Chapter 26 - Quickie

Sialan. Lisa duduk terdiam, kehilangan kata, sebab Lisa tidak menduga Oscar bakal mengetahui soal pinjam uang. Lisa menggenggam roknya dengan erat. Ia benar – benar tidak tahu harus menjawab apa. Respon tubuhnya sudah sangat menggambarkan jawaban yang ingin dilontarkan Lisa.

Pria itu menatapnya dalam – dalam. Sesekali menyunggingkan bibir seksinya dan menopang dagu. Menunggu Lisa yang terdiam terpaku untuk mengeluarkan suara. Akhirnya wanita itu angkat bicara, "Apa maksud anda saya butuh uang berapa?"

"Lisa kamu jangan pura – pura tidak tahu. Kamu kan sudah saya bilang, kamu tidak lihai berbohong. Saya tahu apa yang kamu bicarakan dengan Andien di kantin tadi."

Lisa masih duduk terdiam di tempatnya. Keringat dingin mengucur perlahan dari balik lehernya yang tertutup kerah baju. Kakinya sedikit gemetaran dan kedinginan. Lisa membuang muka, menutupi ekspresi malunya dari atasannya itu.

Pupil mata Oscar mengecil, ia menyipitkan mata seraya berkata, "Saya tidak suka dengan sikapmu yang suka menyembunyikan masalah Lisa, jika kamu memang butuh bantuan mengapa kamu tidak segera beri tahu saya?"

Lisa semakin tegang dibuatnya. Ia kembali melirik sekeliling ruangan itu, memikirkan jawaban untuk keluar dari percakapan itu. Lisa benar – benar dalam masalah pikirnya.

"Kau pikir lamaran pernikahan saya itu bercanda? Hanya sebatas agar anak itu masa depannya cerah? Kamu selalu mencoba menyelesaikan masalahmu dengan tanganmu sendiri, baik saya senang kamu mandiri. Tetapi kali ini kamu harus meminta bantuan! Saya selalu siap membantumu Lisa! Saya ini calon suamimu!"

Lisa semakin terdiam membisu. Ia hanya menundukkan kepalanya dengan lemas.

"Ya sudah, jadi berapa yang kamu butuhkan untuk menutup semua tagihanmu? Saya beri kamu uang tunai jika mau."

Oscar membuka tas yang ada di samping mejanya, ia mengeluarkan satu amplop cokelat dengan tali dan diserahkannya kepada Lisa.

"Ini, 1000 USD tunai. Atau kamu lebih suka Rupiah?"

"Rupiah saja Pak," ucapnya sopan dan lirih.

Oscar membuka laci mejanya dan mengeluarkan segenggam uang berwarna merah dan menghitungnya. Dimasukkannya segenggam uang itu ke dalam amplop, dan menyerahkannya kepada Lisa.

"Saya berniat untuk mengembalikan uang anda Pak. Saya berjanji. Potong gaji saya sebagai gantinya."

Oscar tergelak singkat menertawakan wanita yang duduk terdiam di hadapannya."Kamu ini bercanda Lis! Ambil saja uang itu! Apa sih yang tidak buat kamu? Kamu juga habis ini menikah dengan saya. Anggaplah ini sebagai hadiah sebelum pernikahan!"

"Pak soal ajakan menikah itu, saya masih belum bisa memutuskan. Saya masih harus menyelesaikan urusan rumah tangga saya..."

"Lisa sayang," ucapnya halus. Pria itu bangkit dari kursinya dan duduk di depan Lisa. "Aku mungkin tidak tampak ramah dan hangat, tetapi kamu adalah calon istriku. Kamu tidak perlu sungkan untuk meminta tolong."

Tangan kokoh pria itu membelai lembut pipi Lisa. Lisa tidak mampu menahan air matanya. Ia sangat beruntung Oscar mau menolongnya, meski sesungghnya Lisa gengsi untuk meminta bantuan dari pria itu.

Diraihnya amplop cokelat itu dan memasukkannya ke saku blazernya. "Baik pak, terima kasih atas bantuannya."

"Eits, panggil Oscar saja. Selama kita membicarakan sesuatu di luar pekerjaan, jangan panggil aku dengan panggilan formal. Mengerti?"

Lisa mengangguk dan membalikkan badan, ia berniat untuk kembali ke mejanya dan menyelesaikan pekerjaan yang tak kunjung selesai.

Oscar menarik lengan Lisa yang tengah beranjak dari tempat duduknya. Oscar tersenyum lebar. Entah bagaimana pria itu sudah berdiri di depannya. Menatapnya lekat – lekat, membuat bulu kuduk Lisa merinding. Rasa gelanyar mulai menggerayangi sekujur tubuh Lisa.

