Chereads / DISTRIK 25 : Sebuah Mimpi Buruk / Chapter 32 - Sosok yang sama

Chapter 32 - Sosok yang sama

=Author's POV=

Samar tapi pasti, para penduduk dapat mendengar ada sosok lain datang ke desa yang menyerang pasukan berkuda.

Pria itu hanya sendiri, dia mengenakan pakaian bertudung berwarna hitam dengan sedikit garis emas pada ujung pakaiannya. Dia membawa sebuah belati berwarna perak dan langsung menyerang salah satu pasukan berkuda yang diduga adalah ketua pasukan.

Keduanya sempat saling melawan dengan sengit. Tidak ada satupun dari pasukan berkuda ataupun penduduk desa yang masih sehat membantu pertarungan itu, semuanya hanya mengamati dengan masing-masing senjatanya.

Pria dengan belati menyerang pria berpedang dengan tendangan kencang pada wajah yang membuat tudungnya terlepas hingga menampakkan sebagian wajahnya yang tidak tertutup penutup wajah. Sorot mata pria berpedang tampak sangat tajam penuh amarah, maniknya tampak merah menyala dan kembali menyerang pria ber belati hingga terjatuh.

Terbanting hebat di atas tanah, pria dengan belati perak tersengal pasrah. Manik keduanya bertemu dengan kilaunya masing-masing.

"Mereka bukan musuh," suara pria dengan belati terdengar samar oleh sebagian penduduk yang berada di dekat perkelahian itu.

Suasana menjadi mencekam ditambah hawa panas desa yang terbakar membuat jantung pak Bano berdetak semakin kencang sekaligus menahan sakitnya kaki yang terluka.

Pria berpedang mengarahkan ujung runcingnya tepat pada mata pria dengan belati yang tergeletak menatapnya.

Seraya mendengus kesal, pria berpedang menarik pedangnya dan bergerak mundur. Hembusan angin pelan menyapa lembut rambut hitam pekat pria itu.

Pria dengan belati bangkit dengan perlahan, tudung kepalanya terlepas hingga menampakkan seluruh wajahnya. Bekas luka di ujung bibirnya tampak begitu jelas hingga mengeluarkan darah.

Hal yang membuat terkejut adalah, kedua pria itu tampak sama hanya kilauan netranya yang berbeda. Pria dengan belati itu bermanik keemasan, yang tidak kalah menarik dengan pria berpedang.

"Walaupun desa ini dibakar dimusnahkan, saat bulan muncul maka semuanya akan kembali normal kembali. Seharusnya kamu tidak perlu membuang tenaga untuk melakukan ini semua, karena mereka sama sekali tidak dapat menganggu kita," ujar pria dengan belati seraya mengelap ujung bibirnya yang berdarah dengan ujung pakaian panjang yang ia kenakan.

Pria bermanik merah masih diam.

"Ku kira kamu telah mengetahui semua persebarannya. Ternyata masih payah."

"Setidaknya aku tidak lebih payah darimu," sahut pria bermanik merah yang masih mengenakan penutup wajah. "Lalu kenapa kamu menyerangku dan membelanya hingga berdarah? Bukankah itu juga akan sia-sia?"

"Aku hanya berlatih," jawab pria dengan belati itu dengan dingin.

Pria berpedang mengernyitkan dahi tak suka. Dia segera mehela napas panjang dan kembali memasukan pedangnya. "Berhentilah mengganggu urusanku!"

Pasukan berkuda kembali menaiki kuda masing-masing dan berbalik arah meninggalkan pria dengan belati perak di tengah desa yang membara. Mereka melanjutkan perjalanan yang entah kemana, bersenjatakan pedang tajam mereka seolah siap untuk kembali menyerang siapapun yang akan ditemui.

Pria bermata indah itu kembali memasang tudung untuk menutupi kepalanya, dia berbalik hendak menengok keadaan desa tetapi pandangannya terarah pada sosok pria yang tampak bukan penduduk setempat.

Didekatinya pria yang tidak sadarkan diri itu, kakinya mengalami luka bakar yang cukup parah yang tidak dapat sembuh dengan segera. Pria itu meminta tolong pada penduduk desa yang masih baik-baik saja untuk membuatkan ramuan herbal guna mengobati luka pria itu.

