Antony menatap layar ponselnya. Begitu lama membiarkan tulisan "Rachel memanggil" itu sirna. Dia tidak ingin menjawabnya. Mendengar suaranya mungkin akan mengingatkan ia kepada ingatan-ingatan yang ingin ia lupakan.
Hanya sekali panggilan itu dilakukan. Rachel tidak mengulangnya. Mungkin ia tahu kalau ia sudah ditolak secara tidak langsung.
Antony bernapas panjang, meraih ponselnya sejenak. Tertera pukul lima sore. Ia ingin menghubungi Merlin tapi segera diurungkannya. Merlin mungkin sedang dalam perjalanan pulang dari kantor.
Pria tegap itu lalu berjalan keluar kamar. Pasien-pasien Dokter George sudah tidak terlihat. Klinik mulai sepi. Seorang perawat laki-laki keluar dari dalam ruang praktik. Antony menghampirinya, melihat sebuah name tag dengan nama Albert tergantung di sakunya.
"Bruder Albert, apa Dokter George ada?" tanya Antony.
"Dokter masih di dalam. Kau bisa masuk untuk menemuinya," jawab Albert.
Antony berjalan menuju ruang praktik Dokter George. Sedikit ragu, ia mengetuk pintu ruangan tiga kali, memberi tanda jika ia ingin menemuinya.
"Masuk!" sahut Dokter George.
Pria itu menekan handel pintu dan membukanya. Dokter George tampak sedang mengetikkan sesuatu di laptopnya. Menyadari kehadiran Antony, dia mendongakkan kepalanya.
"Hei, An! Bagaimana istirahatnya?" tanya Dokter George seraya tersenyum.
"Saya bisa beristirahat dengan nyaman. Terima kasih untuk kamarnya, Dok," sahut Antony membalas senyuman Dokter George.
"Duduk, An. Sepertinya ada yang ingin kau sampaikan?"
"Ya, saya hanya ingin konsultasi sebentar. Tidak apa ya, Dok?"
"Ya, tentu saja. Tapi bukankah kau bilang tidak ada keluhan?"
"Ehm .... Sebenarnya kadang lengan sampai bahu saya masih suka terasa sakit jika digunakan terlalu sering dan mengangkat sesuatu yang berat. Apa itu normal?" tanya Antony terlihat ragu.
Mendengar pertanyaan Antony, Dokter George kembali tersenyum. "Begini, An. Semua organ tubuh yang terluka pasti akan sembuh tapi sembuh mereka bisa dikategorikan sembuh tidak sempurna. Kau tahu, cideramu sangat parah. Ketika beberapa peluru itu saya ambil dari tubuh dan meremukkan tulang selangkamu, kau hampir kehabisan darah. Sebagai ahli bedah, saya melakukan yang terbaik untukmu. Saat itu Dokter Maria—Dokter spesialis ortopedi pun ikut membantu mengoperasi fraktur yang terjadi pada tulangmu. Kami hanya berusaha sekuat tenaga. Memang nyatanya kau sembuh tapi tidak bisa seperti dahulu kala. Sebaiknya kau kontrol berkala walau itu sudah terjadi sangat lama," jelas Dokter George.
Antony hanya mengangguk. Memang kenyataannya dia paling malas jika berhubungan dengan dokter. Lagi pula siapa sih yang ingin sakit atau terluka? Hei, tapi bukan itu alasannya. Antony paling takut dengan jarum suntik. Senjata apa pun bisa ia lawan tapi tidak dengan jarum. Dia sangat takut.
"Baik, Dok."
"Sebentar!" Dokter George bangkit dari duduknya dan berjalan ke sebuah etalase obat-obatan yang juga berada di salah satu bilik ruang praktik.
Tidak lama, dia lalu kembali membawa dua buah botol kecil obat dan memberikannya kepada Antony. "Kau bisa mengonsumsinya untuk meredakan sakitmu. Botol satunya lagi bisa kau konsumsi untuk menjaga daya tahan tubuhmu. Ehm, itu bisa juga membuatmu bertahan lama di atas ranjang," jelasnya terkekeh.
Mata Antony membulat mendengar ucapan sang dokter. Dia sudah tidak memiliki wanita mana pun sekarang dan mungkin obat itu sudah tidak berguna. Bahkan, kenyataannya dia masih muda dan tidak membutuhkannya. Malu-malu Antony mengembalikan botol yang ke dua.
