Chereads / One Day Before Friday / Chapter 3 - Tidak Menyadari

Chapter 3 - Tidak Menyadari

Aku enggak tahu sejak kapan, yang jelas sampai sekarang cuma dua orang di kelas ini yang tidak aku sukai. Tentu sudah sangat jelas siapa.

Karel Genandra dan Bara Jayadi. Dua orang yang selalu membuat memori otakku menyimpan kebencian dan amarah.

Sebenarnya tidak bisa aku katakan benci sih, karena jika mereka tidak melakukan hal menyebalkan aku akan merasa biasa saja. Mungkin perasaanku terhadap mereka lebih cocok dikatakan emosi stadium 4 ya?

Mau tahu apa yang membuatku kesal hari ini? Tidak tertebak pastinya. Setiap hari ulah mereka ada saja.

Kemarin, saat wali kelasku, pak Hendrik memberi bimbingan wali kelas. Beliau mengubah posisi duduk murid-murid. Aku tidak tahu motifnya apa, yang jelas aku tidak begitu suka dengan posisi dudukku sekarang.

Sistem yang pak Hendrik berikan cukup ribet. Setiap tempat duduk digulir setiap harinya, misalkan hari ini aku duduk di dekat jendela pojok kanan paling belakang, besok aku harus pindah ke meja di sebelahnya. Begitu terus setiap hari.

Kata pak Hendrik, supaya setiap anak bisa merasakan duduk di setiap sisi kelas. Pernah mencoba duduk di paling belakang, tengah, bahkan di depan berhadap-hadapan dengan meja guru.

Untukku, ini tidak menguntungkan. Dulu tempat dudukku berada di posisi paling strategis di kelas ini dan aku bisa duduk tiap hari di sana. Aku bisa tertidur tanpa ketahuan, kecuali saat pelajaran biologi kemarin.

Yang paling membuatku merasa rugi adalah setiap pergeseran bangku dengan jarak 4 hari, Karel dan Bara akan duduk persis di belakangku.

Selama sebulan setelah diberlakukan sistem pergeseran bangku tiap harinya, Karel dan Bara bisa duduk di belakangku sebanyak 3 kali.

Hufffttt.. bayangkan, selama kurang lebih memutari 30 meja selama 30 hari, dua laki-laki itu duduk persis di belakangku. Ya walaupun derita yang kurasakan hanya sehari dalam seminggu, tetap saja rasanya menyedihkan.

Aku harus menerima kejahilan mereka yang lebih jahil dari hari-hari jika posisi duduk kami berjauhan.

Seperti yang kualami saat ini. Entah apa yang mereka lakukan di belakangku dengan botol air mineral di tangannya, yang jelas aku was-was kalau-kalau mereka akan melakukan hal aneh.

"Hasyimm!" Suara bersin dibuat-buat milik Karel yang kemudian disusul tawa Bara.

Bisa-bisanya mereka berisik saat seorang guru matematika sedang menulis di papan tulis. Murid lain mencatat dan memahami isi tulisan guru itu di depan, sedangkan dua anak ini malah ketawa-ketawa tanpa merasa mengganggu orang lain.

Aku mendengus kasar, mau menoleh dan memarahi mereka juga percuma. Yang ada nanti mereka malah menggangguku. Aku memilih diam, toh sekarang aku tidak terlalu dirugikan, hanya saja telingaku lelah mendengar suara mereka.

Sesekali Bara bercerita pada Karel. Menurutku, sedikit aneh saat mendengar kedua laki-laki itu sedang bercerita. Karena yang mereka bicarakan bukan seperti laki-laki kebanyakan yang biasanya membicarakan game, olahraga dan sebagainya. Yang ada justru mereka bergosip tentang perempuan di kelas sebelah yang dimusuhi teman-temannya.

Maksudku.. halo? Apa itu penting?

