Sore ini sungguh indah, tasbih angin meniup-niup telingaku sepertinya mau turun hujan. Awan semerah sagah diarah barat. Mengisyaratkan bahwa diriya sedang manunggaling kaulo gusti, diakhir hidupnya sore ini.
Para malaikat penghuni petir menggelegar mengamini bacaan kematian yang khosnol khotimah. Bayangan ibu dan Bapak menari- nari di pelupuk mata. tetesan air bening berjatuhan dari mataku. Membasahi bumi dan mengiringi tasbih angin, dalam pengamitan dirinya kepada Sang Pencipta.
Aku harap hujan tak turun sore ini. Aku tidak ingin hujan menghambat jalan teman-teman yang mau belajar mengaji. Aku lihat kak Syarif, dengan adiknya sudah datang dari arah barat naik sepeda ontel berboncengan. Sambil membawa plastik merah di tangan kirinya. Pelastik tersebut berisi kitab-kitab, dan buku.
Kak Syarif, adalah santri kesayangan guru kami. Hampir tak ada kecangkolangan (1) yang dilakukan olehnya. Sekalipun dia adalah anak orang kaya, dia tidak bersikap seperti ana-anak orang kaya pada umumnya.
kesombongan tidak perna tersirat dalam otaknya yang cerdas. Dia mudah bergaul dengan siapa saja, baik dengan santri putri maupun santri putra.
"Assalamualaikum Ries". Dia terun dari sepedanya dan membawanya ketempat parkir.
" waalaikum salam kak". Jawabku dengan hormat.
"Ha ha ha, kamu ini gak gembira melihat temanmu datang, tidak malam enggak siang. Kamu selalu murung, apa sih yang kamu fikirkan?. Tanyanya kepadaku, berlagak detektif.
"Mikirin mbak Habibah tuh kali kak, Hiii", timpal adiknya yang mengetahui hubunganku dengan Habibah. Sambil menunjukkan giginya yang berbehel.
"Enggak kok, Is. buat apa aku harus mikirin dia". Elak diriku terhadap pernyataannya, sambil mengerutkan dahi.
"Cieyi cieyi, jangan gitu dong mas, aku sudah tahu semuanya kok. Tadi siang mbak Habibah cerita semuanya kepada aku di sekolah". Aku mendengarkan ceritanya sambil mengerutkan dahi tak percaya. Aku sungguh tidak menyangka ternyata perempuan mudah curhat sesama teman perempuannya.
"Bohong kumu, Is. kamu tu kalo bicara jangan suka bohongin orang". Ku justifikasi dia agar menceritakan tuntas, cerita Habibah tentang aku kepadanya. Karena aku tahu karakter Iis yang masi polos, aku yakin dia pasti terjebak dalam perkataan ku.
"Enggak kok aku enggak bohong. Mbak Habibah beneran cerita sama aku, kalo mas itu tadi malem memegang tangannya and…..," dia tertawa sambil menudingku, seolah menyeruhku untuk jujur.
"Dan apa?" tanyaku penasaran. Dasar wanita tak bisa jaga rahasia, celetukku dalam hati.
"Dan tangan mas dingin katanya he he he" dia malu-malu menyampaikannya kepadaku, jadi ikut malu pulah diriku.
"Mbak Habibah bilang mas itu penakut". Sambil tertawa terbahak.
"Maksudnya?" tambah penasaran saja diriku, ceria apa saja dia, pikirku.
"Pikir sendiri deh mas, mbak Habibah tu, mengharapkan mas jadi pacarnya. Dia sangat mencintai kamu mas. Tapi mas tak pernah memahami perasaannya", tegurnya kepadaku sambil cemberut.
"Aku masuk duluan Ries, mau adzan maghrib". Pamit kak Syrif kepadaku, mungkin dia jenuh mendengarkan obrolanku dengan adiknya.
"Silahkan kak", izinku santun.
"Kamu mau bareng sama aku, atau masih mau disini ngobrol Is?". Tanya kak Syarib pada adiknya pelan.
"Aku masuk duluan iya mas, tembak saja dia. Jangan terlalu banyak mikir, entar diembat orang lain baru tahu rasa kamu". Nasehatnya kepadaku sebelum masuk kedalam langgar.
Do'a ku terkabul awan hitam di atas kapala di hempas angin kearah timur. teman- teman mulai berdatangan untuk menimbah ilmu agama di langgar tua K.H.Mutik Ullah.
Beliau adalah seorang pendatang dari desa Alkarawi kecamatan ganding sumenep. Dan menetap di rumah utuk meyebarkan agama islam yang dibawah mahluk paling sempurnah didunia ini.
K.H.Mutik Ullah, tergolong wali Allah, yang di anukgrahi karomah luar biasa oleh Sang Pencipta. Beliau mampu berjalan diatas air dan menangkap ikan dengan karung besar hanya dengan sekali menyelamkan dirinya kelaut. Ikan-ikan masuk dengan sendirinya ke dalam karung yang dibawa. Cerita ini aku dapatkan dari orang-orang kampung.
Orang-orang pesisir Pantai Salopeng mengagumi karomah yang dimilikinya. Sekalipun peralatan orang pesisir pantai salopeng memiliki alat lengkap disertai perahu. Namun hasil tangkapannya tidak mampu menyaingi tangkapan beliau. Tak kurang dari limah orang setiap hari suan kerumah mertua guruku. Ada yang dari jawa yang ikut suan untuk belajar disiplin ilmu yang dimiliki. Serta kebutuhan lain yang menyangkut duniawi. Sayangnya aku tak dapat belajar mengaji kepada beliau. Karena Sang Khalik, telah memanggil untuk kembali kepangkuannya.
Konon katanya perartara wafatnya disebabkan oleh penyakit yang tak dapat terditeksi oleh alat medis. Setiap hari beliau berjemur di bawah terik matahari. Beling-beling keluar dari dalam kulitnya.
Ngeri bilah mendengar cerita orang kampung tentang penyakitnya yang aneh. Pada dasarnya aku tidak percaya pada penyakit seperti itu. Namun waktu dan zaman menunjukkan aku pada sebuah realita. Bibik, Paman dan sepupuku. Kak Samsukdin yang waktu itu masih ada di pesantren Nurul huda Pangelen. Kematianya juga disebabkan oleh penyakit yang sama persis dengan penyakit yang diderita beliau.
Kini yang meneruskan perjuangannya K. H. Mutik Ullah adalah putri semata wayangnya, dan murit yang di angkat menjadi menantu. Yaitu guruku K.H, Zaujan. Desaku sempat asah semenjak ditinggal olehnya, tetapi guru mampu mengembalikan keadaan menjadi bercahaya kembali.
(1) janggal