"Hat.. tchuu.. hhhhhh"
Debu yang menempel pada barang-barang lama digudang, membuat hidung Kim Jin-Hwan terasa gatal.
"Astaga, kau mengejutkanku."
"Tubuhmu kecil, tapi suaramu kuat sekali."
Kim Ji-Won terlonjak kaget saat akan menggeser sofa tua yang tertutup kain putih, disebelahnya Koo Junhoe menimpali dengan ledekan. Jin-Hwan menatap marah, Junhoe selalu suka meledek tubuhnya yang memang paling kecil di antara teman-teman lelaki yang lain.
"tcihh.. bocah ini!" Umpat Jin-Hwan
8 anak muda tengah membersihkan gudang bawah tanah, milik Paman Yang Hyun-Syuk. Pria paruh baya yang terbilang berkecukupan, juga seorang pemilik tempat tinggal paling besar dibanding tetangga sekitarnya. Beliau hidup sebatang kara, istrinya lama pergi setelah bercerai dan anak-anak nya berada diluar negeri. Sekali sebulan atau malah setahun, kedua anaknya yang telah berkeluarga akan pulang menjenguk.
Jadilah ia dekat dengan tetangga dan baik pada mereka, terutama anak lelaki dari rumah yang bersebrangan dengan rumahnya. Kim Han-Bin dan Paman Yang begitu dekat, hubungan mereka sudah seperti ayah dan anak. Bahkan Paman Yang dan keluarga Kim, sudah saling kenal sejak kecil. Bisa dikatakan masa lalu Paman Yang dan Pak Kim, adalah teman sejak kecil.
Paman Yang juga menyayangi Han-Byul adik perempuan Han-Bin, menganggap keduanya seperti anak sendiri. Maka dari itu, Paman Yang juga tak tanggung-tanggung memberikan apapun yang kedua Kim bersaudara itu minta. Walau terkadang Han-Bin sendiri tak enak hati untuk meminta, Paman Yang akan menawarkannya lebih dulu.
Seperti gudang bawah tanah miliknya, yang secara suka rela ia berikan pada anak lelaki banyak tingkah itu. Karena memang gudang miliknya ada dua dan gudang bawah tanah sudah jarang ia pakai, jadilah ia berikan pada Han-Bin untuk dijadikan markas bersama teman-temannya.
Han-Bin punya 7 teman sepermainan, 6 laki-laki dan satu perempuan yang selalu bersama sejak masuk sekolah dasar. Mereka tidak bertetangga, rumah mereka berjauhan. Terbagi antara gang-gang pemisah setiap kompleks, hanya Jang Geu-Reum satu-satunya perempuan di antara mereka dan rumahnya yang paling jauh.
"Song Yunhyeong, bisakah kau menyapu dengan benar? Aku bahkan sudah membersihkan separuh ruangan, tapi kau sedikitpun tak bergerak dari tempat mu sejak tadi." Omel Geu-Reum,
Ia mulai meradang, saat melihat Yunhyeong yang malah asyik mengambil foto dirinya sendiri. Sapu yang dipegangnya hanya menjadi properti selfie-nya, tak menghiraukan debu-debu di bawah kakinya.
"Kau berisik sekali, aku sedang membagi kegiatanku pada penggemar di media sosial ku. Kau tidak lupa kan, jika aku harta ketampanan negeri ini." Bela Yunhyeong, masih mengabaikan gadis yang sudah berkacak pinggang didepannya.
Yunhyeong tetap asyik berswafoto, bahkan berganti-ganti gaya sebelum membidik kamera. Tak memedulikan tatapan nyalang gadis berambut hitam sebahu, yang kacamata bulatnya melorot sampai tulang hidung.
"Kemari, cepat. Ayo ambil gambarku, kau hitung sampai ketiga. Lalu panggil aku, kau ambil gambar saat aku membalikkan tubuh." Suruh Yunhyeong tanpa dosa,
"Aku tidak mau." Tolak Geu-Reum
"Setelah itu kita ambil gambar bersama, kau akan bangga dan menjadi pusat ke-irian penggemarku saat gambar kita berdua ku unggah." Bujuk Yunhyeong lagi, ia tak menerima penolakan.
Geu-Reum makin tersulut amarahnya, tapi Yunhyeong tak peduli. Ia malah menarik-narik tangan Geu-Reum agar mau mengabulkan permintaannya, menyodorkan ponselnya dan segera berpose seperti yang ia arahkan. Dengan nafas yang terhembus kasar, Geu-Reum mengabulkan permintaan Yunhyeong.
Namun ide jahilnya muncul, ujung bibirnya tertarik. Saat Yunhyeong berbalik usai dipanggil, ia malah melontarkan ejekan dan membuat Yunhyeong murka. Baru mengambil gambar, saat wajah pria yang memiliki kepercayaan diri tinggi itu sangat konyol.