Aku mencoba tidak menghiraukan pembicaraan bodoh mereka. Tapi tetap saja, telingaku malah bandel dan terus mendengarkan obrolan mereka.

"Kemarin juga, aku lihat dia nggak istirahat bareng sama Noni. Padahal kan biasanya pulang bareng." Suara Bara yang terdengar di telingaku sekarang.

"Emang kenapa bisa dimusuhin? Ribet banget cewek pake musuh-musuhan segala." Jawab Karel, nada bicara nya terdengar geli di telingaku.

Serius deh, aku baru ini dengar laki-laki suka bergosip.

"Katanya sih karena dia kutuan haha." Bara tertawa ngakak disusul tawa Karel yang singkat namun padat. Dua laki-laki itu tertawa untuk hal yang benar-benar enggak penting.

"Terus katanya cara ngomongnya ngeselin. Hidungnya suka kembang kempis jadi dia dimusuhin." Bara kembali melontarkan kalimat yang menurutku tak masuk akal.

Yang benar saja? Masa iya gadis itu dimusuhi hanya karena hidung nya suka kembang kempis saat berbicara?

Dasar penyebar gosip murahan.

Eh sebentar. Untuk apa aku peduli?

"Mereka tuh nggak ada kerjaan apa ya?" Litta menyenggol sikuku.

Aku mengangkat kepala, menatap gadis itu lalu tertawa pendek. "Manusia-manusia kurang asupan gizi ya gitu." Kataku.

Aku tidak tahu kalau suaraku yang menurutku sangat pelan ini terdengar ke belakang.

Bangkuku didorong oleh kaki dari belakang. Aku tidak tahu kaki siapa, yang jelas lumayan kuat sampai posisi kursiku terdempet dengan meja. Aku malas menoleh, kudorong kursiku ke belakang lagi, ke posisi semula.

Sedetik kemudian, kursiku terdorong ke depan lagi. Kumundurkan lagi. Terdorong lagi. Kumundurkan lagi. Terdorong lagi.

Begitu terus sampai guru matematika, bu Fika menoleh dan menegurku.

"Kaira, kenapa sibuk sendiri mainin kursi dari tadi?" Tanya perempuan yang masih berumur 26 tahun itu.

Suaranya pelan, tidak terdengar seperti sedang memarahi. Tapi tetap saja, gara-gara anak di belakangku ini namaku jadi disebut.

Aku menoleh ke belakang. Menatap Bara yang duduk persis di belakangku. Laki-laki itu mengangkat bahunya, memberi isyarat bahwa ia tidak tahu apa-apa.

Demi kerang ajaib! Mukanya menyebalkan sekali sekarang.

"Enggak bisa diem apa?" Tanyaku kesal.

"Apaan sih? Aku diem aja dari tadi. Tiba-tiba noleh ke belakang marah-marah." Kata Bara, yang makin membuatku kesal.

Karel yang duduk di sebelahnya menarik senyum ke dalam. Seperti menahan tawa yang akan pecah.

Lelaki itu mengambil pulpen lalu bertingkah seolah-olah sedang fokus menyalin materi yang Bu Fika tulis di depan.

"Bu, Kaira ganggu terus nih bu." Kata Karel mengadu pada Bu Fika.

Guru matematika itu menoleh lagi ke arahku. "Kaira, ayo lihat ke depan." Katanya.

"Ini bu, mereka ganggu saya." Kataku sambil menatap Karel dan Bara dengan ekspresi kesal. Aku melihat kaki Bara yang berada di bawah kaki kursiku.

"Bara, Karel, Kaira, ayo dong. Sudah gede masa harus dimarahi dulu." Kata Bu Fika.

Aku medengus kesal. Gara-gara mereka aku ditegur Bu Fika juga.

Kubalikan badanku menghadap ke depan lagi.

Kudengar tawa bisik-bisik lagi dari Karel dan Bara. Bisa-bisanya mereka masih melanjutkan acara ketawa-ketawa enggak jelas itu.