"Saya tidak bisa menerima ini," katanya sambil mengembalikan botol itu.
"Loh kenapa? Ini bagus untuk daya tahan tubuhmu. Saya tahu pekerjaan seorang mafia itu berat dan kadang kau membutuhkan asupan nutrisi yang lebih. Mengenai khasiatnya di atas ranjang, saya hanya bercanda. Jika tubuhmu sehat, otomatis kau akan kuat melakukan apa pun, bukan?" sahut Dokter George memberikan kembali botolnya.
Dengan terpaksa mafia senior itu menerimanya. "Terima kasih, Dok," katanya.
"Iya. Sama-sama, Antony. Senang membantumu," jawab Dokter George lalu kembali duduk di meja konsultasinya.
***
Jonathan mengamati mayat yang tertutup oleh kain putih di hadapannya. Itu adalah mayat penjahat yang dibawa Redita dan Martin tadi sore. Dia masih belum tahu apa yang harus ia lakukan dengan mayat itu.
Aron berjalan pelan di sebuah lorong mansion. Dia habis menjenguk Martin yang masih belum sadar sepenuhnya. Air mata Aron menetes tidak terhenti sedari tadi. Mafia intel itu memang sedikit sensitif saat melihat teman sejawatnya terluka dan belum sadar sampai saat ini.
Aron mengedarkan pandangannya di lorong yang menghubungkan guest house klinik dengan mansion mafia. Matanya berkelebat tiba-tiba menangkap sosok mafia lain sedang bediri di dalam ruang mayat. Memandang jasad tidak bernyawa di hadapannya. Aron segera menghampirinya.
"Jo, sedang apa kau?" tanyanya melangkah masuk ke dalam ruangan itu.
Jonathan menoleh ke arah Aron, kemudian beralih lagi kepada mayat di depannya. Di ruangan itu hanya ada satu mayat karena semua tubuh yang sudah tidak bernyawa itu akan diberikan kepada anjing-anjing peliharaan Merlin atau kadang mereka mengirimkannya kembali kepada keluarganya tanpa nama pengirim.
"Ini mayat yang dibawa Martin dan Redita. Aku tidak tahu harus apakan mayat ini. Nona bilang terserah padaku, Ron," jawab Jonathan.
"Dia siapa memangnya? Apa sudah ditelusuri mayat ini siapa?" tanya Aron lagi.
"Iya, salah seorang anggota The Fog Shadow, Ron."
Aron membuka penutup tubuh pria itu. Melihat tato yang terukir di lengannya. Dia mengamatinya sedikit lama kemudian mengambil sesuatu di balik jasnya. Botol antiseptik yang mengandung alkohol tujuh puluh persen untuk dia gunakan dalam semua kegiatannya. Aron memang pria yang sangat bersih.
Aron menuangkan alkohol itu ke lengan yang bertato itu. Digosoknya pelan. Perlahan gambar samurai dan tulisan The Fog Shadow itu menghilang. Sebuah tato temporer. Sontak wajahnya mengernyit.
"Temporer?" gumamnya terkejut.
"Jadi tato palsu?" Jonathan ikut terkejut.
"Hei, dia bukan anggota The Fog Shadow," kata Aron. "Aku sudah curiga saat melihat gambar itu. The Fog Shadow tidak mungkin sebodoh ini melakukan sebuah kecerobohan walau mereka adalah organisasi mafia kecil," kata Aron lagi.
"Kita harus melaporkannya kepada Tuan Merlin, Ron," timpal Jonathan yang dijawab anggukan dari Aron.
Tidak lama kemudian, mobil Merlin masuk ke dalam halaman mansionnya. Seorang mafia junior keluar dari pintu kemudi, berlari ke belakang membuka pintu penumpang. Merlin pun turun dari mobil.
Aron dan Jonathan yang mengetahui itu segera mempercepat langkah mereka berjalan keluar ruang mayat dan menemui Merlin. Air muka Merlin terlihat masih kesal atas kelakuan Antony. Aron yang menangkap perasaan Tuan Besarnya, segera mundur selangkah, tidak jadi melapor. Begitupun dengan Jonathan.
Merlin hanya melirik tajam lalu mengalihkan pandangannya tidak peduli. Dia bergegas masuk ke dalam mansion yang langsung disambut oleh istri tercinta.
"Ron, bagaimana ini?" bisik Jonathan.
"Kita tunggu mood Tuan bagus, Jo," sahut Aron balas berbisik.