Chereads / Greentea Latte / Chapter 4 - -4- Masa Kelam Ghirel

Chapter 4 - -4- Masa Kelam Ghirel

Ghirel Sananta, seorang gadis cantik dengan pesonanya yang kuat. Anak pertama dari pasangan Dricko Sutomo dan Raila Anastasya. Dia memiliki seorang adik laki-laki yang memiliki usia tak jauh darinya, Junco Arjuna. Namanya memang terdengar unik persis seperti sifatnya.

Ghirel bukan gadis famous dengan kecantikan bak Dewi Yunani. Dia hanya gadis cantik yang sulit bergaul dengan banyak orang. Gadis itu menutup diri semenjak kecelakaan yang menimpa ayahnya tiga tahun yang lalu. Kehidupan Ghirel berkecukupan sampai dimana tuhan mengambil nyawa ayahnya. Sekarang, gadis itu harus membiayai sekolahnya sendiri untuk membantu Bunda Raila.

Ayahnya dulu adalah seorang supir dari keluarga kaya raya. Bunda juga menjadi pengasuh untuk anak keluarga tersebut. Keluarga itu bukan keluarga angkuh seperti di sinetron, keluarga bosnya malah keluarga yang hangat dan memperlakukan mereka dengan sangat baik. Hingga suatu saat, mereka tiba-tiba diharuskan untuk pindah tanpa alasan yang jelas. Ayahnya membawa Ghirel ke luar kota lalu memiliki pekerjaan baru sebagai supir taxi.

"Baru pulang kak?" tanya Raila membuyarkan lamunan Ghirel yang sedang mengingat tentang kenangan bersama ayahnya.

"Kalo kakak belum pulang terus ini siapa?" Ghirel mencium tangan Raila, lalu berjalan menuju kamarnya yang terletak tak jauh dari pintu utama. Tanpa disadari, bunda mengekor dibelakangnya.

"Kakak gak capek kerja part time terus?kalau Kakak mau berhenti, ga apa-apa kok, Bunda bisa nafkahin kalian," entah sudah berapa kali Bunda Raila berkata demikian. Wajar saja, orang tua mana yang tega saat melihat anaknya selalu pulang larut malam hanya untuk menafkahi dirinya sendiri?

"Kakak senang Bun, jadi Kakak gak ngerasa capek. Bunda tidak usah merasa bersalah seperti itu," Ghirel berganti pakaian lalu menuju kamar mandi mencuci muka. Bunda masih setia mengekor dibelakang sana seperti anak ayam yang mengikuti induknya.

"Kakak yakin?" Tanya Bunda Raila memastikan.

"Yakin Bun," Ghirel mengangguk mantap lalu mulai memasuki kamar mandi.

"Ya udah, Sana sholat isya, makan terus langsung tidur. Gausah belajar!" teriakan Bunda dapat terdengar hingga ke telinga Ghirel yang sudah berada dikamar mandi.

Dan dengan segera mungkin, Ghirel menjawabnya. "Siap Bunda!" balas Ghirel dengan sedikit berteriak.

Ghirel melakukan semua yang bundanya perintahkan. Ia mandi, sholat isya, makan, lalu bersiap akan tidur. Baru saja Ghirel merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, pintu kamarnya diketuk seseorang membuat Ghirel mendengus kesal.

"Kak?Junco mau ngomong." terdengar suara Junco dari luar membuat Ghirel menatap sinis pada pintu kamar yang sudah terkunci.

"Itu udah ngomong'kan?" balas Ghirel dengan berteriak. Ghirel mulai memejamkan mata namun tetap mendengarkan apa yang adik laki-lakinya katakan.

"Ih kakak, Junco serius nih!" terdengar nada kesal dibalik pintu membuat Ghirel terkekeh kecil.

"Kakak juga serius Jun,lewat chat aja kakak males buka pintu,"

"Dasar cewek," Ghirel bisa mendengar Junco mencibirnya.

Dengan langkah yang berat dan disertai hati yang berat juga,mau tidak mau Junco kembali ke kamarnya untuk mengambil hp yang sialnya tertinggal disana.

Chat-

JUNCO : Kak, Jun minta uang:')

GHIREL : Buat apaan?

JUNCO : Beli buku matematika :)

GHIREL : Kemaren'kan udah Jun-_

JUNCO : Kemarin matematika wajib, sekarang matematika minat, pelajarannya Bu Tasya. Kayak gak tau aja kalo gak beli LKS gak boleh masuk kelas.

GHIREL : Enak dong, gak usah beli aja mending Jun.

JUNCO : TERSERAH KAKAK AJALAH.

GHIREL : SINI KE KAMAR, KAKAK SELIPIN UANGNYA DIBAWAH PINTU.

