=Author's POV=
"Wahh …." Laya mengernyitkan dahinya. Dia sedang fokus dengan layar komputer di hadapannya.
Rambut panjangnya diikat tinggi sedikit berantakan karena dia bangun kesiangan dan langsung berkutik di depan komputernya. Kacamata anti radiasi tak lupa ia kenakan, jika tidak maka dia akan merasa tidak nyaman karena matanya akan berair.
Jemari lentiknya berlarian indah pada tuts dengan sesekali memainkan tikus elektronik untuk membantu pekerjaannya.
Matanya membulat saat dia melihat sebuah fakta mengejutkan yang berhubungan dengan dirinya. Pemberitahuan selalu muncul di sudut kanan bawah layar komputernya, jumlah pesan yang masuk terus bertambah membuatnya merasa kuwalahan dan sangat sibuk.
Tanda seru merah muncul menunjukkan adanya sebuah masalah serius yang harus dibereskannya.
"Bagaimana bisa aku tidak mengetahuinya selama ini?" gumamnya masih terus menatap layar komputer dengan seksama.
Banyak teks yang muncul juga beberapa gambar dan video yang masuk membuat Laya memijat pelan kepalanya.
"Segera bereskan!"
Gumamnya seraya membaca sebuah pesan yang baru saja masuk.
Disandarkan tubuhnya pada kursi seraya mehela napas panjang. Dia benar-benar tidak menyangka pekerjaan tersembunyinya diketahui oleh orang lain dan bahkan selama ini data miliknya telah dicuri oleh orang itu dan digunakan untuk kepentingannya sendiri.
"Arrgghh … Bodoh!" umpatnya pada diri sendiri.
Dia tahu betul nasibnya juga keluarga besarnya sedang dalam bahaya jika permasalahan ini tidak segera dibereskan.
Menutup celah akses pencurian data dapat dia lakukan mungkin, tetapi informasi yang sudah berada di tangan pencuri itu akan menjadi masalah lain karena dia bahkan tidak dapat merebutnya kembali.
"Bagaimana bisa selama ini ku kira pak Presiden yang selalu aktif membuka system …," gerutunya.
Dia terus mengecek pesan masuk, dia mendapatkan sebuah fakta mengenai pencuri itu yang dengan tenangnya berkeliaran di sekitarnya tanpa ia ketahui kehadirannya. Hal itu diketahuinya dari riwayat lokasi yang tercatat pada perangkat yang telah di oprek oleh pihak yang berkubu dengan Laya.
"Beri aku waktu tiga puluh jam, tolong jangan sakiti keluargaku."
Kirim.
Itu isi pesan yang dikirim perempuan cantik itu pada anonym pengirim pesan pada komputernya.
Sejenak Laya terdiam, dia melihat ke arah jendela yang menampakkan keadaan luar dengan cuaca redup berkabut. Tiba-tiba saja dia teringat kedua orang tuanya yang berada di perkebunan, Ami yang dia bahkan tidak tahu bagaimana keadaannya, juga Levi yang sudah tidak pernah lagi mengirimkan kabar padanya.
Laya segera beranjak dari kursinya dan bergegas keluar rumah untuk pergi menyusul ayah dan ibu. Dengan masih mengenakan pakaian tidur dan penampilan yang sangat tak keruan, ia berlari menuju kebun.
Dari kejauhan dia melihat kedua orang tuanya sedang berbincang dengan Pasukan Hijau. Darahnya langsung berdesir. Napasnya masih tersengal, ia memberanikan diri untuk mendekati orang tuanya.
Ketua Pasuka Hijau menoleh ke arah datangnya putri bungsu pak Mada itu, manik mata keduanya saling bertemu untuk beberapa detik. Laya menarik salah satu ujung alisnya saat dia melihat darah mulai mengalir dari hidung pria bersenjata itu.
"Bang Arlan baik-baik saja?" tanya Laya.
Ketua pasukan hijau itu hanya mengelapnya pelan dengan jemarinya lalu berbalik dan pergi ke perkebunan lain.
Laya termenung sejenak, merasa ada yang tidak beres dengan pria berbadan besar itu.
"Wahh ku rasa hari ini akan sangat cerah, lihatlah matahari telah mengunjungi kita," ujar ayah kepada ibu. Mereka merasa terkejut karena anaknya yang tidak pernah keluar rumah itu tiba-tiba mengunjungi mereka.
Laya berdecak ringan, dia malu.
"Apa mereka memperlakukan kalian dengan kasar lagi?" tanya Laya. Kedua orang tuanya hanya menggeleng bersamaan dan kembali membersihkan rumput pengganggu tanaman.
"Ada keperluan apa kamu ke kebun?" tanya ayah menyindir putrinya.
"Ah aku hanya ingin memakan timun segar, hehe,"
"Putiklah beberapa yang kamu butuhkan lalu segera pulang dan bereskan rumah juga siapkan makan siang," sahut ibu yang mengenakan topi bundar khas petani distrik.
