Namaku fayra Hanania, aku hidup di keluarga yang terbilang kurang mampu. Ibuku seorang buruh cuci, sedang ayah beliau seorang pemabuk. Selain mereka berdua Aku juga hidup bersama adikku satu-satunya, Rena. Dia masih duduk di bangku SMP. Sedang aku, berada di bangku SMA satu sekolah dengan Rena. Kita hanya beda tingkatan. Oh ya Rena juga cukup populer disekolah, itu semua karena adikku yang rajin dan selalu mendapat peringkat 1 dikelasnya. Selain pintar adikku juga menawan. Kulitnya putih bak porselen, bibirnya pink alami. Berbeda denganku yang memiliki kulit hitam dekil tak terawat. Bukan karena apa, setiap malam aku selalu membantu ibu membuat kacang bawang. Paginya kubawa kesekolah untuk kujual dan kutitipkan dikantin serta di warung-warung. Hal itu yang membuatku tak memiliki kesempatan untuk merawat diri. Jangankan merawat diri, belajar dengan benarpun sangat sulit dilakukan. Aku pun jarang tidur membuat kantung mataku menghitam. Bisa dideskripsikan wajahku 11 12 dengan monster. Terkadang aku merasa iri pada adikku Rena yang selalu mendapatkan apapun sedang aku, meminta waktu untuk sekedar belajarpun tak diizinkan.
"Bu.. fayra cape. Besok fayra ujian praktek" ucapku ketika aku sedang membungkus kacang yang baru selesai digoreng kedalam plastik.
"Sekolah seharian udah cukup belajar, dirumah waktunya bantuin nyari duit" pungkas ibu tak menoleh padaku. Pandangannya hanya terfokus pada penggorengan.
"Tapi bu.." ucapku mencoba membantah, namun.
Prang!
Ibu melemparkan minyak jelantah diwajahku. Beruntung minyaknya tidak panas tapi bau amis sisa menggoreng ikan kemarin tercium jelas. Aku hanya diam tak bergeming.
"Nangis sana nangis yang kenceng!" Bentak ibu menendang semua kacang yang belum selesai ku bungkusi.
Aku diam, sedikitpun tak ada keinginan untuk menangis. Air mataku sudah terlalu sering kubuang hanya karena masalah seperti ini. Kali ini tidak lagi.
"Ibuk itu keterlaluan ya" ucapku gemetar.
"Mau apa kamu? Mau ngelawan? Iya?" Ibu berdiri menatapku. Akupun ikut berdiri. Kami saling bertatapan.
"Fayra cape!" Setelah mengucapkan itu akupun pergi menuju toilet untuk membersihkan diriku yang sudah kotor karena ibu.
Setelah beberapa menit aku keluar dari kamar mandi menuju kamarku. Aku duduk terdiam menatap kosong lantai kamarku iku. Terbesit dalam fikiranku untuk bunuh diri saja. Tidakkah ibu berfikir, aku ini seorang pelajar tugasku adalah belajar. Jika ingin dibantu mintalah secukupnya. Tugas utamaku belajar.
Aku keluar kamar mendapati ibu yang kerepotan membereskan kacang yang sempat awut-awutan dilantai. Jujur aku tak tega. "Buk.." sapaku. Ibu tak menoleh. Mataku melirik kompor yang sedang menyala. Aku terkejut mendapati semua kacang yang ada dalam bajana panas itu tergoreng hangus. Dengan cepat aku berlari mematikan kompor.
"Buk.. kacangnya!" Teriakku histeris. Ibu menghampiriku sedikit berlari.
"Kamu itu memang anak pembawa sial!" Tukasnya. Aku hanya menatap ibu nanar. "Seandainya kamu gak Dateng gak bakalan gosong gini. Besok apa yang mau dijual? Ha? Kamu mau dijual?" Lanjut ibu menunjuk-nunjuk wajahku seolah-olah akulah yang bersalah.
"Kamu mau dijual? Jawab!" Bentak ibu. aku hanya diam sedikit gemetar menatap matanya yang sedang diselimuti api amarah.
"Berani kamu ya" setelah kalimat itu ibu katakan tangannya menggenggam erat pergelanganku. Sakit! Itu yang aku rasakan.
Ibu menyeretku keluar rumah. Semua tetangga menatapku tak sedikit orang yang bergosip mebicarakanku. Oh ayoalah aku sudah SMA tapi ibu menghukum ku layaknya anak SD yang pulang telat kerumah.
"Ibu.. aku malu" ucapku mencoba menarik pergelanganku yang dicekal erat oleh ibuku.
"Biar saja biar semua orang tau kamu itu anak sial, gak guna" ucap ibu tanpa menyaring kalimat yang manusuk batinku. Dengan satu hentakan aku menarik tanganku dan berhasil.
"Ibu, denger baik-baik ya. Fayra ga pernah minta ibu buat ngelahirin farya. Fayra juga gak minta dikasi makan. Kalo tau gedenya kayak gini kenapa gak dari dulu aja fayra ibu bunuh. Gak sekalian ibu aborsi fayra waktu ibu hamil!" Ucapku tanpa jeda. Semua orang menatapku. Disepanjang Gg kecil semua tentangga mebicarakanku.
Plak!
Suara tamparan itu terdengar nyaring. Aku masih diam tak ada tangisan tak ada perlawanan dariku.
"Mau durhaka kamu ya? Ha?" Aku hanya tersenyum miris memegangi pipiku yang kebas karena tamparan keras ibu.
"Sini kamu!" Bentaknya yang kemudian menarik rambutku dengan asal-asalan.
"Ibu sakit" jeritku dalam hati. Ibuku menarik rambutku dengan paksa. Perlakuannya padaku sama seperti ibu tiri yang kejam. Percaya atau tidak sedikitpun tak ada keinginan untuk menumpahkan tangisku. Karena itu percuma. Ibu akan tetap menghukum ku. Bahkan ibu akan merasa puas jika aku menunjukkan kelemahan ku.
Pagi pukul 5.30 aku terbangun dari tidurku dengan badan yang remuk redam. Sakit disekujur tubuhku tak sebanding dengan rasa malu pada orang2 yang kemarin melihatku berlari menghindari ibu yang hendak memukuliku menggunakan kayu dengan api yang masih menyala diujungnya. Dan syukurlah pak RT datang menghalangi ibu meneruskan aksinya.
Aku bangun dan bersiap untuk mandi setelah itu aku pergi kesekolah sendiri. Karena Rena seperti biasa, diantar oleh ibu. Ku pandangi meja makan, Kosong. Bukan aku berharap ibu menyiapkan sarapan tapi. Dimana kacang yang akan kujual?. Seingatku kemarin ada sekitar 30 bungkus kacang yang sudah kubungkusi sebelum insiden itu.
Ah sudahlah mungkin ibu berniat untuk berjualan sendiri, pikirku.
Sesampainya disekolah aku dikejutkan dengan pak Aris, kepala sekolahku yang berlari mengejar ku setibanya dia memarkirkan mobil BMW kabanggaannya. "Fayra kamu ikut bapak keruang kepsek" ucap pak Aris setelah berada di depanku.
"Kenapa pak?" Tanyaku penasaran.
"Ada yang mau bapak omongin" singkatnya kemudian membimbingku untuk mengikutinya masuk ke dalam ruang kepsek tak jauh dari tempatku bertemu dengan pak Aris tadi.
Ini cerita pertama aku semoga kalian suka :)