Ayah bilang Aarav dan Zayn itu bersaudara. Saat itu mereka masih 5 tahun dan ayah mengatakannya dengan tegas.
Aarav dan Zayn kecil hanya mengangguk percaya, mereka tinggal dalam satu atap, mempunyai ayah dan bunda yang sama, tentu saja mereka saudara bukan?
Tapi usia mereka sekarang sudah enambelas, tidak bisa percaya begitu saja dengan ucapan ayah. Pernah sekali Aarav mencoba bertanya pada bunda, namun bunda justru berteriak kesal dan mengusir Aarav beserta Zayn dari kamarnya.
Kata Yumna—sahabat dekat mereka berdua—pasti salah satu dari Aarav dan Zayn adalah anak pungut yang ditemukan di kolong jembatan saat hujan petir.
Tidak, Aarav tidak akan dengan mudah mempercayai ucapan melantur Yumna karena di samping gadis itu yang memang suka mengada-ada, pasti ayah atau bunda akan mengatakan sejujurnya pada mereka.
"Tapi kalau di pikir-pikir bener juga Rav. Ayah sama bunda aja nggak pernah peduli sama kita. Pedulinya sama Galen aja," ujar Zayn suatu hari.
Aarav menggeleng cepat, "Tapi wajahmu mirip ayah Zayn. Kalau mukaku mirip bunda,"
"Matamu saja yang mirip bunda, sisanya nggak tau mirip siapa," balas Zayn lalu mendekatkan diri dengan Aarav, "Bisa saja kamu anak pungutnya Rav,"
"Kok aku?" Aarav merengut, mendorong tubuh Zayn yang jauh lebih tinggi darinya, "Jangan percaya sama omongannya Yumna. Kamu tau sendiri dia tukang ngibul,"
Zayn mengedikkan bahunya tidak peduli, "Ya siapa tau. Ayah sama bunda aja memperlakukan kita kaya anak tiri,"
"Ya berarti kita berdua anak tiri," cetus Aarav asal.
Zayn merengut, "Masa orang ganteng kaya aku gini anak pungut. Malulah sama cewek-ceweku,"
"Cih cewek aja pikiranmu Zayn,"
"Ya iyalah. Emang kamu, pacaran aja nggak pernah. Kaku bener hidupmu Rav,"
Selalu seperti itu, percakapan mengenai siapa mereka selalu diakhiri dengan pertengkaran tidak perlu hingga membawa dosa-dosa lama yang pernah di perbuat satu sama lain, seperti Zayn yang pernah mencuri mangga milik Pak Mamat—tetangga mereka yang galaknya tanpa ampun—sampai Aarav yang pernah melemparkan batu ke mobil baru Bu Mila—guru mereka saat sekolah dasar—hanya karena ia di hukum tidak mengerjakan pr.
Secara fisik mereka tidak mirip sama sekali, seperti yang di ketahui, Zayn mirip sekali dengan ayah dan Aarav sedikit mirip dengan bunda, hanya sedikit. Tinggi mereka berbeda jauh, Aarav memang tinggi namun Zayn jauh lebih tinggi. Kata Yumna Zayn itu mirip tiang listrik berjalan. Postur tubuh Zayn juga tegap dan atletis, walaupun Aarav pun juga seperti itu.
Jika berjalan bersama akan ketara sekali perbedaan tinggi mereka. Dan jika ada Yumna di sana, gadis itu hanya akan terlihat seperti kurcaci yang berjalan bersama raksasa. Miris.
Adik mereka, namanya Galen. Usianya limabelas, setahun di bawah Aarav dan Zayn. Wajahnya tampan namun manis. Ketara sekali perpaduan antara wajah ayah dan bunda. Tidak perlu di ragukan lagi, Galen pasti anak kandung. Tidak seperti kedua kakaknya yang masih diragukan statusnya.
Sejak kecil Galen selalu di manjakan oleh ayah dan bunda. Iri? Tentu saja, Aarav dan Zayn bahkan selalu menggunjing Galen diam-diam. Sebal dengan Galen yang selalu mendapat apa yang dia mau, tidak seperti Zayn yang harus mendapat lemparan sapu dari bunda jika ingin meminta sesuatu.
Pernah suatu hari, "Bun Zayn boleh minta motor baru nggak? Motor lama udah butut Bun nggak enak sama sekali kalau di naikin,"
"Umurmu masih empatbelas, seharusnya belum boleh mengendarai motor. Syukuri apa aja yang di kasih ayahmu," balas bunda tanpa menoleh. Tentu saja, beliau sedang fokus memasak sebelum Zayn datang dan menganggunya.
Zayn mencebik, "Teman-teman saja sudah punya motor sport keren. Apalah Zayn cuma punya verpa butut bekas ayah waktu sma dulu,"
Prang
Sebuah panci melayang nyaris mengenai kepala Zayn jika anak itu tidak dengan cepat menghindar. Bunda berbalik, melotot marah, "Kalau mau beli motor baru nabung! Masih untung saya mengijinkan kamu tinggal di sini, mendapat fasilitas yang layak! Dan sekarang kamu melunjak, menuntut minta di belikan ini itu?! Kamu seharusnya cukup sadar diri dengan posisimu saat ini Zayn. Apakah kamu pernah berpikir jika suatu hari saya muak dan memaksa kamu pergi dari rumah ini?!"