Napas Lisa memburu. Jika tidak menarik napas sedalam – dalamnya, ia harus menggunakan tabung oksigen untuk bernapas. Apa yang diinginkan oleh pria ini?

"Pak Oscar, tolong lepaskan saya. Saya mau kembali bekerja," ucapnya singkat.

Alis mata Oscar terangkat. "Bukannya saya tadi menyuruhmu untuk istirahat ya Lisa?"

"Sudah satu jam pak, saya harus kembali dengan laporan yang belum saya kerjakan."

Ekspresi keheranan menghiasi bibir Oscar. "Kamu yakin tidak ingin beristirahat lebih lama? Satu jam lagi saja? Kasihan bayi yang ada di dalam perutmu," ucapnya halus seraya meletakkan telapak tangannya yang jauh lebih lebar daripada Lisa di perut Lisa yang masih terlihat rata.

Lisa tidak mampu bergerak. Perbincangan yang tadinya merupakan percakapan semi formal antara seorang pria dengan calon istrinya yang membutuhkan bantuan finansial kini berubah sedikit lebih menegangkan. Apa lagi yang akan dilakukan pria ini kepadanya?

Lisa segera mengalihkan pandangan dari wajah Oscar yang memindai tubuh Lisa dan memohon pada semesta agar Oscar melepaskan cengkeramannya.

Lisa melirik ke bagian pangkal paha pria itu, celana kain yang dikenakan pria itu sedikit berkerut dan menonjol. Lisa masih bisa mengingat seberapa besar ia membayangkan Pria itu berada di antara kedua kakinya. Tidak – tidak, Lisa tidak ingin melakukannya lagi di kantor! Tetapi tubuhnya tidak dapat membohongi hasratnya yang paling dalam.

Oscar masih menggenggam kedua tangan Lisa. Menatap wanita itu dengan tatapan penuh hasrat. Oscar menggigit bibir bawahnya pelan. Senyuman miring yang ia perlihatkan kepada Lisa membuat Lisa semakin goyah.

"Mengapa kita tidak bercinta lagi seperti sebelum – sebelumnya?" ucap Oscar dengan suara rendahnya.

Jemari – jemari pria itu perlahan melepaskan Lisa dari genggamannya.

"Lisa, tolong kunci pintunya," perintah Oscar lembut di telinga Lisa.

Tidak banyak bicara, Lisa langsung mengunci pintu ruang presdir. Ia masih berdiri di depan pintu itu, terpaku. Oscar kembali mendekap Lisa dari belakang. Alih – alih menepis pria itu, Lisa justru membiarka pria itu mendekapnya dengan erat. Hidung pria itu menghirup parfum yang menempel di tengkuk Lisa. Sangat memabukkan.

Dengan lutut yang hampir lemas, Lisa mencengkeram turtleneck Oscar sementara tangan lainnya menyisir rambut ikal Oscar. Udara di ruangan itu mendadak hangat. Oscar mencium leher Lisa hingga nyaris jatuh dibuatnya.

Bibirnya menguasai wanita itu dengan hasrat menggebu yang tidak menyisakan ruang untuk Lisa kabur. Persetan dengan laporan – laporan yang tak kunjung selesai. Mereka bersatu dengan sempurna dalam posisi masih mengenakan pakaian mereka masing – masing.

Panas yang membara di antara mereka pasti telah memecah kedinginan ruangan itu. Jemari lentik Lisa menyusuri ikal emas Oscar, mencengkeram helai – helai lembut selagi menariknya mendekat.

Beberapa saat sebelum tubuh mereka berpiting di atas karpet lembut, Lisa berjanji kepada dirinya untuk tidak bercinta di saat jam kerja. Entah apa yang telah merasuki Lisa saat itu, namun ia sangat menginginkan Oscar diantara kakinya. Terkadang ia merasa sangat bodoh karena mudah sekali terpengaruh oleh pesona dan daya tarik seks yang kuat dari pria berambut pirang itu.

Lisa membeku. Seolah – olah semesta memberinya satu kesempatan untuk mendengarkan akal sehatnya. Namun terlambat. Oscar sudah merangsek kedalam dirinya. Lisa sudah dikuasai oleh hasrat terpendamnya.

Mata Lisa terbelalak, wanita itu mengerang dan mendekap Oscar sampai – sampai Oscar kehilangan kendali.

"Kau suka itu, sayang?"

Dan Lisa pun telah mencapai puncak, bersamaan dengan pria yang mendekapnya itu. Pelepasan itu memberi Lisa kenikmatan hingga sekujur tubuhnya kebas dan gemetar. Keduanya ambruk di atas karpet halus yang bersih itu.

Napas Lisa terengah – engah begitu pula dengan Oscar. Lisa melirik jam yang terpasang di dinding ruangan itu, berusaha bangkit dan membetulkan kancing bajunya.

"Pak, sudah waktunya kembali kerja!"