JUNCO : Tau gitu gak usah pakai chat bego.

Junco mulai mengelus dadanya saat emosinya sudah sampai ditenggorokan. Ingin sekali Junco memotong-motong seluruh tubuh kakaknya lalu membuangnya begitu saja ke tempat sampah. Namun, itu semua hanyalah wacana yang tak akan menjadi nyata.

***

Matahari malu-malu akan terbenam menyembunyikan dirinya. Hangat sinarnya sama seperti senyuman seorang gadis di dalam cafe. Dia Ghirel, pekerja paruh waktu yang sedang tertawa bersama dengan pelanggan di sana.

Seperti biasanya, di akhir pekan Ghirel menjalankan tugasnya sebagai pekerja fulltime dan saat hari biasa dia bekerja part time di Cafe yang sudah seperti tempat tinggal keduanya. Semua pelayan chef disini mengenal baik gadis itu. Apalagi tingkah laku ceroboh Ghirel yang sudah seperti berita langganan pada setiap minggunya membuat Ghirel semakin terkenal bahkan hingga kalangan pengunjung sekalipun.

Ghirel tertawa hangat kepada beberapa pelanggan yang sudah mengenalnya. Tak jarang beberapa pelanggan teramat baik hingga memberikan Ghirel makanan atau sekedar menggoda Ghirel saat tidak ada tugas melayani para pengunjung membuat rasa lelah Ghirel menghilang begitu saja.

"Selamat datang," sambut Liana, penjaga pintu yang tugasnya memang menyambut para pengunjung yang datang.

"Apakah sudah reservasi tempat kak?" lanjutnya.

"Gak perlu," pelanggan tadi menjawab dengan dingin membuat Liana merasa dongkol karena tidak mendapatkan respon baik dari pemuda itu.

Liana jelas lebih tua daripada pelanggan tadi, wajar jika Liana merasa terhina saat ini. Namun, mengingat pekerjaannya membuat Liana hanya tersenyum dan membiarkan pelanggan itu melewatinya bahkan tanpa menatapnya sedikitpun.

Afka- pengunjung tadi mengenakan kaos hitam polos di di tubuh atletisnya sehingga menampilkan otot-otot perutnya yang diidam-idamkan banyak orang. Pemuda itu melanjutkan langkahnya menuju meja di taman belakang cafe. Diliriknya sebentar ke arah tulisan smooking area. Pemuda itu memilih tempat dibawah pohon rindang, ini sudah menjadi tempat favoritnya setiap kesini.

Afka memang sangat sering ke cafe ini. Afka merasa, tempat ini adalah tempat terbaik yang membuat pemuda itu bisa merasakan sedikit ketenangan atas hadirnya sang gadis.

Ia mengambil seputung rokok dari dalam saku celananya, beserta pemantik api berwarna hijau. Sebelum rokok tadi berhasil mendarat ke mulutnya, tangan Ghirel lebih cekatan untuk merebutnya meskipun Ghirel harus merelakan tangannya yang serasa akan melepuh mengingat rokok tersebut sudah terbakar.

"Cowok model kayak lo gak cocok sama yang namanya rokok," ujar Ghirel sembari menginjak rokok tersebut lalu menarik kursi yang berada di depan Afka dan duduk di sana.

Mata laki-laki itu melotot melihat rokoknya diinjak begitu saja,"Tega lo sama gue, itu masih hutang bego."

"Lo banyak duit beli rokok aja hutang, gimana sih!" balas Ghirel.

"Salah siapa warung kecil gak bisa pakai kredit," Afka membela dirinya sendiri sembari mengambil rokok keduanya.

"Bisa gak sih sehari gak usah ngerokok? enek gue liat lo ngerokok di sekolahan," kata Ghirel.

"Ck, gak usah sok ngatur hidup gue," Afka berdecak.

"Gue pacar lo jadi gue ada hak buat ngatur lo," Ghirel yakin pipinya sudah memerah menahan malu karena seakan-akan dirinya seperti kebanyakan perempuan yang mengejar Afka dengan mengakui dirinya adalah kekasih Afka.

"Cuman pacar aja belagu lo!" Afka tak melirik sedikitpun ke arah Ghirel. Namun, percayalah ekor mata Afka menemukan luka bakar di telapak tangan gadis itu membuat hatinya merasa, khawatir?

"Siniin semua rokoknya!" Ghirel mencoba menarik rokok Afka menggunakan tangan kanannya, namun bukan rokok laki-laki itu yang ia dapatkan melainkan sebuah genggaman hangat dari Afka yang dirinya dapatkan. Ghirel merasa dunia berhenti beberapa detik sebelum kesadarannya kembali dan menarik paksa tangannya.

