Chapter 10 - Ekor

Jovan mematung. Berdiri menghadap dinding kamar Elish. Wajahnya lesu penuh penyesalan.

"..." Elish diam.

Elish duduk di atas tempat tidur dengan tangan bersila. Gadis itu memandangi punggung Jovan.

"Ekhm!" Elish berdehem kecil.

"Kemari kau."

Jovan menoleh. Menatap Elish penuh arti. Pria itu berjalan pelan menuju Elish dan kemudian berdiri dengan kepala yang terus tertunduk di depan Elish.

"Sudahlah. Berhenti memasang wajah lesu seperti itu. Aku yakin kau tidak sengaja tadi." Ucap Elish.

Gadis itu mengangkat tangannya dan membelai lembut surai hitam Jovan.

Jovan mendongak. Wajahnya berubah ceria. Sebuah senyuman terulas di wajahnya. Demikian juga Elish. Gadis itu tersenyum manis seraya menurunkan tangannya.

Sejak kapan mereka seakrab ini?

Semalam.

Ya. Semalam.

Pertemuan nyata pertama mereka.

~~ flashback on ~~

"Jadi.. bisa kau jelaskan apa yang sebenarnya sedang terjadi?" Elish buka suara setelah Jovan tenang.

Mereka berdua duduk berhadapan di atas tempat tidur Elish.

Jovan mengangguk.

Pria itu menjelaskan panjang lebar mengenai ia yang tiba-tiba lepas dari tubuhnya. Lalu kemudian bertemu dengan seorang wanita (Egha) namun ia lupa nama wanita itu. Ia juga menjelaskan mengenai hal yang akan menimpanya jika tidak segera kembali ke tubuhnya seperti yang Egha katakan. Semuanya dia jelaskan.

Kini Elish paham.

"Kemarilah." Ucap Elish yang kini terbaring dengan tangan kanan yang menepuk bantal di sisi kirinya saat melihat Jovan kembali menangis sesegukan.

"Kau ini memang bebal ya. Kemari." Elish meraih lengan kiri Jovan dan menarik pria itu untuk berbaring di sisinya.

Elish tersenyum lembut dan menatap mata Jovan. Jovan masih sibuk menangis sambil berbaring dan juga menatap Elish.

"Tenanglah. Aku akan membantumu kembali." Ujar Elish seraya memeluk tubuh Jovan. Jovan balas memeluknya.

Keduanya menutup mata.

Elish tidak lagi takut pada tubuh transparan Jovan. Bahkan ia lebih mengeratkan pelukannya.

Dalam tidurnya, Elish berpikir kenapa ia mau bertindak seperti ini pada orang yang bahkan tidak ia kenal sama sekali. Terlebih lagi Jovan adalah seorang pria. Bagaimanapun pria tetaplah pria. Tapi Elish merasa Jovan berbeda.

Entahlah. Elish tidak mau memusingkannya sekarang. Ia berpikir masih banyak waktu untuk memikirkan hal itu. Gadis itu memilih untuk menenangkan pikirannya dan akhirnya tertidur pulas dengan tangan yang terus memeluk Jovan.

Kedua makhluk itu melewati malam yang gelap dengan tubuh yang terus berpelukan hingga pagi yang cerah tiba.

~~ flashback off ~~

Elish meraih tas sandang dan ponselnya. Ia menatap Jovan.

"Aku harus ke kampus."

"Lalu kau... bagaimana?"

"Kutinggal?"

"Atau kubawa?"

Elish terus bertanya sambil menatap Jovan.

Jovan tampak berpikir.

"Aku ikut." Putus Jovan.

"Kau serius? Bagaimana jika orang-orang melihatmu dan mengira kau adalah hantu yang menempeliku?" Tanya Elish khawatir.

"Jangan khawatir. Aku tidak masalah. Bahkan jika mereka melempari aku garam, aku akan baik-baik saja." Ucap Jovan sambil tersenyum miring saat mengucapkan kalimat 'melempar garam'.

Mendengar perkataan Jovan, wajah Elish mendadak menjadi semerah tomat. Ia teringat akan kelakuan konyolnya tadi malam.

Berarti dia menyaksikannya semalam. Bodohnya aku..! -  Pekik Elish dalam hati.

Jovan terpingkal melihat wajah Elish.

"Teruslah tertawa. Lalu cari orang lain untuk membantumu kembali." Ucap Elish enteng seraya bangkit dan meninggalkan kamar.

Menyadari kesalahannya, Jovan berhenti tertawa dan mengejar Elish.

