Aku mencintai senja seperti aku mencintai malam. Senja memang datang untuk menghilang namun ia tetap hadir dipenghujung hari.
Dan aku juga mencintai malam layaknya aku mencintai senja sebab malam selalu menemani hingga tiba saatnya ia pergi.
~ Kanaya Adnandia
︶︿︶
Aku berlari lari di tanah lapang ditengah indahnya senja, menari nari dan tertawa bahagia. Aku adalah Kanaya Adnandia, orang biasa memanggilku Naya. Aku mencintai senja sebab ia terlalu indah untuk kuabaikan.
Aku menari nari memutar tubuhku di bawah sinar hangat senja.
Bruk!!
Aku yang tersungkur seketika memegangi kakiku yang terasa nyeri. Kulihat darah segar sedikit mengalir dari lututku.
"Aww!" pekikku memegangi lututku yang sedikit terluka.
"Lo nggak papa? Sini gue bantu berdiri," tanganya terulur membuatku mau tak mau mengapainya untuk mencoba berdiri.
Lelaki itu menuntunku untuk duduk di bangku panjang yang berada di tepi lapangan. Tersenyum ia memandangku sejenak kemudian mengulurkan tangannya.
"Gibran Ardiawan panggil Gibran aja," ucapnya tersenyum tipis.
"Kanaya Adnandia," jawabku tersenyum seadanya. Gibran menatap langit sejenak kemudian tatapannya berpindah pada Naya.
"Lo suka senja?" Naya menoleh sejenak sebelum akhirnya kembali menatap langit sore.
"Iya,"
Hening.
"Senja itu bikin gue damai walaupun kehadirannya cuma sejenak tapi dia janji bakal selalu hadir di penghunjung hari," Naya menatap Gibran teduh. Bibirnya melengkung menampilkan senyuman ramah.
Gibran mengangguk. Ia tersenyum tipis. Dilihatnya gadis di sampingnya yang masih asik menatap langit oranye.
"Udah mulai malam. Gue anter ya?"
"Gak us--"
"Sebagai permintaan maaf," ucapnya menyela. Naya mengangguk pasrah. Toh jam sudah menunjukkan angka lima lebih seperempat. Kalaupun ia menolak, ia pasti harus berjalan kaki sampai ke rumahnya.
Keduanya berjalan beriringan menuju motor Gibran. Naya memperhatikan lelaki di hadapannya. Manis, satu kata yang Naya gambarkan pada sosok di depannya ini.
"Alamat lo?"
"Gang Orchid nomor 2," Gibran mengangguk. Ia menaiki motor kemudian melirik jok belakang, meminta Naya segera naik.
"Duduk miring,"
"Eh?" Gibran menggeleng sebelum akhirnya menarik lengan Naya, membantunya merubah posisi.
"Tap--"
"Kaki lo sakit. Jangan banyak tingkah!" Naya mendengus kesal. Baru di puji sudah keluar sifat aslinya. Ia tidak habis pikir lelaki di depannya ini sungguh aneh. Mudah sekali emosinya naik.
Naya mengalah. Akhirnya di bawah sinar senja yang mulai meredup, keduanya duduk di tempat yang sama dan waktu yang sama. Motor Gibran melaju dengan tenang. Tidak ada suara dari keduanya kecuali deru motor yang sedang melaju.
Sampai di kediamannya, Naya menuruni motor secara hati-hati. Ia masih merasakan sedikit nyeri di lututnya. Sontak Gibran memegang bahu Naya, menopang berat badan Gadis itu supaya tidak terjatuh.
"Makasih," ucap Naya tersenyum walaupun harus menahan sedikit sakit di kakinya.
"Lo yakin? Mau gue antar ke rumah sakit?" tawarnya ramah. Naya menggeleng cepat.
"Nggak perlu. Makasih," ucap Naya sekali lagi.Gibran pun mengangguk sembari tersenyum hangat.
Gibran menunggu gadis itu memasuki rumahnya. Setelah dirasa beres, ia bergegas melajukan motornya membelah jalanan ibukota menembus dinginnya malam menuju rumah ternyamannya.
TBC.