Terlalu banyak yang bisa diceritakan mengenai sebuah keluarga, terlebih lagi keluarga yang dibuat berdasarkan kekuasaan dan harta.
Bahagia? Entalah, terlalu banyak orang yang beranggapan harta dan kuasa adalah suatu keharusan dalam mencapai kebahagiaan. Sayang sekali ketiga anak yang tumbuh dari keluarga dengan harta melimpah dan nasib baik harus merelakan kebahagiaan mereka yang terenggut waktu.
Dan dari sinilah, nasib ketiganya akan diceritakan kembali dalam untaian kata, kalimat dan paragraf.
-Juli 2020-
Masih terlelap di atas ranjang tidur dengan penutup mata, dentunam jam yang terdengar jelas yang menandakan kesadaranku pulih dari alam mimpi.
Melepas penutup mata yang selalu membantuku tidur belakangan ini, aku mulai memposisikan diri di atas kasur ini, hingga alarm yang berada di atas meja di samping ranjang berbunyi yang menunjukan pukul 7 pagi.
Belum ada sedetik setelah kegiatanku mematikan alarm,
Tok tok tok
Suara pintu diketukpun terdengar
Siapa lagi kalau bukan para maidku yang bertugas untuk menyiapkan semua kebutuhanku di pagi hari sebelum berangkat ke sekolah.
"Masuk"
Dan setelahnya, derap kaki dari tiga wanita berumur memasuki kamarku, satu diantaranya telah siap dengan nampan berisi segelas air dan dua lainnya datang tanpa membawa apapun
"Aku akan turun"
Dan di lantai satu inilah, aku berjalan ke salah satu ruangan yang menjadi tempat persinggahanku di pagi hari
Ruang olahraga
"Mama baru saja ingin mulai" Seorang wanita yang orang bilang mirip denganku mengucapkan kalimat itu sebagai kalimat sapaan untukku.
"Aku hanya berolahraga 20 menit, aku lupa menyiapkan alat sekolah tadi malam."
Tanpa menunggu respon orang lain yang ada di ruangan ini, akupun menaiki salah satu treadmill di ruangan ini.
Begitupun dengan wanita yang menyebut dirinya sebagai mamaku tadi, dia melakukan hal yang sama dengan beranjak, berjalan di atas treadmill, mengatur kecepatan dan mulai melakukan aktivitas olahraganya.
"Ini hari pertamamu di sekolah, kau akan melakukan penyambutan sebagai ketua OSIS bukan?"
"Hmm, aku sudah membicarakannya kemarin saat makan malam"
"Kau sudah mendaftar untuk ikut les privat lagi? Kau sekarang sudah kelas kelas 12, mulailah fokus pada nilaimu." Lanjutnya.
Akupun tidak menjawab lagi, hingga waktu di treadmill yang aku gunakan menunjukan menit ke 20, sehingga dengan cepat aku mematikan alat ini agar bisa pergi dari ruang olahraga.
Lebih tepatnya melarikan diri.
"Mulai hari ini kau akan diantar – jemput oleh supir"
Itulah kalimat terakhir yang mamaku ucapkan, sebelum aku benar – benar hilang dari hadapannya.
Kembali menuju kamar tidur.
Aku yang baru masuk langsung disuguhkan oleh beberapa maid yang membungkuk hormat di hadapanku "Air panasnya sudah siap nona." Ucap salah satu dari mereka
"Terima kasih"
Walaupun suasana hatiku sedang tidak enak, mengucapkan terima kasih kepada orang yang menolongmu seperti suatu kebiasaan untukku. Walaupun aku putri dari pemilik dan direktur rumah sakit sekalipun.
Di bathtub yang telah diisi air hangat dan pewangi. Dengan perlahan, akupun mulai menenggelamkan tubuhku ke dalamnya, tanpa menunggu waktu yang lama beberapa busa muncul kepermukaan air di sini.
Keluar dari kamar itupun, aku mengambil bathrobe yang telah disediakan di samping wastafel, dan beranjak keluar kamar mandi sembari menggerai rambut, sehingga rambut hitam panjang yang selama ini aku rawat mulai menutupi bathrobe bagian belakang.
