Pagi menjelang, Lisa dan Andien kembali bekerja seperti biasanya. Hari itu jalanan lumayan lancar sehingga keduanya masih ada waktu untuk mampir drive thru di kedai kopi ekspres. Sesampainya di kantor, Kedua wanita itu melenggang ke ruang masing – masing.
Kali ini Lisa tidak mengenakan pakaian kantor yang seksi seperti biasanya. Ia hanya mengenakan blazer warna merah muda kedodoran dan celana panjang abu – abu milik Andien. Seketika seluruh pegawai kantor yang biasa melihat Lisa mengenakan pakaian kantor yang serba mini dan ketat terheran – heran.
"Lis kamu kesurupan jin parahyangan ya? Tumben nggak pake rok mini lagi!" cibir salah satu karyawati.
"Nyai Roro Kidul kali! Eh tapi blazernya pink, harusnya hijau dong? Hahahaha!" timpal salah satu karyawan.
Lisa tidak menggubris cibiran kedua rekan kerjanya itu. Yang terpikir olehnya hari ini hanyalah pekerjaan yang belum ia selesaikan kemarin dan bagaimana ia harus berhadapan dengan Oscar. Bisa celaka jika jadwal harian Oscar berantakan gara – gara kemarin ia sakit!
Lisa tidak menaiki anak tangga seperti biasanya, keadaan fisiknya mulai melemah sejak ia hamil, dokter juga menyarankan agar tidak terlalu mengeluarkan banyak tenaga agar fisiknya tetap sehat.
Sesampainya di dalam lift, ia menekan tombol naik dengan santai. Di dalam, ada seorang karyawati dari departemen desain dan dua karyawati dari personalia menyapanya pagi ini.
"Lisa kamu kemarin sakit apa?" tanya salah satu karyawati dari personalia.
"Lis kamu ga apa – apa kan?" si karyawati dari departemen desain ikut menimpali.
Tak mau ketinggalan pula karyawati kedua dari personalia ikut bertanya. "Pak Presdir nggak gangguin kamu kan?"
Lisa menghela napas panjang. Sejak kejadian pingsan kemarin, seluruh kantor seperti mendadak peduli padanya. Bahkan sejak ia menjabat sebagai sekretaris pribadi Oscar, nama Lisa telah menggema dari lantai paling atas hingga lapangan parkir!
Lisa hanya mengangguk dan tersenyum tipis. "Tenang saja, aku tidak apa – apa kok!"
Ketika pintu lift terbuka, Lisa disuguhi pemandangan tidak menyenangkan.
"Hey jalang! Kenapa kamu tidak berlama – lama saja di rumah sakit!?" ejek Karina di depan pintu lift. Melihat riasan noraknya semakin membuat lisa jengkel ingin menghajar wajah wanita jahat itu.
"Balik sana ke ruanganmu Bangsat!" bentak Lisa dengan lantang.
Beberapa saat kemudian, sampailah Lisa di depan ruang presdir. Ia mengetuk pintu dengan mantap. Oscar sudah terlebih dahulu di dalam, berkutat dengan tumpukan kertas dan map yang seharusnya ia selesaikan kemarin. Jantung Lisa berdegup begitu kencang seperti akan copot dari tubuhnya. Apakah Pak Oscar akan menghukumnya?
Dengan mengendap – endap, Lisa meletakkan tas jinjingnya serta menarik kursi mejanya. Suara derap sepatu hak tingginya terdengar oleh Oscar.
"Selamat pagi Lisa, sudah sehat?" tanya pria itu lugas, kepalanya menunduk membaca lembaran – lembaran kertas, tangannya menggenggam sebuah pena mahal berlapis emas.
Lisa menjawabnya dengan suara lirih, sedikit takut. "Sudah Pak, maaf kemarin saya sampai jatuh sakit..."
"Tanpamu kemarin jadwal saya lumayan berantakan. Terpaksa Karina yang menggantikan posisimu untuk sementara," tukas pria itu dingin.
"Anda bercanda Pak!"
Pria itu kemudian tekekeh, melirik ke wajah Lisa yang keheranan. "Tentu saja lah saya bercanda. Saya tidak suka wanita ganjen seperti dia. Bikin kerjaan saya terhambat saja."
"Soal kemarin maaf, saya tidak bisa menjenguk. Ada rapat yang harus dilaksanakan. Pengganti sementaramu juga kemarin kerjanya tidak se-efisien kamu," tambahnya.
"Terima kasih Pak."
"Loh, kenapa berterima kasih? Saya merasa tidak melakukan apapun untukmu kemarin." Suara pria itu mendadak agak meninggi.
"Iya, tetapi anda kan yang membayar biaya pengobatan kemarin?"
"Kalau itu sih tidak perlu dipertanyakan lagi sayang, lagipula kamu kan calon istri saya."
"Eh anda jangan berharap saya masih mau menikah dengan anda ya!" sergah Lisa sambil menyalakan komputer.
"Kamu memang pandai Lisa, tetapi satu – satunya hal yang kamu tidak pandai adalah berbohong." Pria itu menyunggingkan seringai. Matanya bertukar pandang dengan Lisa. "Jadi, berhentilah menyembunyikan rahasia kepada saya."
"Maksud bapak?" Jantung Lisa berdegup kencang mendengar pernyataan pria berambut emas itu.