Seorang pria dengan janggut lebatnya memberikan ramuan herbal itu lalu dioleskannya pada pria yang tersesat. Sungguh pria yang malang, dia hanya tersesat tetapi malah menjadi korban dari serangan misterius itu.

Pria bermanik indah yang juga tidak diketahui asal usulnya itupun berpamitan pulang dengan sedikit memberi pesan untuk dapat tidur nyenyak malamnya, karena besok adalah baru dan semuanya akan kembali baik-baik saja. Pria itu juga memberikan belati peraknya untuk kenang-kenangan sekaligus hadiah untuk penduduk desa yang telah bersikap baik terhadap pria yang tersesat. Dia juga sempat berpesan kepada penduduk desa agar selalu bersikap baik kepada siapaun yang tersesat di hutan.

Pria itu tahu betul kalau setelah matahari terbenam dan kembali terbit esok hari, memori para penduduk tidak akan mampu mengingat semuanya. Akan ada beberapa peristiwa yang mereka lupakan dan bahkan mereka tidak akan merasa kalau pernah mengalaminya, karena memang begitulah takdir dari desa itu.

"Kami kira anda salah satu dari mereka, Tuan" ujar salah seorang penduduk yang berbadan gempal.

"Memang benar, hanya kami memiliki tujuan yang beerbeda," sahutnya datar. Dia segera meninggalkan desa tanpa mengatakan apapun lagi.

Perawakan serta gaya berbicaranya tampak seperti seorang keturunan bangsawan, sangat elegan dan tenang. Tatapan matanya juga menampakkan kalau dia sebenarnya memiliki sisi yang sama mengerikannya dengan para pasukan berkuda yang bengis.

Matahari sudah tenggelam di ufuk barat membuat seluruh penjuru negeri gelap gulita, hanya sisa bara api yang tampak menyala menghangatkan suasana. Para penduduk membawa pria tersesat ke rumah salah satu penduduk dan merawatnya dengan baik.

***

Tidak dapat mengingat apapun, pak Bano kembali membuka mata saat ada seseorang yang menepuk pelan wajah seraya memanggil namanya.

"Ayah! Bangun ayah! Apa ayah baik-baik saja?"

Pak Bano terduduk dengan seketika saat mengetahui kalau suasana hutan masih sangat terang benderang dengan sosok putranya sedang memandanginya.

"Apa ayah baik-baik saja? Ku rasa ayah baru saja disengat sekelompok tawon hutan hingga pingsan," tambah Ge seraya mengumpulkan dedaunan untuk dibuatkan ramuan herbal.

Pak Bano masih diam dan memandangi kakinya yang masih melepuh. Dia sangat ingat dengan jelas kalau dia terakhir berada di desa tengah hutan hingga hari gelap dan mendapat serangan dari pasukan berkuda.

"Sudah berapa hari kita berada di hutan ini?" tanya nya bingung.

"Emm sekitar setengah hari, enam jam, ku rasa."

"Jangan bercanda, Ge. Jawab pertanyaan ayah dengan benar."

Ge menoleh seketika kepada ayahnya, "Aku tidak bercanda. Kita berangkat saat pagi dan kini matahari tepat berada di atas kepala kita. Apa ini sudah dua hari?"

Pak Bano memijat pelan kepalanya yang lelah, peluh masih mengalir di tubuhnya. Badannya terasa panas dingin tidak keruan.

Saat keadaan sang ayah membaik, Ge memutuskan untuk membantu ayahnya itu berjalan keluar dari hutan. Buah berry dan anakan pohon Lew diikatnya menjadi satu lalu dimasukan ke dalam keranjang bambu yang dapat di gendongnya di belakang sehingga tidak menganggunya berjalan.

Sang ayah menceritakan apa yang terjadi, Ge hanya tertawa kecil seraya mengiyakan. Dia hanya merasa kalau ayahnya dalam pengaruh racun saat terkena sengatan tawon hutan hingga berhalusinasi. Dia menebak-nebak berapa jumlah tawon hutan yang menyengat ayahnya hingga kondisinya seperti itu.

Kaki ayahnya melepuh sangat mengerikan, berhalusinasi juga meriang hebat. Dia hanya ingin segera pulang dan kembali merawat ayahnya di rumah dengan obat dan makanan yang baik.

***