***

"10.59. Nyaris saja aku membunuhmu." Demikian kalimat yang keluar dari mulut Eva setelah melihat Elish duduk santai di hadapannya. Tidak lupa dengan Jovan yang terus mengikuti Elish dan kini berdiri di samping gadis itu. Hanya saja Eva dan seluruh orang yang ada di kantin Fakultas Seni tidak ada yang bisa melihat Jovan. Kecuali Elish.

"Mana dua orang itu?" Tanya Elish tanpa menghiraukan ucapan Eva.

"Toilet." Jawab Eva singkat seraya menghabiskan jus apelnya.

Elish hanya ber-o ria lalu memainkan ponselnya dan sesekali melirik ke arah Jovan. Gadis itu tidak terlalu menghiraukan keberadaan Jovan. Bukan karena tidak peduli. Ia hanya tidak ingin menarik perhatian orang. Dan juga, ia takut dipikir... gila. Lagipula, Jovan juga sepertinya tidak keberatan. Ia lihat Jovan hanya diam dan menatap sekeliling kantin itu.

Elish melirik sudut ponselnya.

"Aku masuk kelas dulu. Kalau mau pulang duluan, duluan saja." Ucap Elish seraya berjalan meninggalkan Eva yang sibuk memainkan ponsel tanpa menunggu jawabannya.

Eva hanya diam menatap kepergian Elish dan kembali memainkan ponselnya.

***

Apa dia tidak lelah?

Elish terus bertanya-tanya dalam hati. Gadis itu menatap Jovan yang sedang berdiri di samping meja dosen.

Seorang pria paruh baya yang merupakan salah satu dosen di kampus itu sedang menerangkan materi kuliah di kelas Elish saat ini.

Namun bukannya fokus pada materi, Elish malah fokus pada Jovan yang kian berjalan mendekat ke arah dosennya.

Kedua alis Elish bergerak. Menciptakan kerutan di antara kedua alisnya yang hampir menyatu.

Dia... mau a-

"Hmph!" Gadis itu menahan tawa melihat tingkah Jovan. Ia menutup mulut dengan tangan kirinya.

Beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang duduk di dekat Elish meoleh dan menatap heran gadis itu. Elish menyadarinya. Ia berusaha untuk mengontrol wajahnya dan bertingkah senatural mungkin.

"Loh? Tembus? Bagaimana mungkin?" Tanya Jovan sambil menatap telapak kedua tangannya.

Pria itu baru saja melakukan hal yang tidak sopan. Ia hampir saja menggenggam kepala gundul dosen yang asik menerangkan itu dengan kedua tangannya, namun untungnya tangannya tembus.

"Loh? Kenapa? Ini aneh." Keluhnya karena percobaan keduanya menyentuh kepala dosen itu gagal.

"Ini... tidak benar." Ucap Jovan lalu kembali mencoba menyentuh kepala dosen itu. Dan ternyata gagal, lagi.

Jovan menyerah. Wajahnya cemberut. Ia berpaling menatap Elish yang sedari tadi sudah memerhatikannya. Jovan memilih untuk meninggalkan dosen itu dan berlari menuju Elish.

Elish gelagapan saat Jovan tiba-tiba duduk di sampingnya. Ia melihat sekeliling. Aman. Tidak ada yang melihat ke arahnya. Itu artinya tidak ada yang bisa melihat Jovan.

"Syukurlah..." Bisik Elish lega.

"Kenapa?" Tanya Jovan penasaran dan dibalas gelengan kecil oleh Elish.

Jovan tidak memperpanjang. Ia membiarkan gadis itu fokus pada mata kuliahnya. Tidak ingin mengganggu Elish, akhirnya Jovan melipat tangannya di atas meja dan meletakkan kepalanya di atasnya. Pria itu memejamkan matanya. Menunggu hingga jam mata kuliah Elish yang menurutnya membosankan berakhir.

***

Jovan terus mengikuti Elish kemanapun gadis itu pergi. Ke kelas, kantin, bahkan toilet. Layaknya sebuah ekor yang terus menempeli sang empunya tanpa henti.

"Apa kau harus mengikutiku sampai ke dalam sini?" Tanya Elish yang kini berdiri berhadapan dengan Jovan di dalam salah satu toilet kampusnya.

"Keluar!" Perintah Elish.

"Oke." Turut Jovan. Pria itu keluar dengan cara menembus dinding toilet. Ia berdiri di depan toilet menunggu Elish selesai dengan urusannya yang gadis itu sebut 'panggilan alam'.

***