Laya sedikit menekuk wajahnya, dia benar-bensr tidak menyukai pekerjaan rumah. Dia hanya ingin memastikan keadaan kedua orang tuanya tetap baik-baik saja setelah dia mendapatkan masalah.
Laya memutik beberapa timun segar untuk dibawanya pulang, sesekali dia menengadah untuk memastikan kalau langit perlahan mulai menampakkan wajah cerianya. Lalu dia memandangi kedua orang tuanya secara bergantian, membuat ibu merasa aneh dengan sikapnya.
"Ada yang ingin kamu bicarakan?"
Laya tersenyum kecil lalu menggeleng. Dia hanya bergumam lirih, "Aku akan melindungi kalian juga Ami dan Levi."
Laya bergegas kembali ke rumah dan melakukan semua kegiatan yang diminta oleh ibu dengan cepat kilat. Kepalanya kembali dipenuhi dengan masalah yang harus segera dia bereskan. Suara pemberitahuan dari computer yang menyala membuatnya gusar.
Data penduduk usia lanjut, para tunawisma, data anak yatim piatu baik yang diasuh oleh saudara maupun di panti asuhan. Semuanya ada di dalam penyimpanan milik gadis berambut panjang itu.
Total luas keseluruhan perkebunan yang digarap oleh para penduduk negeri, khususnya Distrik 25 pun tersimpan aman lengkap beserta detail nama pemiliknya.
Bahkan data anggota keluarga penduduk yang tinggal di luar daerah ataupun luar negeri, semuanya masih tersimpan dan terpantau dengan baik olehnya.
Menjadi salah satu anggota muda dari tim pengamanan negara yang tersembunyi, membuat Laya tidak pernah menampakkan diri pada siapapun. Dia menutup rapat tentang dirinya yang sesungguhnya dari masyarakat luas bahkan dari kedua orang tuanya.
Detail lengkap mengenai tiga pemuda dan pemudi yang ditarik paksa menjadi anggota pelatihan Pasukan Hijau, secara tidak langsung Laya lah yang memberitahukannya kepada time lit karena memang dia memiliki seluruh data kependudukan yang sangat mendetail yang selalu dia kirimkan kepada time lit tiap perbaharuannya.
"Jika mereka mengetahui semuanya dan berhasil menemukan cara untuk mengalahkan tim elit, nyawamu bahkan tidak cukup untuk membayarnya!"
Laya meneguk ludahnya. Dia segera mengambil air mineral untuk menetralisir diri.
"Ah mereka sangat takut terhadap pencuri data itu? Bukannya mereka hanya memerlukan darah untuk menyingkirkannya?" gumam Laya yang sesekali memijat dahinya lelah.
"Apa jumlah mereka masih sangat kurang?" Laya membuka beberapa foto dan video yang menampilkan pertarungan di tengah hutan juga puluhan pria berseragam yang tewas karena saling menghujamkan pedang.
"Ini bahkan sudah lebih dari cukup!"
Laya masih dengan cermat memainkan jemarinya d atas tuts computer. Dia sedang ingin menarik seluruh data yang telah terunduh dari perangkat si pencuri, sayangnya pencuri itu cerdik. Dia telah menyalinnya ke penyimpanan lain yang sama sekali tidak terhubung dengan perangkat lainnya.
"Ku harap, dia tidak secerdas diriku. Hanya data tidak penting yang dia salin, sekarang bersiaplah kamu tidak akan memiliki apapun!"
Klik
"Aaargghhh!!" Laya berteriak dan memukul meja spontan. Segera saja dia mengirim pesan kepada anonym dengan sangat marah.
"Hey! Kenapa diputus! Aku bahkan belum berhasil mengambil semuanya!"
"Ah kamu terlambat, aku telah memutus jaringan miliknya dan mengambil seluruh datanya. Sekarang, kamu dalam masalah besar!"
Laya termenung, urat lehernya sangat kaku karena menahan emosi.
"Apa anda sedang bercanda?" tanya Laya pada pesan singkat di komputernya.
"Ketahuilah aku tidak suka bercanda."
"Oh aku paham, anda akan membantuku melaporkannya kepada Presiden?"
"Tentu saja tidak!" balas anonym itu. "Silahkan kamu cari cara sendiri untuk menyelesaikan masalahmu. Dah!"
Koneksi terputus.
Sekali lagi, Laya memukul keras mejanya geram. Bisa-bisanya rekan satu timnya itu mengkhianatinya seperti ini. Dia bahkan telah membukakan akses untuk anonym itu agar dia dapat membantu pekerjaan Laya dan membereskan masalah. Tetapi dia ternyata berbohong dan memanfaatkan kemampuan Laya untuk kepentingannya sendiri.
"Argh! Dia bahkan memegang kendali terhadap jaringanku!" Laya menggengam selembar kertas sangat erat hingga tak lagi berbentuk.
Memang tidak mudah bekerja sama dengan seseorang yang memiliki hak dan kuasa diatas diri sendiri. Hal itu sudah dipahami oleh Laya, dia hanya terlalu percaya hingga harus tertipu bahkan untuk kedua kalinya.
***