Chereads / Greentea Latte / Chapter 3 - -3- Senyuman Cantik

Chapter 3 - -3- Senyuman Cantik

Pemuda itu menguap saat netra matanya merasakan sebuah cahaya melesak masuk melalui celah jendela. Ia duduk lalu mulai mengucek matanya dan berusaha membiasakan diri dengan cahaya terang tersebut. Diliriknya jam yang berada di nakas sebelah kirinya,baru pukul 06.15 pagi.

Kehidupan Afka Fedrick nyaris sempurna. Memiliki wajah tampan rupawan yang membuat para gadis berteriak histeris saat melihatnya. Tak hanya gadis-gadis seumuran, para wanita yang berusia lebih tua darinya tak absen dari jajaran orang yang jatuh ke pesona itu sendiri. Otak jenius yang dimiliki seakan menambah kata 'sempurna' pada kehidupannya. Tubuh yang atletis, dan harta yang mencukupi berhasil menjadi daya pikat untuk semua kaum hawa. Afka bagaikan badboy tampan pada dunia penuh cerita.

Sayangnya, kesempurnaan itu tidak menjadi sempurna jika mengingat perihal kondisi keluarganya. Afka hancur setelah ditinggal ibunya yang menikah kembali, memilih bersama selingkuhannya dibanding papahnya.

Pemuda itu bangkit dari tidurnya kemudian memasuki kamar mandi dan mulai membersihkan diri dan berganti pakaian. Saat dirasa sudah mantap dengan penampilannya, ia menyambar tas yang berada di atas meja belajarnya lalu mulai melenggang keluar kamar.

"Pah, Afka berangkat dulu ya!" seperti biasanya, Afka berteriak saat hendak memasuki mobil kesayangan yang selalu ia bawa kemana-mana.

"Hati-hati Boy!" sahut papahnya dari dalam rumah.

Sesampainya di sekolahan, Afka tidak ke kelasnya. Seperti biasanya dia berbelok menuju kantin untuk sarapan terlebih dahulu di Kedai Bude Yuni. Masakan Bude Yuni memang sudah terkenal mantap di sekolahan ini. Bude Yuni adalah janda beranak satu yang sangat supel. Dia mengenali hampir semua siswa di sekolahan ini, tak heran jika tempatnya tak pernah sepi pelanggan.

Melihat Afka yang duduk di depannya, Bude Yuni memukuli laki-laki itu dengan pelan sembari berkata, "masuk kelas belajar! belajar! bukannya ke kantin dulu!"

Afka mengaduh kesakitan. Hal ini memang sering terjadi karena Bude Yuni sangat peduli terhadap laki-laki tersebut.

"Afka udah pinter gak perlu sekolah, gak perlu belajar juga," katanya sembari mengusap bekas pukulan Bude Yuni.

"Terus ngapain kesini kalau gak perlu sekolah?" tanya Bude Yuni.

"Cari jodohlah!" jawab Afka dengan percaya diri.

Bude Yuni menepuk jidatnya sembari melangkah menuju dapurnya lalu membuatkan Afka nasi goreng ayam kesukaannya. Setelah pesanan Afka siap, dia mengantarkannya dan menemani Afka makan seperti biasanya.

Bude Yuni memberi nasihat,"Kalau kamu sekolah gak benar, mau dikasih makan apa jodoh kamu nanti?"

Afka dengan entengnya menjawab,"Kan Afka kaya raya."

"Ngakunya kaya raya, makan disini utang," gumam Bude Yuni.

"Itu gara-gara Afka gak punya uang cash, rekening Bude mana? biar Afka transfer aja!" Afka ngomel tidak jelas.

***

Selesai makan di kantin, dia sejenak menenangkan pikirannya dengan beberapa batang rokok. Tidak ada satupun guru yang berani menegur Afka di sekolah ini karena kepala sekolah yang mata duitan. Dia sangat baik kepada siapapun yang melibatkan uang dalam sebuah permasalahan, tidak terkecuali dengan Afka yang hartanya melimpah bahkan bisa membuatnya bertahan hidup sampai tujuh keturunan. Namun, sebanyak apapun hartanya, tetap saja hutang kas dikelas sudah sebesar anak krakatau.

"Bude mau nanya boleh?" tanya Bude Yuni tiba-tiba.

Afka hanya mengiyakan sembari menghisap rokok di tangannya.

"Afka mau sampai kapan ngerepotin Bude? Setiap hari para cewek korban sakit hati Afka selalu datang dan ngoceh enggak jelas. Bude kayaknya punya dosa gede banget sampai harus ngurusin percintaan kamu juga," keluh Bude Yuni yang hanya ditanggapi sebuah tawa kecil oleh Afka. Tidak hanya sekali Bude Yuni berkata seperti ini, tetapi hampir setiap hari. Dan jawabannya dia tau sendiri.

"Oh iya, kamu benci sama cewek,"

Afka membenci kaum hawa bukan tanpa alasan. Jika biasanya seorang perempuan akan membenci laki-laki karena telah disakiti, begitupun dengan Afka. Bahkan, perempuan yang menjadi cinta pertamanya sekalipun ia benci sekarang. Benci karena dia tidak mampu menjaganya dengan baik. Afka selalu menghindar saat dia mulai mendekat, dia mengartikan rasa takut kehilangan lagi sebagai rasa benci.

