Chereads / DISTRIK 25 : Sebuah Mimpi Buruk / Chapter 31 - Luka Bakar pak Bano

Chapter 31 - Luka Bakar pak Bano

=Author's POV=

Suasana siang di perkebunan yang panas dan tak berangin membuat para petani berisitirahat lebih lama di pondok. Seraya berkipas dengan benda sekitar, mereka menikmati menu makan siang.

Sudah hamper seminggu Distrik 25 mengalami cuaca panas tak berangin, bahkan saat malam pun udara terasa sangat panas hingga berpeluh. Bagi mereka yang memiliki pendingin ruangan, maka dapat dipastikan biaya penggunakaan listrik mereka melonjak karena harus selalu menyalakannya setiap saat.

Ada beberapa petani dari Distrik 24 yang sedang melakukan transaksi hasil kebun dengan pak Mada dan istri. Ketiga petani itu juga menyampaikan kalau di Distrik mereka pun sedang mengalami cuaca ekstrem, mereka juga membawa kabar kalau sekarang seluruh negeri rata-rata sedang merasakan cuaca yang sama.

Belum diketahui penyebab pastinya, tetapi para Pasukan Hijau sempat memberi info kalau peristiwa ini terjadi karena kebakaran hebat di lahan gambut perbatasan daerah Timur dan Selatan lebih tepatnya pada Distrik 7 dan 8.

Pasukan Hijau hanya meminta kepada para petani untuk tetap menjaga tanaman mereka agar tidak gagal panen karena kekeringan. Beberapa pekerja telah diminta untuk melakukan pengerukan sungai guna mencari sumber air yang lebih banyak untuk pengairan kebun.

Pak Bano adalah salah satu petani yang paling mengeluh saat ini. Bagaimana tidak, putra bungsunya yang selalu membantu kini sedang tidak ada sehingga membuatnya harus bekerja keras sendirian di kebun.

Seringkali beliau menanyai pak Mada mengenai kabar putrinya yang juga sedang tidak di rumah. Mereka masih memikirkan apa yang sedang anak mereka alami dan kapan mereka akan pulang dan kembali ke Distrik.

"Ku rasa kita harus mempercayai mereka," ujar pak Mada yang pandangannya mengarah ke Pasukan Hijau yang sedang menghitung muatan hasil kebun para petani.

Bold, salah satu anggota Pasukan Hijau yang berbadan besar telah mengatakan kalau anak dari para petani itu aman dan sedang memperjuangkan hak warga kembali seperti awal. Walau tidak begitu meyakinkan, tetapi pak Mada berusaha tenang dan berpikir positif kalau yang pria besar itu katakana adalah kebenaran.

Pak Mada memandang sejenak ke langit, benar-benar kosong tak berawan hanya cahaya matahari yang memenuhi cakrawala dengan panasnya. Wajah tampannya yang menua menampakkan kekhawatiran terhadap putrinya.

Pandangan pria itu teralih ke tetangganya yang sedang memijat kaki tuanya. Terlihat dengan jelas bekas luka bakar di kaki kanan pak Bano yang didapatnya sekitar dua tahun yang lalu. Sangat luas lukanya, pak Mada sedikit mengernyitkan dahi seolah dapat merasakan nyeri saat luka itu masih basah.

"Apa itu sudah baik-baik saja?" tanya nya yang dijawab oleh pak Bano dengan anggukan pelan.

Pak Bano pernah bercerita kepada pak Mada mengenai kronologinya. Dia tidak begitu yakin itu adalah peristiwa asli, tetapi luka yang ia dapat adalah luka asli.

Sekitar dua tahun lalu mantan Staff Gedung Kuning itu sedang pergi ke hutan di daerah Timur bersama putra bungsunya, Ge, untuk mencari bibit pohon Lew dan buah Berry hutan untuk di tanam dan dikembangkan di Distrik 25.

Mereka masuk hingga ke hutan bagian dalam, saat Ge sedang sibuk memutik buah Berry, pak Bano masih terus berjalan mencari anakan pohon Lew.

Saat sedang mengumpulkan beberapa batang anakan pohon Lew, dia mencium aroma daging bakar yang sangat lezat. Dilihatnya sekitar, sedikit tertutup semak dia melihat sebuah desa dengan jumlah penduduk yang tidak banyak. Ada seorang pria berjanggut dan seorang wanita paruh baya yang ia rasa ia mengenalnya, yaitu bu Gean, yang tidak lain adalah adik dari pak Mada yang tinggal di Distrik 23.

