Chapter 3 - Bebas

Wusshh..

Jovan berlari-lari di koridor rumah sakit. Saat melewati seorang wanita berjas dokter, ia terjatuh. Jika saja wanita itu tidak pandai dalam menyeimbangkan tubuhnya, mungkin ia akan jatuh bersamaan dengan Jovan dan menimbulkan pertanyaan orang banyak. Jovan dan wanita itu sama-sama merasa terkejut.

"Apa yang kau lakukan?! Kenapa kau berlari-lari di rumah sakit, huh?!" Omel Egha, wanita yang Jovan tabrak, dengan suara berbisik sambil menatap horror Jovan.

"Kau bisa melihatku?" Kini Jovan sudah bangkit dan berdiri di depan Egha.

"Ya. Ikut aku." Ucap Egha sambil berjalan menuju ke luar rumah sakit dan diikuti Jovan. Jovan berjalan riang di samping Egha.

"Duduk." Perintah Egha setelah duduk di sebuah kursi taman rumah sakit.

Jovan hanya menurut dan duduk di samping Egha. Jovan menatap Egha tanpa kata sedikitpun. Ia hanya memperhatikan gerak-gerik Egha. Ia sedikit bertanya dalam hatinya saat Egha mengeluarkan ponsel dari saku jas dokternya dan sibuk mengutak-atiknya.

"Siapa namamu?" Tanya Egha tiba-tiba tanpa berpaling sedikitpun dari ponselnya.

"Jovan." Jawab Jovan singkat.

"Sejak kapan kau keluar dari tubuhmu?" Tanya Egha lagi.

"Uhm.. sekitar.. lima menit yang lalu mungkin." Jovan menjawab sambil mengira-ngira.

"Okey..." Ucap Egha. Ia tampak berpikir. Namun tidak berpaling sedikitpun dari ponselnya.

"Bisakah kau berhenti menatap ponsel itu? Aku ada di sini. Bukan di situ." Keluh Jovan yang merasa dirinya seperti diabaikan oleh Egha.

"Hei. Aku juga ingin menatap wajahmu. Hanya saja, aku tidak ingin disangka sebagai orang gila yang berbicara sendiri. Kau tahu, kan kalau tidak semua orang bisa melihatmu." Jelas Egha panjang lebar.

"Ah.. aku mengerti. Maafkan aku." Akhirnya Jovan menyerah dan menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.

"Lalu.. kenapa kau mengajakku ke sini? Jangan-jangan... kau menyukaiku? Sehingga kau memanfaatkan momen untuk duduk berdua dengan pria tampan sepertiku, begitu?" Jovan menuduh Egha dengan alis sebelah kiri yang dinaikkan.

"Aku sudah punya suami."

"Ah.. begitu. Baguslah. Aku juga."

Mendengar ucapan Jovan, Egha memasang wajah 'tak percaya dan menoleh pada Jovan.

"Kau.. sudah menikah? Atau kau.. gay?" Tanya Egha ragu. Kini matanya menelusuri tubuh Jovan dari atas sampai bawah.

Jovan yang tadinya memandang lurus ke depan langsung berpaling menatap wajah Egha sinis.

"Maaf. Aku masih di bawah umur. Dan aku menyukai wanita seratus persen." Ucap pria itu seraya memutar wajahnya kembali menghadap depan.

"Memangnya umurmu berapa?"

"Dua puluh tiga."

Kalau saja aku seorang psycho, mungkin aku sudah membunuhmu. - Pikir Egha yang emosinya kini hampir pada puncaknya.

"Ah, sudahlah. Itu tidak penting. Apa sebenarnya alasanmu membawaku kemari?" Tanya Jovan tidak sabar.

"Aku hanya ingin memberimu arahan dan nasihat. Selama kau menjadi roh, kau bisa melakukan apa pun tanpa disaksikan orang. Misalnya menari-nari di jalan raya. Selain itu, kau juga bisa melakukan hal-hal yang aneh, seperti menembus dinding. Itu semua bisa dilakukan sesuai kehendakmu. Dan sekali lagi, tanpa disaksikan orang lain. Kecuali..." Kalimat Egha terpotong.

"Kecuali?"

"Kecuali beberapa orang khusus yang bisa melihatmu. Seperti aku misalnya. Dan orang itu biasanya bukan orang yang kau kenal. Tapi tidak mustahil juga kalau orang yang mengenalmu bisa melihatmu." Sambung Egha.

"Hmm.." Jovan mengangguk-angguk tanda mengerti ucapan Egha.

"Jadi intinya aku bebas melakukan apa saja?" Tanya Jovan antusias.

"Ya."

"Ada lagi?"

"Ada."

"Apa?"

"Jadi begini, sebenarnya masih banyak sekali yang ingin kujelaskan padamu. Tapi aku sangat malas. Kau bisa mencari tahunya sendiri. Yah.. hitung-hitung cari pengalaman." Ucap Egha.

Dasar wanita tua ini. - Maki Jovan dalam pikirnya.

"Selain itu ap.." Kalimat Jovan terhenti begitu mendengar suara seorang pria memanggil Egha.

Egha dan Jovan menoleh ke belakang dan mendapati seorang pria dengan tubuh kekar sedang berlari menghampiri kursi tempat mereka duduk.

Entah mengapa Jovan merasa takut melihat pria itu.

"Kau kemana saja? Aku mencarimu dari tadi, sayang." Ucap Billy, pria yang baru saja berlari itu. Ia berjalan mendekat pada Egha.

"Ah.. Billy. Aku sedang memberi arahan pada Jovan." Egha bangkit dari duduknya dan tersenyum pada Billy. Namun senyumannya langsung memudar begitu melihat Jovan pergi kabur dengan jalan yang mengendap-endap.

"Jovan." Panggil gadis itu dan sontak membuat langkah Jovan terhenti.

Jovan membalikkan badan dan memberi senyuman bodoh pada Egha yang jaraknya tidak terlalu jauh darinya.

"Hei, bodoh. Terserah kau mau kemana. Yang jelas, kau harus kembali masuk ke tubuhmu dalam 24 jam. Sekarang jam..." Egha melirik jam tangannya.

"Jam 11. Setidaknya kau sudah kembali ke kamarmu jam 9 atau jam 10." Egha kembali menatap Jovan.

"Kalau aku melewati batas waktu, apa yang terjadi?" Tanya Jovan.

"Kau akan kehilangan ingatanmu. Bahkan nama dan wajahmu. Kau hanya memiliki beberapa ingatan. Itu pun ingatan saat kau sudah lepas dari tubuhmu. Jadi jangan bebal dan jadilah anak yang baik. Sampai jumpa." Egha mengucapkan salam perpisahan dan langsung berbalik lalu meninggalkan Jovan.

Gadis itu berjalan dengan santai dan dirangkul oleh Billy, suaminya.

"Okey. Aku paham." Ucap Jovan dan kemudian pergi meninggalkan rumah sakit itu.

"Eh.." Jovan berbalik sebentar, "Believer Hospital Center. Okey." Sambungnya setelah melihat nama rumah sakit itu lalu berbalik lagi.

Ia berjalan dengan riang dan sesekali melompat kegirangan. Entah mengapa ia merasa sangat bahagia. Baru kali ini ia merasa sebebas ini.

Tujuan pertama kemana ya..? - Pikir Jovan sambil terus berjalan dengan girangnya.

"Hmm.. malam yang indah. Hehe."