"Hahahahaha.."
Tawa puas Geu-Reum mengisi ruangan, wajahnya memerah dan mata yang tertutup saat tertawa juga mulai berair. Tenggorokan dan perutnya jadi sakit, tapi ia tak bisa menghentikan tawanya. Yunhyeong meradang, iamenyambar kasar ponsel dari genggaman Geu-Reum yang masih terbahak. Wajahnya lebih murka saat tahu, jika Geu-Reum telah mengunggah gambar wajah konyolnya.
"Kau gila, hah? Hancur sudah reputasiku," Seru Yunhyeong semakin panik, ditambah banyak like dan komen untuk unggahan ilegalnya itu. Ke-enam kawannya yang lain ikut menertawakan, menyadari apa yang tengah terjadi pada dua orang yang memang selalu suka bertengkar itu.
"Aku lapar," Ucap Dong-Hyuk sembari menghentikan tawanya, memegangi perutnya yang sejak tadi keroncongan dan semakin menjadi karena banyak tertawa.
"Ayo buat mi instan, Paman Yang pasti punya banyak persediaan." Ajak Han-Bin semangat, ia sangat paham dengan apa saja yang ada di dalam rumah Paman Yang.
Dong-Hyuk jadi sama bersemangatnya, ia meletakkan kemoceng dan kain lap yang ia pegang. Segera melangkah menuju dapur yang hanya diatas gudang, Han-Bin juga secepat langkahnya mengikuti. Tapi tertahan oleh Jin-Hwan yang menentang, jika Han-Bin yang pergi memasak.
"Kau mencoba untuk lari kan? Kau masih punya banyak pekerjaan," Tegur Jin-Hwan menunjuk tumpukan kotak yang masih harus dipindahkan, walau sudah separuh dibersihkan.
"Chan-Woo kan ada, kalian berdua sudah cukup." Elak Han-Bin berusaha melepaskan diri, karena memang dia sudah lelah dan bosan.
"Aku? Kau saja sejak tadi hanya menggesernya, aku yang banyak mengangkat." Protes Chan-Woo merasa tidak mendapatkan keadilan, sesekali melirik Jin-Hwan. Berusaha mencari perlindungan lebih pada pria bertubuh mini itu, yang terlihat berapi-api siap dengan kata-kata perangnya.
"Baiklah, lalu siapa yang akan memasak?" Seru Han-Bin sedikit kesal,
"Yunhyeong, kau kan yang pandai memasak." Cetus Ji-Won menengahi, ia pakai dagunya untuk menunjuk pria yang sangat mencintai dirinya sendiri itu.
"Aku tidak mau, aku masih marah saat ini. Aku merajuk, kalian tahu?" Ucap Yunhyeong yang masih sibuk dengan ponselnya, duduk jauh pada kotak yang tadi dipindahkan Chan-Woo di dekat pintu keluar.
"Kita punya anak perempuan disini, untuk apa ada Geu-Reum. Biar Geu-Reum yang memasak, walau aku tidak yakin akan jadi apa dapur Paman Yang." Timpal Junhoe memberikan ide, masih dengan kebiasaannya yang asal berucap.
"Kau meremehkan ku? Baiklah akan aku buktikan pada kalian, aku juga pandai memasak." Ujar Geu-Reum,
Merasa di remehkan oleh pria-pria yang juga sahabatnya, membuat hatinya tertantang. Di benarkan letak kacamata minusnya, lalu melenggang ke dapur dengan angkuh. Melewati Dong-Hyuk yang sudah lebih dulu mencapai anak tangga menuju dapur, walau baru setengah perjalanan. Semua pasang mata memperhatikan langkah makhluk paling pendek diantara mereka, setelah Jin-Hwan.
"Semoga Tuhan menyertai kalian." Pekik Han-Bin, seakan dua temannya akan pergi ke medan perang.
....
Panci yang setengahnya terisi air, sudah bertengger pada kompor yang nyala apinya biru. Selagi menunggu air itu mendidih, Geu-Reum berkeliling melihat-lihat rumah Paman Yang. Kebetulan sang pemilik juga tak ada di rumah, jadi ia bisa sedikit leluasa menjelajahi rumah bergaya lama ini. Bisa di tebak, jika rumah yang luasnya dimulai dari halaman hingga belakang rumah ini. Tidak pernah diubah interior-nya, terbukti ada beberapa foto berlatar rumah ini.
Ia hanya melihat yang berada diluar, tak berani masuk ruangan yang lebih dalam. Sejak kecil ia di ajarkan tentang tata cara baik bertamu dirumah orang lain, ia jadi tahu batasan saat bertamu dan menjaga sikap juga sopan santun.