Duduk di depan cermin, aku mulai membuka satu persatu lotion yang biasa kugunakan. Setelahnya, kupoleskan krim lotion itu ke seluruh permukaan tangan dan kaki jenjang yang kumiliki, sekitaran leher, dan beranjak ke wadah krim lain yang kugunakan di area wajah.
Sebelum melanjutkannya, ingatanku akan suatu hal mulai menghentikan kegaitanku tadi, yang sibuk dengan perawatan diri di pagi hari.
Aku melangkahkan kaki ke meja belajar yang terletak berlawanan dengan meja riasku tadi.
Smartphone yang sedari tadi diam di atas meja dengan keadaan sedang dicharger selalu menyala dengan menampilan notifikasi pesan di aplikasi Line
Mengabaikannya, akupun beranjak memasukan 1 buku catatan, kotak pensil, notebook, airpod, dan touchbag yang berisi alat make up ke dalam tas.
Sebelum kembali duduk, seseorang mengetuk pintu kamar ini.
"Permisi nona, nyonya Lidya menitipkan pesan agar nona sarapan sendiri sebelum berangkat nanti."
"Mamaku mau pergi?"
"Iya nona, dia hanya menyampaikan pesan itu untuk nona."
"Sudah tidak ada di rumah?"
"Sudah nona, nyonya Lidya menitipkan pesan setelah memasuki mobil tadi."
"Hmm, aku akan turun nanti. Tolong siapkan bekal untuk makan siangku seperti biasa."
Kegiatan ku berlanjut dengan 2 orang maid yang berdiam diri tadi mulai merias wajah dan menata rambutku.
Menuruni tangga dengan menggendong tas dan menenteng jas almamater dan membawa secarik kertas, dengan 3 maid yang berada di belakangku. Aku langsung beranjak ke arah ruang makan.
Di atas meja di ruangan itu, sudah tersedia segelas susu vanila, sepring roti dengan selai stroberi, dan di sampingnya, sepiring nasi goreng ayam dengan sayur juga segelas air dan tekonya telah menyambutku.
Tanpa bersuara, aku mulai meneguk air sebelum menyantap roti yang ada di hadapanku.
Hingga segelas susu habis, tidak ada suara yang keluar dariku maupun dari maid di sini.
Mengambil handphone yang tadi bersarang di saku jas alamater, aku mulai membaca beberapa artikel yang terbit hari ini sambil berjalan ke luar rumah menuju parkir.
Hingga mobil audi Q7 biru sudah terbuka untukku.
Melirik ke arah jam yang ternayata sudah menunjukan pukul 7.05. Dan waktu yang ditempuh dari rumah menuju sekolah sekitar 15 menit dengan mobil yang dikendarai supir keluargaku ini.
Setidaknya ada 40 menit lagi sebelum acara sekolah dimulai.
Hingga mobil ini berhenti, akupun tidak berniat menyentuh layar handphone untuk membaca pesan masuk.
Dari dalam mobil, hingga keluar tadi, aku bisa melihat dua mobil mewah lainnya berhenti di belakang ku, hingga masing – masing pria berumur membukakan pintu mobil itu, dua siswa laki – lakipun keluar dengan bersamaan dari mobilnya.
Bahkan setelahnya, mereka memanggil nama yang sama
"Nicelia!"
"Nicelia!"
Sebelum lanjut pada jalannya cerita di tahun 2020, biarkan kita mengingat kembali bagaimana ketiga anak remaja itu bertemu
Sangat jelas aku mengingat.... Ah sepertinya bukan hanya aku, Duta dan Dinanda juga pasti masih mengingat bagaimana pertemuan kami bertiga di acara malam itu.
-Februari 2007-
Nicelia, nama itu secara bergantian terlontar dari orang tuaku yang memperkenalkanku kepada beberapa orang yang sedari tadi menyambut kedatangan kami bertiga.
Ananda Deva Permana dan Lidya Ayu Prawita adalah nama orang tuaku. Dan nama belakang yang tersemat di namaku adalah nama belakang dari Mama.
