"Manusia tidak bisa hidup sendiri. seperti bunga, akan mati jika tak ada matahari dan hujan".
Tring!.
Tring!.
"Caca!, matiin alaram nya!"
Gadis dengan rambut basah sehabis mandi itu berdecak pelan, namun tak lantas tangan nya mematikan jam weker di atas nakas. Ia menatap gadis dengan rambut sebahu yang masih bergelung manja di atas ranjang.
"Catrin, Catrin anastasya! lo nggak ada kelas hari ini?" tanya Mischa atau kerap di panggil caca sambil menarik selimut yang membungkus tubuh sahabatnya.
"Hmm, nggak ada. Kelas gue siang" racau Catrin dengan suara serak khas bangun tidur.
"Yaudah, ayo sarapan. Kayaknya udah pada nungguin di bawah."
Catrin mengucek kedua matanya tampak ia masih sangat mengantuk. "Duluan aja, Gue mau ke kamar mandi" ucapnya kemudian melenggang pergi memasuki kamar mandi.
Mischa menatap malas pintu kamar mandi yang sudah tertutup, ia mengambil tas dan sebuah buku di atas meja belajar.
Jam masih menunjukkan pukul 06.30, hari ini ia ada jadwal kelas pagi. Mischa menuruni tangga dengan bersenandung ria, tak lupa tas di bahu nya. Tampak ke-empat sahabat nya sudah duduk mengelilingi meja makan dengan rapi.
"Selamat pagi!" sapa Mischa pada keempat gadis dengan penampilan berbeda-beda itu.
Karina alondra dengan baju kantor nya, Eva anandita dan Ananda Faera seperti diri nya sudah rapi untuk berangkat kuliah. Berbeda dengan Alina bramantyo yang masih mengenakan piyama tidur berwarna biru.
"pagi"
"juga"
"Mischa"
"putri"
"Ananta"
Catrin yang baru saja bergabung ikut menimpali, membuat Mischa terkekeh pelan. Ia sudah terbiasa mendengar sapaan pagi seperti itu dari kelima sahabat nya.
Mischa adalah gadis asal Surabaya yang merantau ke jakarta untuk melanjutkan pendidikan di salah satu universitas ternama di Jakarta, begitu juga ke-empat sahabatnya.
Mereka tak sengaja menemukan rumah tingkat dua ini yang menawarkan kosan putri, ternyata milik Karina. Karin menawarkan harga yang sangat cocok untuk kantong mahasiswa seperti mereka.
Setelah satu tahun lebih satu atap mereka ber-enam semakin dekat. Tak di sangka, Karin sosok yang humble dan mudah bergaul, mungkin Faktor umur mereka yang tak terpaut jauh.
"Kakak ngantor hari ini?" tanya Eva karena ia sudah menghabiskan sarapan. Mischa meneguk separuh air putih nya lalu ia dan Fae menatap Karin dengan penuh harap.
"No, No!" tolak Karin tegas mengerti maksud ketiga sahabat+adik angkatnya itu. Ia adalah anak tunggal dari keluarga cukup berada. Namun, naas. Kedua orang tua Karin turut meninggal dalam kecelakaan pesawat beberapa tahun yang lalu.
Karin merasa sangat kesepian, dirumah besar ini hanya seorang diri. Sewaktu orang tuanya masih hidup mereka hanya memperkerjakan dua orang satpam, urusan rumah tangga di pegang penuh oleh almarhum mama Karin.
Karena merasa kesepian Karin memutuskan untuk menyewakan kamar kosong sebagai kosan putri dengan harga terjangkau. ia tidak berniat mencari penghasilan, ia hanya ingin rumahnya ramai seperti dulu, toh, rumah ini mempunyai banyak kamar.
"Kakak!" panggil mereka dengan nada merajuk. Meskipun usia mereka tak terpaut jauh, namun mereka akan tetap menghormati Karin sebagai seorang kakak.
"Ya,ya,ya. Cepat masuk mobil"
"Yeyy!!, Kak Karin emang terbaik!" pekik mereka sambil bertos ria. Mischa sangat mengenal wanita itu, ia tau karin sangat mudah di rayu.