Walau mengenalnya, pak Bano tidak dapat yakin dengan apa yang ia lihat karena perempuan itu tidak mengenalnya bahkan merasa tidak pernah bertemu sekalipun dengan mantan Staff Gedung Kuning itu.

Pak Bano belum pernah berinteraksi secara langsung memang dengan bu Gean, hanya dia menyakini sosok wanita itu karena pernah beberapa kali melihatnya saat berkunjung ke rumah pak Mada. Pak Mada tidak pernah meresponnya tentang hal itu, beliau hanya berfikir kalau wanita itu hanya mirip dengan adiknya. Karena kabar terakhir yang ia tau, bu Gean dan suaminya, pak Hedi, sedang berada di daerah Timur sebagai tawanan elit Negara karena melanggar perintah.

"Atau mungkin mereka sudah di tawan di tengah hutan? Tapi aku tidak ada bertemu dengan pak Hedi." Begitu kata pak Bano saat bercerita dulu.

Pak Mada mehela napas dalam, beliau kembali siap mendengar kisah tetangga sekaligus kerabat dekatnya itu mengenai sosok pria yang menyelamatkannya saat ada penyerangan di desa tengah hutan itu. Entah telah kali keberapa beliau mengisahkan kepada pak Mada, ayah Ami itu masih saja bersemangat saat mendengarnya.

Pak Bano masih merasa kalau itu hanyalah mimpi, tetapi bekas lukanya membuatnya tersadar kalau dia itu adalah nyata hanya tidak dapat dijelaskan dengan nalar.

Saat berada di desa tengah hutan itu, pak Bano dijamu dengan baik oleh sepasang suami istri yang sedang memanggang kelinci. Beberapa penduduk desa yang lain pun memperlakukannya dengan sangat baik, semuanya ramah.

Yang paling beliau ingat adalah minuman berwarna merah yang memiliki rasa unik tetapi sangat menyegarkan. Minuman yang disebut Lewine Darah oleh penduduk desa itu, bagaimana tidak, warna merahnya benar-benar akan mengingatkan siapapun yang melihatnya mengenai darah segar yang tergenang pada sebuah wadah.

Pak Bano bilang, Lewine itu memiliki kadar alkohol tinggi disbanding Lewine pada gedung Kuning semasa dia masih bekerja. Mengenai aroma, minuman di Gedung Kuning jauh lebih memikat tetapi untuk rasa, minuman di desa itu tidak ada duanya, sungguh membuat ketagihan.

Pak Mada sedikit mengecap membayangkan, beliau bahkan belum pernah merasakan minuman di Gedung Kuning sehingga dia hanya menebak-nebak soal rasanya.

Alkohol bukanlah minuman yang disediakan di rumahnya, sehingga beliaupun tidak pernah mengetahui rasanya. Ketiga putrinya selalu dilarang untuk mengonsumsi minuman jenis itu, karena baginya minuman itu hanya untuk obat orang-orang dengan beban pikiran yang tinggi. Sementara mereka hanyalah penduduk Distrik sederhana yang selalu bahaga, sehingga tidak membutuhkannya.

Pak Bano melanjutkan ceritanya.

Ketika hari sudah semakin gelap, putra sulungnya tak kunjung menyusul ke desa. Beliau hendak berpamitan dan pulang, tetapi disaat yang bersamaan ada sejumlah pasukan berkuda yang mengenakan tudung dan penutup wajah berbaris mengepung desa dengan senjata lengkap.

Hanya dalam hitungan detik, semua penduduk termasuk pak Bano telah ditangkap dan seluruh desa di bakar oleh kelompok pria serba hitam itu.

Para pria misterius itu sedikit mengendus badan para penduduk sebelum menanyai tentang identitas lengkap mereka. Pedang panjang nan tajam menempel manis di leher para penduduk yang ditawan, jika bergerak sedikit saja maka nyawa akan melayang.

Sebagian warga melawan hingga terjadi pertumpahan darah yang tidak sedikit. Entah bagaimana bias, para pria misterius seakan dapat mengendalikan api hingga membuatnya semakin membara dan melalap habis semua yang ada tidak luput para penduduk juga terkena percikan hingga kobaran api yang menyala.

Pak Bano yang juga ikut melawan terkena serangan api tepat di kakinya, beliau segera menghampiri air tetapi api bukannya mati tetapi malah semakin menjalar hingga membakar sebagian celana yang ia pakai juga melukai kakinya.

Tidak membutuhkan waktu lama, para pria bertudung telah berhasil menaklukkan desa dan menghanguskannya total.

***