Merlin membuka email di laptopnya. Dia melihat sebuah email masuk dari Aron. Segera, pria tua itu membukanya.
From : aronbennethphilip@mercorp.com
Report
Tuan Merlin, perintah semalam sudah kami laksanakan. Jasad tidak bernyawa itu sudah kembali kepada keluarganya. Kami menyewa layanan jasa antar dan meminta mereka untuk merahasiakan identitas kami dengan bayaran dua puluh kali lipat. Sementara seperti yang Tuan perintahkan, kompensasi dari Tuan Merlin pun sudah kami berikan. Berikut data pria itu :
Nama : Rolando Bennington (45)
Istri : Marry Bennington (40)
Anak : Bella Bennington (20)
Alamat : Bright Street 1 nomor 25 kota Little Heaven.
Demikian laporan kami.
Merlin menoleh kepada Redita yang sedang berdiri menjawab telepon dari Radit di dekat pintu masuk ruang meeting. Pria itu menggeleng pelan kemudian meletakkan jemarinya di atas keyboard, segera membalas email dari Aron.
Sementara itu, Redita mengangkat teleponnya dengan raut wajah sedikit cemas. Bagaimana tidak? Radit belum juga datang ke ruang meeting padahal waktu sudah berlalu hampir tiga puluh menit dari yang telah disepakati.
"Kamu di mana, Sayang?" tanya Redita dengan suara pelan.
"Sayang, sepertinya aku tidak bisa meeting hari ini dengan Ayahmu. Keluarga pamanku sedang berduka dan aku harus menemani mereka," jelas Radit saat Redita menanyakan keberadaannya siang itu.
Redita menoleh ke belakang. Melihat sang Ayah—Merlin sudah menunggunya di ruang meeting Mer Corporation selama hampir setengah jam, tapi direktur utama Minestone Corporation itu belum juga muncul batang hidungnya. Pria tua itu hanya diam menatap layar laptop sambil membuka beberapa email yang masuk kepadanya.
Redita kembali berbisik kepada Radit, "Sayang, aku tidak tahu bagaimana meyakinkan Ayahku lagi. Jika sudah kecewa dia tidak akan pernah mau mengatur janji temu lagi dengan kliennya."
"Haish! Kamu tahu, aku tidak diperbolehkan pergi dari sini oleh sepupu dan tanteku. Tolonglah bantu kekasihmu ini, Dita," ucap Radit lagi, memelas.
"Oke-oke aku coba berbicara kepada Ayah. Salam dariku untuk keluarga bibimu. Aku sungguh ikut berduka."
"Iya. Aku mengandalkanmu, Sayang," sahut Radit kemudian menyudahi teleponnya.
Redita menoleh ke arah Ayahnya sejenak kemudian berjalan menghampirinya. "Ayah, Radit tidak bisa meeting hari ini. Keluarga pamannya sedang berduka dan dia tidak diperbolehkan pergi dari kediamannya," ujar Redita menghentikan gerakan lincah jemari Ayahnya dibatas keyboard.
"Terus?" tanya Merlin.
"Bisakah Ayah mereschedule janji temu meeting dengannya?" tanya Redita dengan suara merendah.
"Ehm ...." Hanya satu kata yang keluar dari mulut Merlin. Dia tidak menjawab iya atau pun tidak.
"Bisa, Yah?" tanya Redita lagi.
Merlin mengangkat wajahnya menatap sang putri sejenak, kemudian menoleh ke arah Andrew yang juga ikut menunggu di ruangan itu.
"Drew, bagaimana schedule saya?" tanya Merlin. Andrew yang duduk terkantuk-kantuk, tersentak kaget kemudian menoleh kepada Merlin. Cepat-cepat ia membuka tabletnya. Merlin tidak suka menunggu.
"Penuh Tuan, sampai satu bulan ke depan," jawab Andrew.
"Kamu dengar, Dit? Ayah sangat sibuk. Katakan pada Radit, kalau masih ingin bekerja sama dengan Ayah, kirimkan saja proposal proyeknya. Nanti akan Ayah seleksi bersama perusahaan lain yang sudah mengirimkan datanya terlebih dahulu," pungkas Merlin. Pria tua itu bangkit dari duduknya hendak pergi meninggalkan ruangan. Andrew yang melihat Merlin bangkit pun ikut bangkit berdiri dan pergi.
Redita hanya mengangguk terdiam. Walau ia anak Merlin, sang Ayah sangat profesional jika menyangkut perusahaan dan proyeknya. Wanita itu kemudian mengetikkan pesan kepada Radit.