Kami sedang memasuki halaman rumah yang lebih luas dari rumahku, sepertinya.
Walau umurku masih 5 tahun, aku sudah diajarkan bagaimana membalas salam hingga pujian orang – orang yang hadir di sini dengan senyuman dengan tata krama layaknya seorang putri bangsawan di zaman kerajaan dulu.
Acara ini dihadiri oleh puluhan orang penting di negara ini.
Di spanduk yang aku baca dengan susah payah tadi karena jaraknya lumayan jauh, aku menangkap kalimat 'selamat atas peresmian jabatan CEO Wisnu Pranata"
Dan akhirnya, aku dan kedua orang tuaku, di mana aku berada digendongan papa berhadapan langsung dengan orang yang fotonya berada di luar tadi.
Wisnu Pranata, dan Devi Pramesti.
Itulah nama paman dan bibi yang kemudian menyambut kedatanganku sekeluarga.
Bahkan papa menurunkanku dari gendongannya saat akan memulai pembicaraan pada dua orang dewasa ini.
Aku yang paham apa yang harus aku lakukan, kemudian mendekati sepasang suami istri yang sudah kuperkenalkan namanya tadi, meraih tangan paman Pranata dan mengucapkan, "Selamat malam paman, namaku Nicelia Prawita."
Hal yang serupa aku lakukan kepada istri dari paman Pranata. Lalu mereka tersenyum hangat atas perlakuanku.
"Dia masih muda, tapi benar – benar cantik dan anggun seperti mamanya." Tutur bibi Devi, atau mungkin lebih tepatnya nyonya Pranata?
"Jika diberi izin, aku akan mengangkatnya sebagai putriku." Lanjut paman Wisnu
"Kalian bisa mengambilnya sebagai menantu nanti, bukankah itu lebih baik?" Jawab Mama yang sekarang memegangi tangan kananku.
"Dimana putra kalian? Berapa umurnya sekarang?, sudah lama aku tidak bertemu dengannya." Papa juga mulai bergabung dalam pembicaraan ini.
"Tentu saja, kamu sibuk dengan urusan rumah sakit, Permata Houspitalkan sekarang menjadi satu – satunya rumah sakit dan menjadi rumah sakit terbaik di kota ini bahkan."
"Dia ada di atas, dia tidak bisa berada lama – lama dikeramaian, nanti akan ku antar dia ke hadapan kalian. Dia kan harus bertemu dengan putrimu Tuan Permana."
Begitulah percakapan yang aku tangkap dari obrolan mereka.
Setelah bercengkrama dengan beberapa tamu dan memperkenalkanku, aku meminta izin untuk berjalan ke luar gedung ini.
Setelah pelayan datang, akupun dituntun berjalan menjauhi keramaian.
Benar – benar menjauh dari kerumunan orang – orang. Hingga aku yang berjalan lambat mendapati dua orang yang rasanya umur mereka tidak jauh dariku sedang bermain gelembung.
Dengan pakian berjas yang sesuai dengan tubuh mereka, aku bisa memastikan mereka anak dari salah satu orang penting yang ada di dalam.
Iri sekali melihat mereka bisa bermain di sini.
Sebenarnya tidak mereka berdua yang bermain. Hanya satu orang yang meniup dan satunya hanya memperhatikan orang di sampingnya itu sambil merentangkan tangan ke atas seolah sedang menunggu gelembung yang tertiup tadi bertengger di telapak tangannya
Hingga si peniup gelembung tepat menatap ke arah tempatku berdiri, dan pandangan kamipun bertemu.
"Uh, ada orang lain yang ingin bergabung rupanya."
Diapun mendekat ke arahku.
Dan dengan tiba – tiba, anak laki – laki ini menyeretku ke tempatnya tadi, dan melarang dua pelayan yang menjagaku tadi untuk ikut.
Dan di sinilah kami bertiga, aku dan dua anak laki – laki tadi saling berhadapan.
"Siapa namamu gadis manis?"
"Kau putri dari siapa? Umurmu berapa?"
Itu lah pertanyaan yang terlontar dari dua anak laki laki berjas hitam ini.