"Luka," ujar Afka datar seraya membuka paksa tangan Ghirel yang mengepal. Dan benar saja ada sebuah luka baru disana membuat Ghirel hanya bisa menunduk malu.

"Bukan urusan lo " Ghirel mencoba menarik tangannya namun usahanya nihil karena kekuatan gadis itu tak sebanding dengan kekuatan Afka.

"Urusan gue," balas Afka datar dengan tatapan yang masih setia kepada luka Ghirel. Ghirel hendak menjawab namun, kaliman selanjutnya yang keluar dari bibir Afka membuat Ghirel bungkam seketika.

"Kan lo pacar gue katanya," ujar Afka.

"Cuman pacar aja belagu lo!" Ghirel membalas ucapan Afka dengan nada yang sama persis seperti yang Afka ucapkan kepada Ghirel.

Afka berdecak lalu mengambil sebuah salep dari dalam sakunya dan mulai mengoleskannya pelan ke luka kecil Ghirel. Gadis itu mengeryit saat Afka beberapa kali meringis seperti kesakitan. Heran, bukankah seharusnya Ghirel yang melakukan itu?

"Dapet darimana lo?" tanya Ghirel yang merasa ingin tahu mengapa laki-laki di depannya itu membawa salep bakar tersebut.

"Tadi Fran tangannya terkena wajan, terus gue beliin. Eh, ternyata dia udah punya dirumah. Setan emang!" jelas Afka membuat Ghirel menganga saat melihat Afka mengoceh panjang di depan sana.

"Oh," hanya itu balasan yang dapat keluar dari bibir Ghirel setelah melihat Afka berkata lebih dari 5 kata kepadanya. Biasanya, laki-laki itu benar-benar irit terhadap sebuah kata.

"Terserah lo mau ngerokok atau enggak. Yang jelas jangan ngerokok di depan gue," Ghirel menatap luka yang baru saja diobati oleh Afka. Ada sedikit perasaan lega di hatinya.

"Gue gak minta lo di depan gue,"

"Gue yang mau,"

"Terserah," jika biasanya kata ini diucapkan oleh perempuan, saat ini Afka yang mengucapkan kata keramat ini disertai dengan menyimpan kembali rokok nya kedalam saku celana.

"Gue pesen minuman yang enak disini," ujar Afka membuat Ghirel mendesah pasrah menyadari bahwa statusnya disini hanyalah seorang pelayan. Ghirel melenggang pergi memenuhi ucapan Afka yang menjadi pelanggannya saat ini.

Sebenarnya, Afka sering kemari namun, entah kenapa Ghirel merasa tak sedikitpun berminat untuk mendekati atau sekedar bertanya kepada pemuda yang notabenya adalah kekasihnya saat ini. Beberapa kali Ghirel juga melihat Afka merokok, membawa seorang gadis, atau bahkan hanya berkumpul bersama teman-temannya.

"Jasoooon!" Ghirel bergelayut manja pada lengan Jason yang menjadi chef disini. Umur Jason lebih tua darinya sehingga Ghirel menganggap Jason sebagai kakak laki-laki. Hal itu membuat Ghirel tak sungkan untuk bermanja-manja dengan Jason.

"Greentea again, babe?" tanya Jason menyadari raut wajah murung nampak di wajah Ghirel saat ini yang artinya gadis itu sedang kesal. Jason selalu menawari Greentea saat gadis itu mulai stress, marah, ataupun sedih.

"Huft, inget Afka? Yang sering gue ceritain? yang biasa mesen Vanilla Latte. Yang hampir tiap hari datang kesini?" Jason dicerca banyak pertanyaan oleh Ghirel membuat laki-laki itu gemas lalu mengacak rambut Ghirel.

"Kenapa?" tanya Jason menyadari raut wajah gadis itu berubah menjadi sendu.

"Pengen cerita tapi panjang. Nanti aja deh," Ghirel nyengir kuda lalu dihadiahi jitakan oleh Jason yang kesal seketika karena merasa dipermainkan.

"Jadi, mau pesen apa Nyonya?" tanya Jason dengan penekanan pada setiap kata. Sedangkan Ghirel hanya terkekeh pelan.

"Greentea original 2!" Ghirel menunjukkan jari tengah dan telunjuknya sehingga membentuk simbol peace .

"Gak dikasih Vanilla latte aja tuh orang?" yah, Jason mengerti jika Afka berada disini saat mendengar cerita keluh kesah Liana kepada dirinya.

"Enggak. Enakan Greentea!" Ghirel tetap kepada pendapatnya.

"Selera orang'kan beda-beda Jie!"