Menghela nafas, entah mengapa Karin sulit sekali menolak permintaan sahabat-sahabatnya .
"Fixs uang jajan gue utuh!"
"Akhirnya, gue nggak perlu naik angkutan umum."
"Kak Karin, anterin sampai depan kelas ya!!" pekik Fae terkikik geli.
Suara samar-samar itu masih terdengar di telinga Alina dan Catrin, mereka saling melempar pandang.
"Temen lo, mau nya gratisan mulu" cibir Catrin sambil melahap roti tawar dengan selai nanas.
"Temen gue, temen lo juga bambank!" ketus Alina malas.
"iya juga si."
Alina mengendikkan bahu acuh, ia dan Catrin memang tidak ada kelas pagi. Alhasil mereka berdua bertugas membersihkan rumah hari ini. Itu adalah perjanjian mereka sejak awal.
Berbeda dengan Karin yang bekerja setiap hari. Jadi, ia akan membersihkan rumah saat hari libur.
"Hoaam, gue mau lanjut tidur dulu ah" gumam Catrin sambil beranjak.
"Ehh, enak aja, lo kira gue babu. Cepet beresin!, gue mau siram bunga" omel Alina berkacak pinggang.
Gadis dengan baju tidur berwarna merah itu menyengir lebar. "Please, gue ngantuk banget Lin. Lo nggak liat nih mata gue". Memang benar tampak kantong mata Catrin menghitam. Namun, Alina tak mengindahkannya, alasan itu sudah sering ia dengar.
"Gue nggak peduli, salah lo sendiri. suka nonton film tengah malem."
"Jahat!, dasar emak nggak pengertian!" pekik Catrin menghentak-hentakan kakinya.
"Bodo amat."
******
"Makasih kakak cantik!" seru Mischa melambaikan tangan.
"Dah....,ati-ati kak"
"Oke, belajar yang bener. Jangan pacaran Mulu" Ketus Karin dengan nada menyindir dari dalam mobil, tak ingin mendengar umpatan sahabatnya ia segera menancap gas meninggalkan perantaran universitas itu.
Refleks Mischa memegang dada nya, "Kok kayak ada yang retak ya?"gumamnya dengan wajah polos.
"uch, uch, untung perasaan gue udah mati" cibir Fae mengelus dada nya sendiri.
Eva terbahak tak kuasa melihat wajah melas kedua sahabatnya itu. "Udahlah, gue tau kak Karin cuma bercanda. Mendingan sekarang kita masuk kelas, gue pengen nyalin tugas" tutur Eva di setujui ke dua temannya.
Mischa melotot kaget saat sebuah notifikasi masuk dan terpampang jelas di layar ponselnya. "What?! sial, padahal gue udah bangun pagi" gerutu nya menatap kesal ke arah ponsel berwarna gold itu.
"Kenapa ca?"
"Dosen gue nggak dateng, berarti tiga jam lagi gue baru ada kelas" adu Mischa dengan wajah kesal.
Fae mencubit pipi cubby Mischa yang tampak mengembung hingga sang empunya mengaduh kesakitan.
"Fae, sakit tau!" decak Mischa mengelus pipi nya yang memerah.
"HAHAHA! abis lo gemesin, jadi pengen nabok" ledek Fae.
"udah ah, gue sama Fae mau ke kelas dulu" ujar Eva melenggang pergi.
"Betul. ehem, Btw, Raka ngeliatin lo terus tuh" bisik Fae sebelum tubuh nya di seret Eva menuju kelas.
Mischa mengalihkan pandangannya, tampak seorang laki-laki dengan jaket bomber berwarna biru gelap tengah menatapnya, ia tak mengerti.
Sering kali kakak tingkat nya itu memperhatikan Mischa secara diam-diam. Bukan ia tidak mengetahui, hanya saja Mischa mencoba mengacuhkannya.
Jujur, laki-laki yang sering di ceritakan Fae, di kenal sebagai Georgi Raka purnama kakak tingkat mereka, cukup tampan. Sayang, Mischa sudah mempunyai kekasih hati sendiri, dan dia harus menjaga nya.