Akupun mengulurkan tangan layaknya orang yang mengajak berkenalan.
"Namaku Nicelia Prawita. Putri dari Deva Permana dan Lidya Prawita, umurku lima tahun."
Salah satu dari mereka, tepatnya laki – laki yang tadi menyeretku lalu meraih tanganku dan menjabatnya.
"Namaku Dinanda Pratama, kau bisa memanggilku Dinan, dan dia Duta." Tuturnya sambil menunjuk ke arah anak laki – laki lain dengan dagunya.
"Hei kita berdua lebih tua darimu, kita seumuran dan umur kita 7 tahun." Lanjutnya.
"Kita akan menjadi teman dan kakakmu, kau mau kan?"
"Dari tadi ibu cari, ternyata kamu di sini. Oh, ada Dinanda dan Nicelia juga."
Begitulah awalnya aku bisa mengenal bahkan tumbuh bersama dengan 2 anak laki – laki bernama Dinanda Pratama dan Duta.
Berbeda dengan Dinanda, Duta memiliki sifat yang tidak mudah bergaul, bahkan denganku sekalipun. Namun seiring berjalannya waktu, aku yang sering menemani Duta untuk melakukan hobinya jika Dinan tidak sempat kemudian membuat anak itu bisa dekat denganku sama halnya seperti kedekatan dirinya dan Dinan.
Bahkan setelah ini, aku seolah menjadi putri dari tiga keluarga. Karena saat kita di luar pada malam pertemuan pertama, orang tua kami ternyata melakukan reuni di dalam.
Kita bertiga adalah anak - anak yang tumbuh bersama dengan kesamaan, besar kasih sayang yang tulus dan penuh tuntutan.
Sesekali, mama dan papa akan mengajakku berkunjung di akhir pekan dengan membawaku ke rumah mewah keluarga Pranata dan di saat yang sama tuan Wahyu Pratama, ayah Dinanda dan putranya berada di rumah itu juga.
Atau aku dan Duta yang mengunjungi kediaman keluarga Pratama.
Jarang Duta dan Dinanda yang pergi ke kediamanku. Mungkin dia tidak betah dengan rumah yang isinya dua orang dewasa yang bekerja di rumah sakit dan sedikit terdapat mainan untuk laki – laki.
Aku bahkan suka berpikir apakah mereka berdua tidak ingin mencari teman lain di luar sana jika kita sedang bersama.
Saat masuk sekolah dasar, aku mengambil percepatan hingga melangkahi 2 kelas. Sehingga aku bisa seangkatan dengan Duta dan Dinan.
Jadi kita bertiga bisa sering menghabiskan waktu bersama hingga remaja.
Di saat orang tua sibuk membicarakan urusan mereka ketika keluarga kami berkumpul, kami bertiga sibuk dengan menghabiskan waktu bermain yang tidak kami dapatkan di hari – hari biasanya.
Bukan tanpa alasan, kita akan mengikuti kelas musik, melukis, olahraga, berbagai bahasa asing bahkan belajar tata krama di luar belajar pelajaran sekolah.
Ingin protes dan membangkang? Tentu kami bertiga punya pikiran seperti itu, tapi tidak ada gunanya melawan orang – orang dewasa yang menuntut kesempurnaan pada anaknya dengan dalih memperisapkan mereka sebagai penerusnya kelak.
Jadilah kami bertiga tumbuh dengan kehidupan yang sungguh membosankan. Walaupun orang – orang bermimpi terlahir di keluarga kaya, mungkin mereka akan menyesal jika mimpi itu terwujud.
Karena banyak tuntutan dari konsekuensi terlahir ataupun menjadi kaya.
Salah satunya, kita tidak bisa menjadi apa yang kita mau, dan melakukan hal – hal yang kita suka.
Hingga 13 tahun berlalu, kami bertiga kemudian benar – benar menjadi lebih dewasa karena telah usai memasuki fase remaja.
Di tahun 2020 ini, kamipun menjadi yang terunggul dalam bidang masing – masing. Namun tetap memiliki satu kesamaan
Yaitu menjadi nakal tetapi tetap elegan, dan
Bernasib buruk.