Aku mengambil pulpen, mulai mengotori kertas buku matematika yang kosong. Bukan dengan materi trigonometri seperti yang ada di papan. Tapi dengan umpatan rasa sebalku.

Karel dan Bara orang paling pea!

Hiii liat mukanya aja sebel!

<><><><><>

Hari ini setelah pulang sekolah aku harus pergi ke ruang seni. Iya, karena hari ini ada ekstrakulikuler melukis.

Satu-satunya ekskul yang kuminati dan kubisa hanya melukis. Sebenarnya jika bisa, aku ingin masuk ekskul band. Tapi sayang, aku tidak bisa bermain musik atau bernyanyi. Bahkan, suaraku saat berbicara saja kadang fals.

Aku juga pernah kepikiran untuk masuk ekstrakulikuler bulutangkis, tapi aku terlalu malu karena rata-rata banyak gadis populer yang masuk ekskul itu. Dan, mereka satu geng. Bayangkan kalau aku masuk ke sana, aku mungkin seperti setetes minyak yang berada di kubangan air.

Langkahku menuju ruang seni terhenti saat seorang laki-laki tinggi tiba-tiba menghampiriku. Garis wajahnya tegas tapi halus, poninya yang lurus seperti poni Nobita nampak serasi dengan wajahnya.

Lelaki dengan Jersey bola berwarna putih itu berdiri di depanku. Wajahnya penuh dengan keringat, aku yakin dia sedang olahraga.

"Ini," katanya menyodorkan padaku es krim Mcflurry.

Aku mengangkat alis, bingung. Jelas saja bingung. Kenapa bisa dia tiba-tiba memberikan ini padaku.

Aku kenal laki-laki ini, dia kakak kelasku, Raka.

"Kenapa kak?" Tanyaku heran.

"Nggak papa, cuacanya lagi panas.." ucapannya terpotong karena napasnya yang terengah. "Jadi aku pikir enak kalau makan es krim di cuaca kayak gini." Lanjutnya.

Alisku mengkerut, aku tersenyum tipisĀ  dengan bola mata yang agak diperbesar. Senyumku benar-benar canggung. Aku bingung, apa yang kak Raka maksud.

"Ini," lelaki itu menyodorkan lagi es krim yang kubiarkan berada di tangannya yang menggantung sedari tadi.

"Ah.. tapi aku pikir kakak lebih perlu es krim itu." Kataku canggung. "Maksudku.." aku berhenti sejenak lalu menunjuk peluh keringat di wajah kak Raka. "Kak Raka kayaknya lebih kepanasan dibanding aku."

Kak Raka terdiam sejenak. Ia kemudian tersenyum lagi. "Nggak kok, punyaku udah ada. Ini." Dia menyodorkan lagi.

Aku jadi bingung harus apa. Untuk informasi saja, aku dan kak Raka tidak begitu dekat. Kami bahkan jarang berbincang di sekolah, jadi aku merasa sedikit aneh saat kak Raka tiba-tiba memberiku es krim seperti ini. Kami memang saling mengenal sejak aku masuk ekskul seni. Karena beberapa temannya masuk ekskul seni. Tapi sumpah deh, kami enggak sedekat itu sampai dia bisa memberiku es krim secara tiba-tiba begini.

"Nggak aku racunin kok es krimnya." Kata lelaki itu. Mungkin dia membaca wajahku yang bingung dan heran.

"Tapi kenapa ngasih ke aku? Random banget ya," Aku tertawa hambar sedangkan wajah kak Raka terlihat serius.

Bibirku mengatup. Tanpa sadar tanganku meraih es krim itu. Kak Raka tersenyum.

"Nah gitu dong. Selamat makan ya!" Katanya ramah.

Aku mengangguk canggung, "makasih kak." Kataku.

Lelaki dengan Jersey merah itu melambai lalu pergi ke arah berlawanan denganku. Sepertinya dia pergi ke lapangan outdoor sekolah. Aku menatap es krim itu. Sudah sedikit mencair.