"Sayang"
Mischa tersentak kaget saat sebuah tangan mengacak rambut nya pelan.
"ishh, aku kaget tau." kesal Mischa mengerucutkan bibir.
"hahaha. Lagian kenapa melamun, hm?" tanya Reyno elvian, pacar Mischa.
Reyno merangkul pundak gadis yang lebih pendek dari nya itu, Mischa tak menolak sama sekali.
"Tuh kan, ngelamun lagi. Kenapa sih?" protes Reyno menoel hidung Mischa, ia sungguh penasaran tak biasanya Mischa melamun.
Gadis itu menggeleng pelan, "kamu nggak ada kelas?" tanya Mischa menatap pria yang tengah merangkulnya itu, pria yang sudah satu tahun ini menemaninya.
"Hmmm. kalo kamu?".
"Loh, kok kamu malah nanya balik?".
"Jawab aja sayang." gemas Reyno lagi-lagi mengacak pelan rambut Mischa.
Banyak pasang mata menatap mereka iri, jika perempuan maka ia iri karena Mischa sangat beruntung mempunyai kekasih tampan dan kaya seperti Reyno. Jika mereka laki-laki maka ia iri karena Reyno sangat beruntung memiliki gadis secantik dan sepintar Mischa.
"Huft, Dosen aku nggak masuk, kayaknya aku bakal ke perpustakaan. Soalnya Fae sama Eva udah masuk kelas, jadi aku sendiri" jawab nya lesu.
"Yaudah."
Mischa mengernyit tak mengerti, "yaudah apa?"
"Yaudah aku temennin, jangan ke perpus, aku males. Pasti kalo ada buku, aku di cuekin. Gimana kalo ke cafe? Yang deket-deket kampus aja." tawar Reyno menarik turunkan alis nya.
Mischa seketika memicing curiga, "nggak.nggak. Pasti kamu ada kelas kan? Pliss Rey, fokus sedikit sama kuliah kamu. Aku nggak mau masa depan kamu jelek cuma karena aku." Nasehat Mischa pelan, pasal nya ia sangat mengenal kekasih nya itu.
"Ca...."
"Kali ini aku nggak mau dengar alasan."
Reyno kembali merapatkan mulut, ia mengangguk pasrah tak ingin kekasihnya bertambah marah. "Aku ke kelas tapi kamu jangan dekat-dekat sama laki-laki lain, apalagi selingkuh. Kamu di perpus aja, nanti pulang nya bareng aku" oceh Reyno seperti menasehati anak kecil.
Ia cukup was-was dalam mengawasi Mischa sebab kekasihnya termasuk bunga kampus ini. Jadi, tak heran Reyno begitu possesif pada nya.
Mischa tegelak pelan, "Siap pak bos. Udah sana, dah.." Mischa melambaikan tangannya.
Seperti yang dikatakan Reyno, Mischa akan menunggu di perpustakaan. Ia memang senang membaca, buku apapun itu, baik fiksi maupun non fiksi. Menurut Mischa membaca itu menyenangkan, bukan hanya menambah ilmu, membaca juga mampu merifress otaknya.
Beberapa jam kemudian setelah mata kuliah yang memusingkan, "Ken, Lo liat deh. Caca semakin hari, semakin cantik aja, ya? coba gue belom punya Eva, pasti udah gue tikung tuh si Reyno" celetuk Kevin sambil menatap ketiga gadis yang tengah duduk di pojok kantin.
Saat ini Kevin, kenzie, dan Raka memang tengah berada di kantin. Sebenarnya Kevin dan Kenzie ingin sekali bergabung dengan ketiga gadis itu, tapi mereka cukup setia kawan, karena satu dari mereka masih menjomblo.
"Dih!, Mana mau Caca sama sosis kayak lo. Mendingan gue, udah ganteng, tajir, baik lagi" tutur Kenzie angkuh.
Kevin melotot tak terima, "Wah, mulut Lo minta di jahit Ken. Gue aduin Fae baru tau rasa lo!"
Byurr
"Anjir..., Selaw dong bro, ini muka , bukan wastafel!" kesal Kevin mengusap wajah nya kasar setelah menjadi korban semburan maut Kenzie.
