Redita melirik arlojinya yang baru saja menunjukkan pukul delapan malam. Wanita bergaun hitam itu turun dari mobil SUV-nya. Tangan mulus gadis itu disambut oleh tangan kekar Radit yang menunggu di depan pintu mobil. Tersenyum dengan manis meraih dan menggenggam erat telapak lembut Redita.
Senyuman pria itu bersambut manis. Redita balas tesenyum kepadanya. High heelsnya menyentuh halaman parkir mobil Lovely Hotel–sebuah hotel bintang lima yang terletak di ibu kota negara Legiland. Begitupun Antony, dia memperlakukan Silvia dengan cara yang sama seperti saat ia memperlakukan Nona Mudanya. Silvia sangat bahagia diperlakukan seperti seorang putri mafia oleh Antony. Sang bodyguard tampan yang tidak banyak kata.
Mereka berempat berjalan masuk ke dalam lobi hotel. Suara derap langkah yang berasal dari fantofel kedua pria dan kedua high heels wanita itu, terdengar begitu selaras dan tampak serasi. Hal itu membuat perhatian semua orang menatap mereka dari ujung kaki sampai ujung kepala. Sepanjang jalan berkarpet merah, ratusan pasang mata memandang iri kepada dua pasang manusia yang berjalan anggun menuju ballroom hingga akhirnya mereka masuk dan menjejakkan kaki di dalamnya.
"Kamu terlihat gugup, Dit," kata Radit menoleh kepada Redita.
"Ehm ... sedikit." Redita tersipu seraya mengalihkan pandangannya kepada Antony. Wanita itu begitu penasaran dengan ekspresi wajah Antony yang juga menjadi pusat perhatian bersama Silvia di sampingnya.
Antony tetaplah Antony. Pria itu hanya diam tanpa ekspresi. Gayanya yang cool membuat pesona pria itu bertambah. Redita berdecak kesal melihatnya.
"Apa dia jelmaan robot? Mengapa selalu sangat dingin seperti itu? Aku heran, Silvia bisa menyukai pria itu," kata Redita di dalam hati.
Mata lentiknya menatap lurus ke depan. Mengedarkan pandangan kepada teman-teman masa sekolahnya dahulu yang sebagian besar ia lupakan karena wajah mereka telah berubah.
"Hei, Radit!" Suara sapaan seorang wanita terdengar di telingan Redita. Wanita itu berdiri di depan Radit yang sedang berada di sampingnya.
"Hai, Caroline. Bagaimana kabarmu?" tanya Radit ramah dan memandang lembut kepada wanita itu.
Manik mata Caroline berbinar mendengar sapaannya dibalas oleh seorang Radit. Pria yang menjadi idola remaja saat di bangku sekolah itu tetaplah ramah seperti masa sekolah dulu. Dia tidak membeda-bedakan pergaulannya. Redita menelan ludah mendengkus kesal melihat keramahan yang ditunjukkan oleh Radit. Wanita itu sontak menarik tangannya lepas dari genggaman Radit.
"Dit!" Radit memanggil Redita yang berjalan cepat menuju ruang tengah ballroom.
Wanita itu melengos tidak peduli walau suara berat Radit memanggilnya. Dia terus berlari hingga berhenti di satu titik tengah. Lampu balroom tiba-tiba saja mati berganti dengan sebuah lampu terang yang menyorot tepat di atas kepalanya.
Warna kadru rambutnya kini terlihat menyilaukan. Paduan warna coklat kemerahan itu begitu indah dipandang mata. Redita menoleh ke belakang. Tampak Radit berjalan menghampirinya. Alunan musik romantis tiba-tiba mulai terdengar. Radit mengangkat kedua sudut bibirnya, tersenyum begitu tampan.
"Mau berdansa?" Tangan kekar pria itu terulur mengajak Redita berdansa. Kaki panjangnya ia lipat di hadapan Redita seperti orang yang sedang berusaha melamar sang kekasih.
Redita membelalak terkejut. Radit yang ia sukai dari masa sekolahnya itu kini sedang menawarkan diri berdansa dengannya tanpa mengingat kalau dia baru saja membuatnya kesal.
Tangan lentik itu tidak juga terulur menyambut. Radit kemudian berkata dengan raut wajah menyesal, "I'm sorry for making you upset, Dit."
Redita tersipu dua kali dengan tindakan yang dilakukan Radit. Dia pun mengangguk pelan dan menyambut uluran tangan itu. Radit mencium punggung tangan Redita. Segera, ia bangkit dari posisinya dan menarik lengan sang wanitanya ke tengah ballroom. Mereka mulai berdansa.