Redita : Radit, Ayah memintamu mengirimkan proposal kerja samamu melalui email karena ia tidak bisa mengatur janji temu kembali.
***
Sementara itu di sebuah rumah berukuran sedang. Radit bersama dengan keluarga sang Paman duduk di sebuah sofa ruang tengah. Mereka baru saja selesai memakamkan Roland. Marry—istri dari Roland menyeka air mata yang terus membasahi pipinya, lalu menatap dalam wajah Radit.
"Radit, Bibi minta kau mencari tahu siapa yang membunuh Pamanmu. Kau lihat sendiri kalau dahinya ditembak oleh seseorang," ujar Marry.
"Iya, Kak. Kamu harus cari tahu siapa orangnya," tambah Bella.
Radit terdiam seribu kata. Balas menatap wajah Marry dengan air muka kebingungan bagaimana harus menjawab.
"Bibi, bukankah sebelumnya Bibi mengenal Paman sebagai seorang mafia?" katanya.
"Ya, Roland memang seorang mafia. Lalu kenapa?"
"Mati dalam menjalankan tugas adalah hal yang biasa, Bi. Lagi pula mereka juga mengirimkan kompensasi uang sebagai ganti rugi. Apa itu kurang?" ucap Radit seraya mengambil sebatang rokok dan menghidupkannya di depan Bibi dan sepupunya.
"Hei, Kakak! Kamu keterlaluan sekali!" seru Bella saat mendengar perkataan Radit dengan santai.
Marry menggenggam erat tangan Bella. Seketika sang putri menoleh ke arahnya. Marry menggeleng lembut mencoba menghentikan kemarahan Bella.
"Iya, Bibi mengerti. Hanya saja, Bibi belum bisa terima dengan ini semua, Radit. Kau 'kan bisa bantu kami dengan melaporkannya ke kantor polisi dan mereka yang akan bekerja," ucap Marry lagi.
"Ya, nanti akan kulaporkan. Tapi aku tidak menjamin mereka bisa menangkap pelakunya," sahut Radit kemudian mengisap rokoknya perlahan dan mengeluarkan asapnya ke lain arah agar Bibi dan sepupunya tidak ikut menghirup asap itu.
Marry dan Bella hanya bisa mengangguk patuh setelah Radit mengatakan hal itu. Mereka sangat mengandalkan Radit. Bahkan, kebutuhan sehari-hari mereka selalu dipenuhi olehnya karena Roland jarang pulang ke rumah dan tidak pernah mengiriminya uang. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di markas mafianya.
"Sampah keluarga saja sampai harus dibela seperti itu. Huh!" keluh Radit dalam hati.
Kling!
Pesan chat datang dari Redita. Pria itu menatap layarnya dan segera membuka pesan dari sang kekasih.
Redita : Radit, Ayah memintamu mengirimkan proposal kerja samamu melalui email karena ia tidak bisa mengatur janji temu kembali.
Membaca pesan dari Redita membuat pria itu mendelik terkejut tapi dia hanya bisa mengekspresikan kemarahannya di dalam hati.
"Haish! Sial!" batin Radit kesal.
Dia lalu membalas pesan dari Redita.
Radit : Tidak bisakah kamu membujuk Ayahmu, Sayang?"
Terkirim!
Tidak lama pesan balasan datang.
Redita : Maaf, aku tidak berani.
Membaca pesan dari Redita membuat Radit membanting ponselnya di atas sofa. Kesal. Dia bangkit dari duduknya berjalan ke sana ke mari merasa kacau.
Marry dan Bella yang melihat Radit hanya bisa saling pandang dan mengedikkan bahu bingung. Marry ikut bangkit dan berjalan pergi menuju dapur.
Bella menatap Radit kemudian bertanya, "Kakak, ada apa?"
"Tidak apa-apa. Kamu istirahat saja. Dari semalam kulihat kamu belum juga tidur. Bukankah kamu harus kuliah?"
"Aku sedang liburan semester, Kak. Dua minggu lagi baru mulai perkuliahan kembali," sahut Bella santai.
"Oh ...." Hanya kata itu yang keluar dari mulut Radit. Dia terlihat tidak peduli.
"Kakak mau makan apa? Biar aku buatkan," ucap Bella tiba-tiba. Dia menangkap air muka tidak menyenangkan dari Radit.
"Apa saja, Bell," jawabnya masih mengisap rokoknya. Radit terlihat sedikit kecewa karena merasa proyeknya akan gagal kali ini.