat aku tergesa-gesa menyalin semua PR June. Sialan. Aku betul-betul lupa jika PR Biologi dikumpulkan hari ini. Di tengah konsentrasiku menulis kata demi kata, Yohan menyodorkan sebuah amplop padaku.

"Apaan itu. Aku sibuk, sanaa! Sana!"

"Ada titipan buat kamu." Yohan menjawab singkat sembari dilemparnya amplop itu karena aku tak kunjung menerimanya dengan tanganku.

"Surat lagi? Dari Rio, ya kan!" Aku menoleh sejenak lalu kembali pada bukuku. Tak ku sentuh amplop itu. Tergeletak begitu saja di dekat tangan kiriku. Sedikitpun aku tidak penasaran dan berhasrat ingin membuka isinya. Tidak sama sekali.

Bersamaan, June dan Al masuk ke kelas seusai sarapan di kantin. Mereka berdua merasa tertarik dengan keberadaan amplop asing di mejaku. Di antara mereka saling bertukar pandang, lalu melemparkan pandangan penuh tanya pada Yohan, yang berdiri di sampingku. Aku menangkap rasa penasaran para sahabatku.

"Kalian buka aja gaes. Aku gak punya waktu baca surat-suratan. Rio pengecut!" Celotehku tak peduli dengan tetap mengerjakan PR tiada henti.

Memang, para sahabatku terlalu penasaran. June menyeret Al dan Yohan menjauh dariku, yang mana amplop itu telah berada dalam tangan Al. Bukannya meyakinkan aku terlebih dahulu, Al justru membuka perlahan amplop itu dengan menyobek sedikit bagian sampingnya. Isinya belum nampak jelas. Dirobek lagi amplop itu hingga tampak seluruh bagian dalamnya.

Aku menoleh sejenak dan menggelengkan kepalaku. Sayangnya, aku tertahan oleh PR Biologi yang belum ku kerjakan. Seandainya tiada penghalang, sudah ku jambak-jambak rambut mereka bertiga karena berani membuka surat dari Rio, batinku.

Mereka terkekeh perlahan. Berharap membaca surat cinta yang penuh drama dari Rio seperti yang dulu-dulu. Dikeluarkan isi amplop itu perlahan. Begitu pelan, sambil sesekali Al menoleh padaku, berusaha memancing agar aku berdiri dari tempat dudukku. Tapi sekali lagi, aku sudah tidak peduli. Hingga aku lempar tip-ex merah June ke arah mereka.

"Sialan kalian. Temen kampret!" teriakku kesal tapi juga sebal pada diriku sendiri.

Mereka bertiga terbahak-bahak melihat aku kacau pagi itu. PR Biologi yang tak kunjung selesai ku kerjakan, aku pun mulai lelah menyalin kerjaan June, dan dikejar rasa penasaran atas isi surat Rio.

Semenit menjelang bel masuk. PR Biologi yang ku salin kurang selembar lagi. Semoga pak Malik datang telat, ya Tuhan. Harapku cemas. Aku tak ingin dipermalukan di depan kelas gara-gara PR, karena Pak Malik terkenal sebagai guru killer. Hukuman yang diberikan bukan main kerasnya, salah satunya lari tengah hari mengelilingi lapangan basket sebanyak 5x. Bagi anggota Paskibra, mungkin itu terbilang mudah. Tapi menanggung malunya karena dilihat oleh seluruh siswa, tak bisa dilupakan hingga berhari-hari lamanya. Apalagi jika Boy tahu, aku pasti sangat malu pada Boy.

Dari tempat dudukku, aku mendengar Yohan, Al, June, memekik bersamaan. Aku menoleh, tanganku terangkat penuh tanya, "Apaan!". Aku melihat June menutup mulut dengan tangan kanannya dengan raut wajah terkejut.

"Mika! Liat ini!!" teriak June padaku dan dia bergegas menghampiriku.

Aku menoleh kesekian kali, mendongakkan kepala, dan meletakkan bulpen.

"Ha, apaan." Ku miringkan badanku menghadap mereka, berharap ada sesuatu yang penting untuk mereka sampaikan.

June melambaikan sesuatu, secarik kertas.

Ditutupnya bukuku, "Udah jangan dilanjutin, palingan PR nya cuma diperiksa bagian depan doang," ujar June.

Aku menarik kertas yang dibawa June. Membolak-baliknya, kemudian membaca susunan huruf konsonan dan vokal yang tertera disitu. Sedangkan Yohan dan Al langsung kembali ke kursinya, berjarak 2 bangku di sebelah kiriku, dengan tetap sesekali menoleh ke arahku dan June.

Terkejut aku membacanya, "Ya Tuhan, ini serius?" Mataku membelalak, tak percaya apa yang ku lihat.

Seketika Yohan dan Al melihatku dari bangku tempat duduk mereka disertai senyum simpul.

Pak Malik datang.

Aku tergesa meletakkan kertas itu di laciku.

***

JAM ISTIRAHAT

Aku tidak turun ke kantin. Aku hanyut dalam rasa penasaran. Aku mengeluarkan kertas yang ku letakkan di laciku dari pagi tadi.

"June, kalo kamu jadi aku, kamu gimana?" tanyaku.

"Yaa. So pasti, jelas semuanya kan, Mik." June menjawab pertanyaanku tanpa menoleh sedikitpun padaku.

Aku menghadap June. Menatap June dengan memasang wajah serius.

"Tapi June, aku kan..."