Zayn mengernyit, tidak mengerti. Namun ia lebih memilih diam, lidahnya dibuat kelu oleh ucapan sarkas bunda.
"Pergi dari hadapan saya. Saya muak melihat wajahmu! Tidak ada makan malam untuk kamu malam ini. Saya tidak peduli kamu akan mati atau semacamnya,"
Ya, bunda memang sebenci itu pada Zayn. Tidak salah juga Zayn merasa dirinya adalah anak tiri bukan?
Namun, berbeda dengan Zayn, Aarav mendapat perlakuan lebih parah dari itu semua.
Saat itu Aarav masih kelas 9, umurnya lima belas. Pemuda itu memasuki rumah dengan gontai, wajahnya beler dan penampilannya acak-acakan. Persis seperti siswa pulang tawuran. Padahal kenyataannya Aarav baru pulang bimbingan untuk osn fisika saat itu.
Ketika memasuki rumah, Aarav di sambut dengan tatapan datar bunda dan geraman kemarahan ayah. Pemuda itu berkedip beberapa kali, tidak mengerti situasi.
"Darimana aja kamu?" tanya bunda, intonasinya tenang namun Aarav tau, bunda tengah emosi sekarang.
"Bimbingan bun,"
"Bimbingan apa?!" nada bicara bunda naik satu oktaf, sedangkan di belakang sana ayah sudah ancang-ancang siap melempar tubuh Aarav kapan saja, "Ujian nasional masih lama! Kata gurumu bimbingan masih di mulai semester depan! Saya tidak pernah mengajarkan kamu untuk berbohong Aarav! Katakan yang sejujurnya,"
Aarav menggeleng ribut, "Aarav ikut bimbingan osn fisika kok bun. Aarav ga bohong,"
"Alasan," bentak ayah, segera memberikan bogeman mentah pada rahang Aarav membuat bocah itu tersungkur hingga punggungnya menubruk tembok, "Saya lihat kamu tadi ikut tawuran! Jangan ngelak lagi kamu! Mau jadi apa kamu di masa depan?! Masih kecil sudah ikut tawuran sana sini. Saya akan telepon guru kamu agar kamu di keluarkan dari sekolah! Lebih baik kamu home schooling dari pada sekolah dan justru menjadi berandal! Memalukan," hardiknya.
Aarav menggeleng mencoba membela diri, namun rahangnya nyeri luar biasa membuat ia tak mampu melakukan apapun.
Brakkk
Tubuh Aarav kembali terpental beberapa meter karena tendangan ayah. Bocah itu memekik, merasakan nyeri luar biasa ketika kepalanya membentur ujung meja yang tumpul. Dirasakannya cairan menetes di pelipisnya.
Kemarahan ayah dan bunda membuatnya ketakutan hingga meneteskan keringat dingin, pikir Aarav.
"Aarav," sang empunya menoleh mendapati Zayn yang berlari kearahnya, wajahnya tampak khawatir, "Kamu kenapa?"
"Nggak papa jatuh doang," Aarav tersenyum, mencoba berdiri namun gagal, kepalanya pening tak tertahankan.
"Kamu jangan coba-coba meniru anak itu! Dia berandal! Tidak bermoral! Jika kamu menentang, lihat saja pasti akan berakhir seperti anak tidak diuntung itu," teriak ayah.
Zayn melotot, "Berandal? Aarav anak baik-baik mana mungkin jadi berandal! Ayah jangan menuduh jika tidak punya buktinya,"
"Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri! Dia ikut tawuran di depan sekolahnya! Pantas saja dia sering pulang sore hari dengan keadaan acak-acakan,"
"Aarav pulang sore karena ikut bimbingan osn fisika," tegas Zayn. Bocah itu dengan gemetar menarik tas milik saudaranya lalu mengeluarkan sebuah kartu dari sana, "Itu kartu bimbingannya Aarav jika ayah tidak percaya. Zayn pergi," lanjutnya sembari memapah tubuh Aarav keluar dari rumah.
"Kamu nggak seharusnya bentak ayah, Zayn," lirih Aarav.
Zayn memutar bola matanya, "Ayah pantas di perlakukan seperti itu. Dengar ya Rav, sikap anak itu meniru orang tuanya, aku suka bentak gini karena ayah dan bunda sering bentak aku, terlebih bunda mainnya lempar-lempar," gerutunya.
Aarav terkekeh kecil, "Kenapa keluar? Anterin aku ke kamar,"
"Kepalamu bocor Rav. Kita ke rumah sakit sekarang,"
Lagi lagi Aarav terkekeh, "Bisa bisanya aku nggak ngerasa sakit sama sekali,"
"Itu karena kamu emang ga peka Rav. Boro-boro kodenya Yumna, luka kaya gitu aja kamu nggak sadar," balas Zayn sembari membantu Aarav menaiki motornya, "Seenggaknya kamu nggak mati,"
"Sembarangan,"