Redita turun dari mobilnya. Berdiri memandang sebuah tulisan besar "Restoran Archtic" di depannya. Senyumnya mengembang seketika, begitu semringah akan bertemu dengan sang pujaan hati.
Sepatu wedges yang ia pakai berbunyi menghentak lantai satu demi satu langkahnya yang anggun. Wanita itu hanya membawa tas kecil berwarna coklat yang berisi dompet dan ponselnya. Dress berwarna putih itu bergoyang berayun-ayun mengikuti arah angin yang berembus pada dari arah tenggara. Dia tidak menghiraukannya dan terus berjalan hingga masuk ke dalam restoran.
Meja coklat kosong itu merayunya untuk duduk di sana tapi wanita itu hanya mengedarkan pandangan tidak peduli. Dia mencari pangeran berkuda putihnya yang sudah menunggu sejak lima belas menit yang lalu.
Radit duduk di sudut ruangan. Menyesap Ice Americano yang ia pesan sejak tadi. Kepalanya memanguk sejenak menangkap sosok wanita cantik berkuncir kuda itu.
"Hai, Dit!" Pria itu melambaikan tangannya sembari tersenyum. Redita menangkap lambaian tangan itu. Segera membalas singkat dan berjalan menghampiri Radit.
"Maaf, aku telat," ucap Redita penuh penyesalan.
"Tidak apa-apa, Dit. Tidak usah sungkan. Jam istirahatku masih panjang." Radit masih tersenyum tapi kali ini lebih mengembang hingga terlihat lesung di kedua pipinya.
Redita menarik kursi di depannya dan segera duduk di sana. Radit memandang wanita itu dengan pandangan yang lembut menghanyutkan. Dipandang seperti itu, sontak wajah Redita merah merona.
"Hei, hentikan pandanganmu, Dit!" seru Redita balas tersenyum manis. Hatinya berdebar hampir merobek daging di atasnya. Dia sangat gugup siang ini. Bertemu dengan Radit secara pribadi tanpa Antony bersamanya membuat wanita itu merasa amat spesial.
"Mengapa aku harus menghentikan pandangan mataku terhadap wanita cantik yang tersenyum di depanku? Bukankah itu rezeki Tuhan yang datang siang ini?" Rayuan maut mulai dilontarkan pria itu. Degupan demi degupan kencang terus datang tidak beraturan pada jantung Redita.
"Radit, hentikan rayuanmu atau aku akan pergi dari sini," ancam Redita walau tidak sesuai dengan kata hatinya. Dia sangat senang dipuji oleh Radit.
"Aku tidak sedang merayu, yang kukatakan adalah kenyataan. Kamu memang cantik sejak dulu. Ngomong-ngomong bagaimana luka di lehermu?" tanya Radit berubah cemas.
Redita tersipu malu. Segera memegang syal yang melilit lehernya sejenak. Dia lalu menjawab pertanyaan Radit, "Sudah tidak apa-apa, Dit. Luka ini akan cepat mengering. Kamu tidak perlu mencemaskanku."
"Syukurlah. Kamu tahu Dit, sejak kita bertemu di mall saat itu, aku tidak terus mengingatmu. Wajahmu terus menari-nari di benakku saat pagi, siang, dan malam. Hingga saat ini akhirnya aku memberanikan diriku mengajakmu makan siang bersama. Aku menyukaimu. Maukah kamu jadi kekasihku, Redita Anjani Laura?" Radit menyatakan perasaannya dengan wajah merona. Manik matanya tidak berhenti menatap Redita yang mulai salah tingkah mendengar lamarannya menjadi kekasih.
Siapa yang tidak bahagia jika dilamar menjadi kekasih dari sang pujaan hati? Begitulah yang dirasakan Redita saat Radit menyatakan perasaannya. Perkataannya begitu tulus terdengar dari mulut pria itu. Menjadikan ia wanita paling beruntung di dunia ini karena disukai oleh pria tampan itu.
Desiran darah dalam tubuh wanita itu merangkak naik ke atas kepalanya hingga seluruh tubuh yang tiba-tiba menghangat. Jantung wanita itu memompa darahnya yang berdesir dengan cepat. Andai dia mempunyai penyakit jantung, mungkin dia sudah terkena serangannya siang ini.
Belum sempat menjawab, terdengar seseorang menyapanya, "Nona Redita."
Redita sontak menoleh ke arah kirinya. Suara pria yang terdengar tidak asing itu membuatnya terperanjat dengan mata yang membelalak tiba-tiba. Antony berdiri di sana.