Segala isi dari penjuru rumah luas ini, mempunyai keunikan dan gaya yang berbeda dari kebanyakan rumah lain. Ia jadi berfikir, jika rumah sebesar dan secantik ini. Sayang jika hanya ditinggali seseorang, pasti rumah besar ini makin hidup saat ada tawa dan suara-suara riuh anak-anak, saudara atau pasangan. Sepersekian detik kemudian, pikirannya terbang jauh menembus cakrawala. Membayangkan dirinya bisa tinggal di rumah seperti ini, tinggal bersama suami dan anak-anaknya.
Karena membayangkan hal itu, ia jadi melamun. Tanpa ia sadari, sejak tadi Dong-Hyuk memanggilnya. Hingga ia terlonjak kaget, saat pria berpikir tirus terhias lesung pipi samar itu. Menepuk puncaknya cukup kuat, memang dalam persahabatan mereka tak ada perbedaan gender. Sehingga perlakuan mereka, terkadang melebihi teman sesama lelaki.
"Aku pergi ke toilet dulu, jangan kemana-mana." Titah Dong-Hyuk tiba-tiba, Geu-Reum langsung mencebikkan bibirnya. Kesenangannya terganggu, ia merasa sedikit sakit di bahunhya. Juga, ia baru akan melihat lukisan di ruang tengah Paman Yang.
Tapi mau tidak mau, suka tidak suka, Geu-Reum harus mengiyakannya. Jika tak ingin mendapat ceramah panjang lebar Dong-Hyuk, dan penghinaan 7 pria itu padanya yang selalu menganggapnya tak bisa apa-apa.
Air yang baru beberapa menit di masak juga sudah mendidih, lalu ia mulai memasak mie instan yang menjadi tujuan awal. Beberapa telur dan mi instan sudah masuk kedalam panci, tinggal menunggu semuanya matang sempurna. Tak lupa bumbu mie dijadikan satu, sebuah trik agar mi instan terasa lebih lezat.
Merasa bosan karena terlalu lama, matanya mauai berkeliling lagi untuk mencari hal-hal yang bisa menarik perhatiannya. Hingga, pandangannya jatuh pada sebuah lemari es yang memiliki dua pintu di samping kompor. Di lihatnya sepucuk surat yang tertempel di pintu lemari es itu, sebuah nama juga tertulis di atas amplop surat sewarna biru laut itu.
"Lee Hye-Young!" Geu-Reum bergumam sendiri, sebuah nama yang terasa tak asing baginya. Pernah mendengar atau bahkan tahu, tapi ia lupa siapa dan dimana.
Suara berasal dari panci mi instan membuyarkan lamunannya, panci mie instan ikut meluap. Hampir ia membuat kebakaran atas kelalaiannya, separuh air meluap hingga mengenai api kompor. Segera ia matikan kompor dengan terburu-buru, karena panik juga. Tanpa sadar, tangannya mencoba mengangkat panci panas itu. Hingga tangannya melepuh dan panci terlempar begitu saja, membuat semua isi panci jatuh berantakan.
Han-Bin baru akan mengambil alat penyedot debu, ia melewati dapur dan mendengar teriakan Geu-Reum. Menemukan dapur yang berantakan, dan Geu-Reum meringis kesakitan. Segera ia berlari untuk mencari tahu apa yang terjadi, perasaannya makin khawatir saat kedua tangan Geu-Reum yang kemerahan.
Tak lama Dong-Hyuk juga tiba setelah Han-Bin, tapi ia hanya memilih berdiam diri. Memperhatikan kekacauan dan menatap Han-Bin yang cekatan menarik tangan Geu-Reum, lalu mengalirkan air pada luka bakarnya.
"Bagaimana kau se-ceroboh ini?" Ujar Han-Bin dengan masih memegang tangan Geu-Reum, tatapan serius juga ada sedikit khawatir di wajahnya.
Rasa perih bersamaan dengan dingin dari air yang mengalir, membuat matanya terpejam dan dahinya berkerut. Menahan rasa sakit akan luka bakar, juga serangan mendadak pada hatinya. Jantungnya ikut berdetak tak karuan, saat berada berdekatan dengan Han-Bin.
Juga tangan hangat pria yang diam-diam telah lama ia sukai, mengenggam pergelangan tangannya. Dengan telaten pria berjembatan tak rendah atau tinggi itu, masih berusaha memberi pertolongan pertama untuknya. Mata yang tak bisa teralihkan, mengamati wajah rupawan baginya yang terpampang begitu dekat.
"A..aku tidak sengaja melakukannya." Ujar Geu-Reum gelagapan, saat pupil kecoklatan Han-Bin menatapnya. Ia menatapnya lama untuk memastikan jawaban akan pertanyaan yang diabaikannya, gadis itu tak balas menatap.