"Lo?!, Awas aja sampai ngadu ke cewe gue" ancam Kenzie sambil merenggangkan otot membuat Kevin bergidik.
"Cewe sama cowo , sama-sama galak" gumam Kevin pelan.
"APA?!!"
"Buset, itu kuping apa silet, tajem amat" batin Kevin panik.
Tak!
Tak!
Kenzie dan Kevin mengerang kesakitan, saat Raka memukul belakang kepala mereka.
"Gila, otak gue langsung encer" celetuk Kevin asal mengusap belakang kepalanya.
"Satu tambah satu."
"Dua."
"Pinter, anjir.." beo Kenzie kagum.
Raka menghela nafas lelah melihat tingkah gesrek kedua sahabat karib nya itu. Manik nya tak beralih sedikit pun dari gadis imut yang tengah memakan semangkuk bakso.
"Kau tak mengerti, seulas senyum itu sangat berarti bagi seseorang. Dan orang itu adalah aku."
"Hah?, Lo ngomong apa ka?" tanya Kenzie, ia seperti mendengar Raka menggumamkan sesuatu.
Raka tak mengindahkan pertanyaan Kenzie. Ia beranjak pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun membuat kedua temannya mengernyit bingung.
"Lah, itu anak ngapa?" heran Kevin menatap punggung Raka yang semakin menjauh.
Kenzie menggeleng tak mengerti, "akhir-akhir ini gue merasa aneh sama sifat Raka. Contoh nya kayak tadi, apa dia ada masalah ya?" ujar Kenzie berspekulasi karena Raka tak biasanya seperti itu.
"Hmm..bener juga, mungkin dia lagi sakit gigi" celetuk Kevin asal.
"Gue serius, Sosis!!"
Rasa-rasa nya Kenzie ingin membogem wajah sok polos Kevin, pria itu tak pernah serius jika di ajak bicara masalah apapun.
Terlebih lagi kebiasaan aneh Kevin, Kevin merupakan manusia penggemar makanan berbahan dasar daging giling. Dalam kamus hidupnya, tidak ada sosis, berarti tidak makan. Jadi, wajar saja jika otak pria itu sedikit lambat.
"Buset, itu si Reyno udah nempel aja, kayak perangko" tunjuk Kevin pada sepasang sejoli yang sedang tertawa.
"Samperin yuk?" ajak Kenzie yang langsung di setujui Kevin.
Fae lagi-lagi menghela nafas, sudah muak melihat kemesraan sepasang kekasih di depan nya ini. "Gue merasa jadi jomblo lagi" sedih Fae sambil menopang dagu.
"Apalagi gue, merasa jadi nyamuk kebon" tambah Eva mendesis sinis.
Tak memperdulikan umpatan dan cibiran Eva dan Fae, Mischa tetap saja menyantap bakso nya dengan santai. Mungkin karena Reyno yang terus mengelus rambut nya pelan.
"Hey, boleh gabung nggak?"
Wajah kedua gadis itu seketika berseri, "Boleh lah!" Jawab Eva dan Fae kompak, bagaimana tidak?, Akhirnya kedua laki-laki pujaan hati mereka datang. Kenzie dan Kevin terkekeh pelan melihat kekasih mereka begitu semangat.
Eva langsung menarik Kevin untuk duduk di samping nya, "Yang, kamu kemana aja?, Di telfonnin nggak di angkat, pesan aku di baca doang, huft.." rajuk eva, namun tak hayal ia bergelayut manja dengan Kevin.
"Uch..uch...uchh, kenapa? ada yang jahatin kamu? siapa, coba bilang sama aku.." tanya Kevin angkuh, menepuk-nepuk pelan puncak kepala Eva.
"Lebay, Lo sosis!!"
"Eugh..gue langsung kenyang" tambah Mischa menjauhkan mangkuk bakso nya.
Eva mendelik tajam, "sirik aja tetangga." cibir nya, menjulurkan lidah.
"Dih, amit-amit".
Kenzie yang duduk bersebelahan dengan Fae memiringkan tubuh. "Fae, kamu nggak kangen sama aku?" goda Kenzie menoel-noel tangan kekasihnya itu.