***
"Antony, Nona Redita pergi ke timur jalan menuju restoran Archtic," ujar Aron tiba-tiba meneleponnya saat Antony masih mengendarai motor rampasan itu melaju mencari Redita.
"Terima kasih, Aron," jawab Antony segera memutus sambungan teleponnya dengan alat canggih yang diberikan oleh Merlin. Hanya dengan mengucap kata sandi tertentu sambungan telepon itu akan terputus tanpa harus menekan tombol tertentu. Begitupun saat menjawab telepon yang masuk.
Segera, Antony membelokkan motor sport itu ke arah timur jalan. Matanya sibuk berkeliling mencari letak restoran Archtic. Tidak beberapa lama akhirnya matanya menangkap sebuah mobil yang ia kenal terparkir di halaman restoran Archtic.
Antony memarkirkan motor itu di halaman parkir. Pria itu pun masuk ke dalam restoran. Mengedarkan matanya ke sekeliling dan menangkap sosok Redita duduk berhadapan dengan seorang pria. Radit.
Mata wanita itu berbinar memandang sosok Radit. Terpancar kebahagiaan bagai orang yang sedang jatuh cinta. Begitupun dengan Radit yang memandang Redita. Antony pun berjalan menghampiri mereka.
"Nona Redita," katanya memecah suasana romantis di antara keduanya.
Redita sontak menoleh menatap ke arah samping kirinya. Wajah sang bodyguard nan tampan itu membuatnya terkesiap. Redita menelan ludah sedikit takut.
"Antony ...," sahutnya lirih.
"Nona sudah menipu saya hari ini. Bisakah kita berbicara?" ucap Antony serius. Pria itu mengalihkan matanya sebentar ke arah Radit meminta persetujuan. Bagaimanapun dia sudah merusak acara mereka dengan datang menyusul ke tempat itu.
"Silakan saja, Antony. Aku akan menunggu di sini," jawab Radit dengan seulas senyumnya.
Mulut Redita mengerucut kesal saat Antony datang tidak tepat pada waktunya. Dia baru saja akan menjawab lamaran Radit yang memintanya menjadi kekasih.
Segera, Redita bangkit dari duduknya mengikuti Antony berjalan dari belakang dan duduk di meja kosong yang jauh dari meja sebelumnya. Antony menatap Redita dengan tatapan matanya yang tajam. Begitu serius tampak tidak ada guratan senyum di sana. Dia benar-benar marah pada Redita sedangkan Redita hanya diam tidak mengeluarkan kata-kata sama sekali.
"Nona Redita, saya sudah bosan dengan kucing-kucingan ala Nona ini. Tolong kerja samanya selama saya ditugaskan untuk menjaga Nona. Karena jika terjadi apa-apa dengan Nona dan saya tidak berada di dekat anda, saya yang akan bertanggung jawab dan mungkin saja Tuan besar akan memenggal kepala saya," jelasnya dengan air muka serius. Redita melengos ke arah lain, tidak ingin menatap wajah tampan Antony yang sedang serius menatapnya itu.
Ini sudah kali ke berapa dia mengatakan hal yang sama. Namun, kali ini Antony ingin perkataannya menjadi perkataan yang terakhir kalinya. Redita sangat sulit diatur. Dia selalu ingin berjalan semaunya. Tidak suka dijaga dalam jarak dekat maupun jauh. Jika bukan karena Merlin dan Elena yang memintanya, dia tidak akan mau menjadi pengawal wanita di hadapannya sekarang.
"Saya berbicara di depan anda, Nona!" kata Antony lagi. Kali ini lebih tegas dari biasanya.
Mendengar penegasan dari Antony, Redita sontak memutar pandangannya ke arah Antony. Menatap wajah tampan pria itu dengan air muka marah tidak seperti biasa.
"Nanti malam aku akan meminta Ayah untuk mengganti mafia lain sebagai pengawalku. Sekarang kamu bisa menungguku di luar, Antony. Aku ingin berbicara empat mata dengan Radit. Aku harap kamu tidak menggangguku," jawaban Redita membuat Antony terkejut.
Redita akan meminta Ayahnya untuk menggantikan posisi Antony dan itu sama saja dengan sebuah penghinaan terhadap profesi mafia yang pengawal. Dia akan dianggap tidak sanggup menjalankan tugasnya. Hingga harus digantikan dengan orang lain. Namun, Antony tidak bisa berkata apa-apa. Pria itu hanya bisa menelan ludah dan menjawab, "Siap, Nona!"