Tiba-tiba June memotong perkataanku,

"Kamu itu jaim aja sebenernya. Dah lah, ini kamu pake. (Ditunjuknya kertas berharga itu) Semoga bisa memperbaiki semuanya Mik."

"Oke. Oke. Nanti kamu temenin aku ya Jun, jaga-jaga kalo aku pingsan ntar, hehe."

"Yaelahh, iya bego! Aku temenin ntar!" June menyahut kesal, namun aku tetap memeluknya sebagai ucapan terima kasihku.

"Kamu turun aja Jun, aku disini," kataku.

Aku kini sendirian di kelas di jam istirahat. Memuaskan diri memandangi amplop itu. Mengeluarkan isinya lalu memasukkannya lagi. Kejutan sekali lagi dari Rio meski kini Rio bukan lagi pacarku. Dia menitipkan tiket freepas turnamen basket Smasa Cup melalui Yohan untukku. Sehingga aku dapat terus menonton pertandingan selama 1 pekan penuh hingga pertandingan final, dan itu semuanya free. Termasuk konsumsi, tentu saja.

Meski berstatus sebagai siswa Smasa Amerta, kita memang seharusnya tetap membeli tiket untuk menonton turnamen basket Smasa Cup. Dan bagi seorang Mika, itu sama saja mengurangi isi tabungan jika harus menonton pertandingan selama seminggu. Solusinya, seorang Mika hanya dapat membeli 1 tiket hanya untuk 1 hari. Jika besoknya, tim favorit Mika lolos ke babak final, itu menjadi mustahil bagi Mika untuk menonton pertandingan lagi. Karena biasanya, tiket di hari final, harganya lebih mahal 2x lipat dari harga tiket babak seleksi. Namun, saat ini, berkat keajaiban, Mika memegang secarik kertas yang berharga mahal dan belum tentu akan diperolehnya di lain kesempatan.

Pikiranku melayang, membayangkan akan bertemu Rio minggu depan. Menyaksikan dia berlaga seperti sebelum-sebelumnya. Terbersit perasaan bersalah karena bersikap terlalu keras pada Rio. Mungkin saat itu terlalu emosional, batinku.

Lalu melintaslah Boy dan teman se-genk-nya di depan kelasku. Aku hanya menoleh pada mereka melalui jendela kaca. Boy tampak melambaikan tangannya, memberi tanda agar aku keluar kelas. Aku pun menghampirinya, mengobrol sebentar dengan bersandar pada pintu kelasku yang tak kunjung hilang bau catnya.

"Mika, minggu depan kita nonton Smasa Cup bareng yuk, aku jemput boleh?" Tanpa basa-basi Boy melontarkan pertanyaan itu disaksikan anggota genk Roxette lainnya.

"Aku kabari nanti ya Boy," jawabku sambil tersenyum. Sungguh aku tak tahu, harus berkata apalagi pada Boy. Dia semakin terang-terangan kian berani mengajakku di depan teman-temannya.

Kami sedikit berbincang dan sesekali diiringi tawa. Menatap Boy, sungguh berbeda jika dibanding dengan Rio. Ya, secara fisik memang berbeda. Boy berpenampilan lebih macho, dengan seragam atasan yang dikeluarkan sebagian. Badannya yang tinggi seolah siap melindungiku dari ancaman pengganggu di luar sana. Tak kulihat dia mengenakan aksesoris seperti jam tangan atau kalung rantai seperti teman-temannya, namun hanya ada gelang kulit kecil tipis berwarna coklat muda di pergelangan tangan kirinya. Boy bagaikan cerminan laki-laki yang tidak banyak mau, sederhana, dan perhatian.

Saat ini aku dan Boy hanyalah teman. Teman tapi dekat, melebihi definisi teman pada umumnya. Lebih sering bertukar cerita melebihi aku dengan sahabatku. Tiap malam Boy meneleponku, selalu ingin tahu dengan bertanya, Mika sedang apa, atau apakah Mika sudah makan malam. Secara status, antara aku dan Boy adalah teman, antara adik kelas dan kakak kelas. Belum lebih dari itu.

Kehadiran Boy, menjadikanku sedikit melupakan Rio. Aku dan Rio baru putus beberapa bulan lalu. Tetapi sebenarnya hubungan kami sudah menggantung sekitar setahun belakangan. Hingga akhirnya aku bertemu Rio di suatu jamuan makan malam bersama pak Walikota saat seleksi paskibraka, dan aku memutuskan hubunganku dengan Rio esok harinya. Tentunya karena alasan yang menurutku sudah tak dapat ditolerir.

Membandingkan Boy dan Rio, tak ada habisnya. Boy yang ramah, supel, dan tidak pernah kehabisan materi untuk berbincang dengan lawan bicaranya. Selalu ada petikan-petikan humor di tiap obrolanku dengan Boy. Itu yang membuatku merasa tak ada batasan usia meski dia kakak kelasku. Hanya saja aku belum nyaman jika harus lebih dekat dengan Boy.

Kadangkala, aku masih sering bermimpi tentang Rio. Aku sering tiba-tiba menangis jika teringat akan Rio. Bagaimanapun, aku dan Rio, bersama nyaris 4 tahun meski kami jarang bertemu, meski kami jarang bersama, bahkan meski kami berbeda keyakinan.

Aku masih memegang tiket freepas dari Rio. Membolak-balikkan tiket itu lagi, tepat setelah Boy berjalan kembali menuju kelasnya di lantai 1, tepat di bawah kelasku. Tekatku sudah bulat. Ku putuskan akan datang ke pertandingan untuk Rio, tapi ini yang terakhir kali.

***