"Kau sangat ceroboh, tanganmu bisa terbakar lebih parah dari ini." Omel Han-Bin, masih tak merubah posisinya.
Tangan besarnya terus menggenggam tangan Geu-Reum, sesekali mengusap lembut yang terasa seperti sebuah belaian. Menggelitik, tapi memabukkan hingga membuatnya kecanduan. Tatapan yang terus tertuju padanya, mengunci perasaan yang tak tahu kapan bisa terbuka.
....
Dong-Hyuk membuat mie instan baru setelah membersihkan dapur bersama yang lain, Han-Bin masih merawat Geu-Reum dan membuatnya jadi tak enak hati. Niat hati ingin membantu, tapi justru menambah beban pada sahabat-sahabatnya itu. Tangannya telah rapi di perban, sementara ia tidak akan bisa melakukan pekerjaan dan melanjutkan kerja bakti itu.
Ke delapannya mengambil tempat duduk dengan mengelilingi meja yang digunakan untuk meletakkan panci mie, memberi waktu jeda untuk beristirahat. Menikmati Ramyeon untuk makan malam mereka, setidaknya bisa mengisi energi kembali. Meski makanan cepat saji yang tidak sehat, tapi nyatanya mie instan sudah jadi budaya makananan paling favorit bagi kebanyakan warga negara ginseng ini.
"Benarkan, aku benar-benar bisa melihat masa depan." Ucap Junhoe membuka suara, membahas topik peristiwa. Menggabungkan kejadian yang baru terjadi, dengan ucapannya sebelum kejadian.
"Bagaimana bisa hal itu terjadi? Nasib baik tanganmu dan dapur Paman Yang tidak terbakar," Tambah Ji-Won, dengan mulut penuh mie yang baru ia seruput. Ia penasaran, tapi ia sangat lapar.
"Maafkan aku," Sesal Geu-Reum masih menyalahkan dirinya sendiri, wajahnya tertunduk sedih.
"Berhentilah, sudah berulang kali kau minta maaf. Makan saja!" Ujar Han-Bin sedikit meninggi,
Mangkuk kosong tersodor didepannya, yang di berikan Han-Bin. Hatinya sedikit tersentuh dengan sikap Han-Bin, walau terkadang kekanak-kanakan dan menyebalkan. Tapi, ia punya sisi manis sebagai seorang pria. Sejak tadi pria itu terus merawat dan membelanya, hatinya makin luluh untuknya.
Seulas senyum kembali terukir, Geu-Reum menemukan semangatnya kembali. Ia ambil sumpit yang tergeletak disamping mangkuk, lalu berusaha menjepit di sela ibu jari dan telunjuknya. Tapi gagal akibat perban ditangannya, mempersulit pergerakan tangannya. Tanpa sengaja, malah membuat sumpit itu terlepas dari genggamannya dan terjatuh.
Semua mata menyaksikan, tak ada yang bersuara dan hanya saling pandang. Hati mereka mencelos, sebuah rasa iba menyentuh pada satu-satunya sahabat perempuan mereka. Juga ada perasaan bersalah padanya, yang telah menyalahkannya tadi.
Bahkan Yunhyeong yang ingin mendiami Geu-Reum, karena masih belum menerima kejahilan gadis yang sudah lama menjadi sahabatnya itu. Tak bisa tahan lagi, semakin ia tahan dan abaikan. Dadanya sesak, walaupun Geu-Reum sudah ia anggap seperti teman pria. Tapi saat seperti ini, ia sangat terlihat sisi kewanitaannya. Sehingga ia juga tak bisa membiarkannya, ia pria sejati yang melindungi gadis lemah.
"Hah, ini membuatku frustasi." Geram Yunhyeong, diletakkannya mangkuk yang penuh mi belum ia sentuh. Lalu mengambil mangkuk Geu-Reum, mengisinya dengan kuah dan mi instan.
"Buka mulutmu," Imbuhnya sedikit memaksa,
Yunhyeong menyuapi Geu-Reum, membantunya yang sejak tadi belum mendapatkan makanannya. Rasa kesal dan amarah nya masih ada, tapi kepedulian pada sahabat mengalahkan semuanya. Ia tetap merasa kasihan, seakan ikut kesakitan dan iba melihat gadis berkacamata itu.
Hatinya selalu luluh, setiap ia melihat wajah murung atau sedih gadis itu. Meski seumuran, dalam lingkup persahabatan mereka. Geu-Reum adalah adik bungsu perempuan mereka, sehingga perhatian dan kasih sayang mereka akan selalu tercurahkan untuk gadis yang tak pernah mengikuti gaya berpakaian jaman modern itu.