Gerakan dansa pelan mereka mulai diikuti oleh beberapa pasangan yang ikut berdansa. Ballroom hotel pun berubah menjadi tempat sakral bagi seluruh pasangan yang berdansa dengan suasana romantis.
"Apa kamu menyukainya?" tanya Radit berbisik. Embusan hangat napasnya terasa di telinga Redita. Membuat bulu tengkuknya berdiri.
"Iya. Kamu pandai dalam berdansa," jawabnya ikut berbisik.
Radit melingkarkan tangannya pada pinggang ramping Redita kemudian turun ke bawah menuju bokongnya yang berisi. Gerakan dansa mereka begitu selaras bergerak ke sana ke mari. Namun, lampu sorot itu tidak juga berpindah seperti menjadi tanda sebuah dukungan terhadap hubungan mereka. Lampu itu tetap menyoroti Redita dan Radit yang berdansa bagai raja dan ratu di malam itu.
Sorot mata tajam Antony bergerak ke sana ke mari, mengedarkan pandangannya. Sesekali mata itu memandang Redita yang sedang berdansa dengan Radit. Aura bahagia Redita terlihat di sana. Antony bergeming tetap mengamati mereka dari atas kursi yang ia duduki. Padahal Silvia sudah mengajaknya berdansa berkali-kali demi memuaskan keinginannya berdekatan dengan Antony. Pria itu hanya menjawab kata "tidak" untuk ajakan sahabat Redita itu dan tidak ada jawaban untuk pertanyaan lainnya. Gayanya tetap cool irit dengan kata-kata.
"Lampu sorot itu aneh," gumam Antony.
Mulut Silvia mengerucut kesal hanya bisa memandang Redita dan Radit dari sisi terluar ballroom. Matanya memandang iri para pasangan yang sedang berdansa dengan aura bahagianya.
Drrt-drrt-drrt!
Getaran telepon genggam milik Antony terasa dari balik jas yang ia pakai. Pria itu meraih ponselnya dan mendapati nama Tuan Merlin di sana. Merlin jarang meneleponnya, panggilan itu pasti adalah sebuah panggilan darurat.
"Ya, Tuan."
"Kembali ke mansion. Bawa putriku segera. Aku mendengar kabar bahwa akan ada huru-hara di sana. Seseorang merencanakan sesuatu pada putriku."
"Siap, Tuan."
Merlin mematikan teleponnya. Tanpa banyak berbicara, Antony bangkit berdiri hendak melangkah bersamaan dengan seorang pelayan hotel yang tiba-tiba berjalan di depannya membawa sebuah baki dengan selembar kain putih menutupi baki tersebut. Tak sengaja, mereka pun bertubrukan hebat.
Sebuah revolver terlempar dari balik baki. Mata Antony membelalak melihat senjata itu. Segera, ia mengambil senjata yang sama dari balik saku jasnya ketika melihat revolver itu dipungut oleh seorang laki-laki lain yang tiba-tiba berhenti berdansa di dekat Redita.
Diarahkannya revolver itu ke kepala sang wanita yang tidak menyadari sama sekali akan kekacauan yang terjadi karena suasana gelap masih menghiasi ballroom itu. Antony menatap geram lelaki di hadapannya hingga membuat Silvia yang menyaksikan hal itu berteriak ketakutan.
"Arrgghh!"
Suasana reuni pun berubah menegangkan akibat suara teriakan Silvia. Semua orang mengarahkan perhatiannya pada Silvia dan Antony. Begitupun dengan lelaki yang tadi memungut revolvernya.
Lelaki itu menoleh sebentar dan mulai menarik pelatuknya. Radit tidak sengaja menoleh ke belakang dan langsung menyadari ada yang tidak beres. Pria tampan itu menarik tangan Redita membawanya berlari menghindar dari tengah ballroom.
Dor!
Suara tembakan pun terdengar. Peluru itu berhasil melesat tapi tidak tepat sasaran. Wanita yang berdiri tidak jauh dari mereka tiba-tiba saja terjatuh. Peluru itu berhasil menembus kepalanya.
Antony bernapas lega. Dia menautkan kedua alisnya, sorot matanya menatap dingin. Tanpa ragu menembakkan revolvernya ke kepala lelaki asing itu. Hanya memakan waktu sepersekian detik, lelaki itu terjatuh dan mati. Semua yang berada di tempat itu memandang ke arahnya. Sang pengawal yang tidak memiliki hati nurani kini menjadi sorotan.