Dalam hati Lisa menaruh rasa curiga dari mana pria ini tahu bahwa dirinya hamil. Seingatnya, kemarin Oscar tidak menjenguknya sama sekali. Sekejap Lisa ingat akan perbincangannya dengan asisten pribadi Oscar. Ini pasti ulah Dani Sihotang! Si raksasa gempal itu pasti memberitahu Oscar!
Sejak menjadi sekretaris pribadi presdir, Lisa hampir tidak punya waktu luang sedikitpun. Ia bahkan sudah lama tidak nongkrong bersama dengan Andien dan curhat soal lika – liku hidupnya kepada Dimas di Sky Lounge. Apalagi mencari lelaki lain untuk dijadikannya kekasih. Satu – satunya lelaki yang dekat dengan Lisa saat ini hanyalah Oscar. Dan bersamanya pula Lisa bercinta di kantor.
"Begini Lisa." Oscar bangkit dari kursinya kemudian duduk di ujung meja kerja Lisa, kaki jenjangnya disilangkan, kepalanya menunduk mengamati Lisa. "Kalau saya jadi kamu, saya langsung terima permintaan nikah ini. Kalau di negara saya berasal sih, tidak menikah pun tidak masalah, masa depan anak tetap terjamin. Tetapi kamu paham betul kan, di negaramu ini anak diluar nikah tidak diakui secara formal? Kamu mau anak itu masa depannya suram?"
Lisa menunduk, menjawabnya dengan suara lirih dan gemetaran "Tentu tidak Pak."
"Berarti sudah jelas kan jawabannya? Penawaranku ini tidak akan mungkin kamu tolak!" ujar Oscar dengan percaya diri. Ia tersenyum penuh kemenangan.
"Tetapi Pak, izinkan saya untuk berpikir lebih lama. Saya tidak bisa memberi keputusan hari ini. Apa lagi saya masih bekerja di sini."
"Haha! Untuk apa kamu bekerja jika kau sudah punya suami seperti saya? Masalah finansialmu dijamin pasti aman hingga usia senja nanti! Tidak perlu mengkhawatirkan soal pekerjaan lah!" jelasnya dengan nada sombong.
"Tetapi Pak, saya masih ingin bekerja!"
"Baiklah jika demikian, saya beri dua pilihan. Kamu menikah dengan saya atau," pria itu membuka laci mejanya dan mengeluarkan setumpuk uang dan diletakkan di atas meja tepat di hadapan Lisa. "Kau pastikan anak yang kau kandung itu besok sudah lenyap dari perutmu!"
Lisa hanya bergeming, tertegun melihat tumpukan uang dan mendengar kalimat terakhir dari Oscar. Sejenak ia merasa sangat bodoh sekali mau diperdaya oleh pria asing berduit demi nasib ibu dan adiknya. Antara membunuh janin yang ada di dalam kandungannya atau menikah dengan Oscar. Sungguh pilihan sulit!
"Sudahlah, jangan sok bisa segalanya kamu! Bahkan gaji bulananmu tidak sanggup untuk membayar kebutuhan hidupmu. Terutama biaya berobat ibumu dan uang kuliah adikmu!"
Dari mana pria ini tahu soal biaya berobat ibu dan adiknya yang masih kuliah? Setaunya, Lisa tidak pernah bercerita soal keluarganya kepada Oscar. Tidak sedikit pun!
"Ini pasti ulah Karina si bangsat itu!" gumamnya dalam hati.
"Jangan kaget, saya tahu semua rekam jejakmu. Tidak perlu kamu tahu dari mana saya mengetahuinya. Yang jelas, saya beri kamu waktu seminggu untuk memutuskan apakah kau bersedia menikah dengan saya atau melenyapkan janin yang kau kandung saat ini!"
Oscar melanjutkan dengan nada mengintimidasi, "Jika tidak, tanggung sendiri akibatnya. Namamu pasti tercemar di kantor ini, mungkin di seluruh ibu kota jika kamu paham maksud saya."
"Baik Pak, saya akan mempertimbangkan penawaran anda.." ucap Lisa lesu.
Oh ya Lisa satu lagi," Pria itu menarik blazer pink Andien yang dikenakan Lisa. "Kamu tidak cocok menggunakan pink!"
"Maaf Pak, baju saya kotor semua. Ini baju pinjaman."
Malam menjelang, Lisa telah selesai dengan pekerjaannya. Saatnya untuk pulang. Hari yang sangat panjang pikirnya. Ternyata hamil membuat pekerjaan yang biasanya ia lakukan dengan ringan dan lancar menjadi semakin berat dan melelahkan. Lisa memijat pelipisnya yang mulai pening.
Tiba – tiba handphone Lisa berdering. Ia mengambilnya dan mengangkat telepon dari Ibunya.
"Lisa, kamu tidak apa – apa kan nak? Kemarin kok tidak pulang ke mana saja kamu?" tanya seorang wanita paruh baya di seberang.
"Maafkan Lisa bu, kemarin Lisa menginap di apartemen Andien. Lisa kemarin lembur jadi tidak sempat pulang ke rumah."
"Kamu biasanya biar lembur juga pulang ke rumah kok. Tumben kamu nginep di tempat Andien?"
"Ya sesekali boleh lah bu, Lisa juga bosan kalau di rumah terus.."
"Sebenarnya ibu mau cerita sesuatu Lisa. Ini tentang rumah kita.. Ibu minta kalau Lisa bisa, hari ini pulang ke rumah ya?"
"Baiklah bu, Lisa nanti pulang ke rumah."