Aku melanjutkan langkahku menuju ruang seni. Pintunya terbuka, seorang anak perempuan dengan rambut keriting keluar dari sana sambil mengipasi wajahnya.

"Aduh, AC nya pake mati segala." Keluhnya.

Aku mengangkat alis, "Kenapa mati?" Tanyaku.

Gadis itu menggeleng, "gatau, sekolah tuh mesti gitu. Giliran fasilitas buat klub seni pasti nggak diperhatiin." Omelnya. Oh iya, nama gadis ini Clara.

Clara mengipasi wajahnya lagi dengan kertas gambar. Ia lalu menatap ke arah tangan kananku yang memegang es krim.

"Bagiiiii.." kata gadis itu seraya berjalan maju ke arahku lalu menarik tangan kananku.

Aku sedikit kaget, hampir kanvas di tangan kiriku jatuh.

"Ini, ambil aja semua." Kataku menyodorkan es krim itu.

Clara terlihat tidak enak, mungkin dia pikir aku marah karena dia tiba-tiba menarik tanganku.

"Ah nggak jadi deh, Kai. Aku becanda aja kok." Katanya sekarang.

Aku tertawa singkat, "aku memang beneran nggak mau Ra, makanya nggak aku makan. Ini ambil aja." Kataku terus menyodorkan. Gadis itu tersenyum riang lalu memakan es krim dari Kak Raka.

Mataku menyelidik ke ruang seni yang masih sepi. Jam segini tapi anak-anak lain belum datang. Aku kemudin masuk ke dalam diikuti Clara.

"Pada kemana semua, Ra?" Tanyaku setelah menaruh kanvas di dekat lemari.

"Enggak tau tuh, kebiasaan pada ngaret mereka. Bu Syela juga terlambat, pasti masih gibah di warungnya mbak Mirna." Lontar Clara.

Aku manggut-manggut. Sambil menunggu anak-anak lainnya juga Bu Syela, guru lukis kami. Aku mengeluarkan buku sketsa juga pensil 2B.

Tanganku mulai menari di atas kertas putih ukuran A3 itu. Jemariku seolah hafal di mana harus kutekan pensil itu agar mengeluarkan sebuah garis simetris yang kemudian membentuk sebuah wajah dari seorang wanita.

Aku hanyut dalam imajinasiku sendiri. Merasa jika gambarku hidup. Wanita yang kugambar di bidang kertas itu seperti sedang tersenyum kepadaku.

Seolah kami sedang berbicara. Berbicara dalam ruang fantasi yang kadang berbenturan.

Aku mengambil penghapus yang berada di genggaman kiriku. Kuhapus coretan kasar di ujung mata yang membuat mata wanita itu tidak seindah imajinasiku.

"Heyo mamennn!!" Suara nyaring itu membuyarkan imajinasiku.

Dua perempuan dan tiga laki-laki berjalan memasuki ruang seni. Mereka teman-teman satu ekskulku. Sebenarnya ada banyak murid yang ikut ekstra ini, hanya saja jadwal disesuaikan dengan kelas.

Mereka seangkatan denganku. Ada Tera, Indri, Dennis, Yoel juga Gerry. Oh iya, ditambah Clara.

Yang berteriak dengan suara nyaring itu namanya Indri.

"Bu Syela masih gosip sama mbak Mirna?" Tanya Clara.

"Uhh, kayaknya nggak bakal kelar tuh acara gosipnya." Sahut Yoel sambil mengeluarkan peralatan melukisnya.

Gerry mencomot telur gulung milik Yoel sambil duduk di sebelahku. "Iya, panjang banget runtutan pergosipannya. Udah ngalahin episode tukang bubur naik haji." Lontarnya.

"Wih, bagus juga, Kai." Puji Gerry begitu melihat lukisanku. Buru-buru kututup buku sketsa itu.