"Nggak!"
"Tapi tadi semangat banget pas aku dateng" ucap Kenzie mencoba sabar.
"Pura-pura aja."
Kenzie menjatuhkan kepala di atas meja, nasib mempunyai pacar yang cuek juga galak seperti, Fae.
Fae mengedarkan pandangan seperti mencari seseorang, "loh, Raka nggak ada? Biasanya kalian selalu bertiga" heran gadis itu.
"Tuh!, Orang lain di cari. Pacar sendiri malah di cuekin. Sebenarnya pacar kamu aku apa Raka si?!" kesal Kenzie mencebik.
Gadis itu menyeringai samar, "Pengennya si gitu. Tapi yang suka sama aku sahabatnya, bukan Raka"
Lagi-lagi Kenzie kalah telak jika berargumen dengan kekasih nya. Ia mendesah malas, wajah nya ia sembunyikan diantara lipatan tangan.
Fae terkikik geli, berhasil menggoda Kenzie, "Kamu udah makan?" tanya Fae penuh perhatian mengelus-ngelus rambut hitam Kenzie.
Tampak tubuh rileks Kenzie sedikit menegang. "Belum."
"APA?!"
Bukan, bukan Kenzie yang menjawabnya, melainkan Kevin yang sudah berlari membawa Eva, sebelum ia juga kena semprot kembaran kak Ros itu. Kenzie hanya menutup telinga untuk berjaga-jaga.
"UDAH BERAPA KALI AKU BILANG?!, JANGAN TELAT MAKAN, KAMU, ITU PUNYA MAAG!" teriak Fae menggelegar. Membuat semua pasang mata menatapnya sinis tak jauh beda dengan Mischa. Untungnya Reyno segera menutup telinga nya, mungkin jika tidak, gendang telinga Mischa akan pecah.
"Kevin sialan!, Cewe gue jadi ngamuk di sini!" batin Kenzie amat kesal.
"APA LO LIAT-LIAT, MAU GUE COLOK TUH MATA!" ancam Fae serius, mereka bergidik ngeri, siapa yang tidak mengenal Fae.
Gadis cantik dengan tubuh tinggi semampai, terkenal dengan mulut ketus dan kegalakan melebihi ibu-ibu rumah tangga. Yang sayangnya, kekasih seorang Kenzie aldebaro, pria kaya dengan tampang di atas rata-rata. Jika sudah seperti ini Mischa pun memilih untuk diam.
"Sayang, Jangan gitu. Malu di liatin sama anak-anak. Nanti aku makan kok" ucap Kenzie memelas.
"Aku nggak peduli, cepat makan!" Ketus Fae menyodorkan sepiring nasi goreng nya yang masih utuh, meskipun sudah dingin.
Kenzie hanya mengangguk pasrah, meskipun tidak berselera, ia tetap menyendokan nasi goreng itu ke dalam mulutnya.
Reyno bersyukur, Mischa tidak seperti Fae yang senang membentak, ia menatap Kenzie dengan prihatin.
"Gue sama Caca, balik duluan ya?" pamit Reyno beranjak, sambil menggandeng tangan Mischa.
"Hmm, oke. Ati-ati Ca.." pesan Fae, sambil menatap Reyno yang menaikkan sebelah alis nya.
Sedangkan Kenzie, hanya mengangkat jempol, masih fokus melahap nasi goreng Fae.
Saat ini Mischa sedang berada di dalam mobil Reyno.
"Ca, emang temen kamu segalak itu ya?" tanya Reyno memecah keheningan.
Mischa tiba-tiba tertawa geli, mungkin Reyno orang ke seratus yang bertanya seperti itu kepadanya.
"Kamu lihat sendiri tadi kan? Jadi, menurut kamu gimana?" tanya Mischa balik.
"Galak banget...." Reyno menaikkan sebelah alis saat Mischa mengikuti ucapannya.
"Kenapa?, Karena itu pertanyaan dan jawaban yang orang tanyain tentang Fae ke aku" jelas Mischa memutar bola mata malas.
"HAHAHAH! emang bener temen kamu galak".
"Aku tau."