Selesai dengan beberapa batang rokok, ia baru akan ke kelas lalu mengikuti pelajaran seperti biasanya. Tidak bisa dibilang mengikuti pelajaran sebenarnya karena yang ia lakukan adalah tidur dan bertengkar dengan guru.

Disepanjang koridor, Afka kewalahan menghadapi para kekasihnya. Beberapa meminta untuk ngedate romantis, dinner, bahkan melakukan hal yang tidak pantas. Ada juga yang memberikan beberapa hadiah,lumayan untuk menyogok bendahara kas agar Afka tidak perlu bayar.

***

"Heh curut! Lo sebenarnya jadi Romeong nya Julelet apa jadi malaikat mautnya sih? Datar amat mukanya!" tegur Ghirel. Adegan dimana Romeong menggombal kepada Julelet untuk mendapatkan hatinya bisa menjadi adegan Romeong nyaris mengambil nyawa Julelet karena muka tajam Afka yang sangat setia terpasang pada wajah tampan tersebut. Ghirel geram karena sudah mengulang adegan itu puluhan kali dan hasil nya tetap sama. Gagal.

"Hm," balas Afka datar.

"SENYUM Afka!" Mohon Ghirel dan lainnya kompak.

"Lo boleh nyuruh gue apa aja asal jangan senyum," Afka masih teguh pada pendiriannya. Ya, sudah sedari tadi laki-laki itu disuruh senyum namun jawaban yang keluar dari bibir pemuda itu masihlah sama.

"Ya ampun Af, cuman senyum doang. Gini nih, cissss." Ghirel kesal karena Afka benar-benar kolot hingga akhirnya Ghirel harus mengajarkan Afka tersenyum.

Ragu-ragu, Afka mencobanya. Menirukan apa yang Ghirel praktekan tadi. Entahlah, sudah berapa lama dirinya tidak tersenyum lebar semenjak semua masalah yang ia alami dengan ibunya. Senyum yang dulu selalu hadir di bibirnya mulai saat itu seakan sirna dan menjauh begitu saja seperti terbawa angin yang berhembus cepat dan tanpa arah tertentu.

"Gini heh?" senyum terpaksa tersungging di bibirnya membuat Ghirel semakin kesal dengan Afka yang sesegera mungkin mengubah raut wajahnya kembali menjadi datar.

"Ya enggak gitu juga kali Mas! Yang ikhlas dikit kek senyumnya, gini nih!" Ghirel tersenyum, setelahnya ia tertawa menyadari kekonyolannya mengajari sosok es batu itu untuk tersenyum.

"Cantik," gumam Afka, dan tanpa ia sadari senyum tulus terukir jelas di bibirnya. Bagaimana bisa Afka baru menyadari bahwa senyuman Ghirel masih sama seperti dahulu kala? Bahkan, rasanya lebih manis dan sangat Indah membuat Afka akan kecanduan dengan senyuman tersebut.

"Nah gitu! Oke ulang yah!"

Kringg, kringg.

Bel pulang sekolah berbunyi. Siswa-siswi sudah seperti akan demo meminta kenaikan gaji. Ramai, dan mau tidak mau Ghirel dan kawan-kawan memutuskan untuk berhenti terlebih dahulu.

"Aw!" Ghirel menekan perutnya diam-diam namun, tanpa sadar ada sepasang mata menatapnya dengan khawatir.

"Maag lo kambuh Jie?" tanya Tzuwi yang perlahan mendekati sahabatnya itu.

"Enggak kok, gue gakpapa tadi cuman ketusuk sabuk aja," jawab Ghirel dengan sebuah senyum simpul.

"Yakin lo?" Tzuwi memastikan.

"Iya Tzuwiku sayang,"

"Ya udah gue balik duluan yah, bye Ghirel!"

Seperti biasanya, Ghirel pulang terakhir. Saat ini, gadis itu sedang sibuk membolak balik kertas naskahnya dan menandai mana saja yang harus ia take ulang.

"Makan!" sebungkus nasi goreng tiba- tiba saja ada di depannya. Ghirel agak terkejut karena Afka yang memberikannya. Iya, Afka. Kekasihnya bayangannya.

"Eh?" Ghirel masih belum sadar. Mulutnya bahkan sudah menganga sempurna membuat wajahnya terlihat seperti orang bodoh walaupun kenyataannya memang begitu.

"Makan!, malah bengong," Afka meletakkan sebungkus nasi goreng tadi ditangan Ghirel lalu pergi begitu saja menyisakan Ghirel dengan jantung berdebar dan juga pipi merona.

Sikap Afka terlalu dingin, sedingin hati Ghirel dulu yang sudah mengikis akhir- akhir ini karena tingkah laku Afka yang selalu berhasil membuatnya terpanah asmara meskipun ia selalu menyangkalnya.

"Jantung gue maraton masa?" gumam Ghirel kepada dirinya sendiri.