"Iya, kalian kelamaan sih." Jawabku.

Sambil menunggu Bu Syela yang tidak kunjung datang, aku menggeser kursiku ke pojokan. Melanjutkan gambar yang belum selesai tadi.

Anak-anak yang lainnya masih sibuk berbincang. Mungkin hanya Yoel yang mulai meraut pensilnya dan mulai menggambar.

"Eh, yang ini menurutmu ganteng nggak?" Tanya Indri, entah pada siapa. Aku hanya mendengarkan dari pojok ruangan.

"Lumayan, itu temen sekelas Kaira bukan sih?" Begitu namaku disebut, aku tidak langsung menoleh. Paling tidak terlalu penting.

"Menurutku ya lumayan sih," kata Clara. "Emang kenapa, Ndri? Kamu suka sama dia?" Aku menyimak pembicaraan mereka.

"Temenku ada yang suka sama dia. Masa temen sekelas Kaira?"

"Iya kayaknya, ya nggak Kai?" Clara memanggil namaku.

"Kenapa?" Tanyaku tanpa menoleh, mata dan tanganku terlalu fokus pada kertas putih yang sudah mulai sempurna gambarnya.

Clara dan Indri berdiri dan berjalan ke arahku, Indri menyodorkan ponselnya dan menunjukkan sebuah foto yang tak asing.

"Kenal?" Indri bertanya serius.

Aku menurunkan bahu, kecewa. Kukira apa. Ternyata anak resek itu.

"Namanya siapa?" Tanya Indri.

"Tanya aja Dennis, dia kan satu ekskul juga di bulutangkis." Jawabku.

Dennis yang kusebut namanya langsung menoleh. Laki-laki yang memiliki lesung pipit itu berjalan mendekat sambil mengangkat alisnya yang tebal.

"Kenal siapa?" Tanyanya. Matanya melirik ponsel Indri, melihat foto anak laki-laki yang poninya diikat ke atas.

"Namanya siapa, Den?" Tanya Clara.

"Oh anak ini. Karel namanya."

Aku malas membahas Karel. Aku mulai fokus lagi menyelesaikan gambarku.

"Ih cocok banget!" Kata Indri girang.

"Kenapa?" Tanya Clara dan Dennis bersamaan.

"Temenku yang suka sama Karel ini namanya Karenina."

Aku mengerutkan kening. Apanya yang cocok?

"Karel dan Karen. Jangan-jangan mereka berjodoh, haha!" Indri terlihat begitu girang.

"Karenina? Wah, mereka kalau pacaran cocok banget. Ganteng dan cantik." Clara berkomentar.

Aku berdecih tanpa sadar.

"Ganteng dari mana coba?" Tanyaku pada mereka. Indri, Clara dan Dennis menatapku dengan ekspresi penasaran.

"Ganteng tahu!" Bantah Clara.

Aku kembali berdecih. Ya, meskipun semua orang menyebut Karel ganteng, dia bukan yang paling ganteng di sekolah ini.

"Terus yang ganteng di sekolah ini menurutmu siapa Kai?" Tanya Dennis padaku.

Aku terdiam sejenak. Setelah kupikir-pikir, tidak ada laki-laki yang menarik di sekolah ini. Minimal mirip Leonardo Dicaprio, enggak ada deh kayaknya.

Aku mengangkat bahu. "Aku nggak hafal wajah-wajah murid sini sih, jadi nggak bisa jawab." Kataku.

"Ih ganteng banget ya dia." Komentar Indri dan Clara.

Ternyata dua gadis itu stalking akun Instagram klub bulutangkis. Katanya akun Instagram Karel dikunci, postingannya juga nol.

Lagi-lagi aku merasa tidak setuju setiap Clara ataupun Indri menyerukan kalau Karel ganteng. Mereka enggak tahu aja kelakuan anak itu di kelas.

Kalau tahu, kujamin langsung menarik ucapannya deh!