Chapter 11 - CEO Baru itu . . .

Sembari bergelut dengan tumpukan laporan - laporan itu, Lisa menelepon OB untuk membawakannya secangkir teh. Matanya masih sembab, pikirannya masih kacau meski efek alkohol hasil mabuk dua hari silam sudah lewat. Lisa berharap secangkir teh panas mampu meredakan rasa tidak nyamannya saat ini. Ia mengerjakan laporan - laporan yang menggunung tersebut dengan sangat tidak bergairah. Ingin segera Lisa pulang dan merebahkan tubuhnya yang lesu itu.

Lima menit setelah itu, seorang OB dengan seragam berwarna biru dan celana hitam melangkah masuk membawa nampan, di atasnya adalah secangkir teh panas. Asapnya mengepul dari cangkir tersebut. Melihat kepulan asap teh itu dari meja kerjanya, Lisa semakin tergoda untuk segera menyesapnya.

"Ini Mbak Lisa tehnya," ucap si OB dengan senyum sumringah.

"Terima kasih Mas Joko." Lisa meraih cangkir itu dan mengendusnya. Aroma teh bunga mawar memenuhi rongga dada Lisa yang menyesak, seketika pikiran Lisa menjadi lebih rileks. Ia bisa melanjutkan laporan - laporan bedebah itu kembali.

"Eh anu mbak Lisa," tanya si OB lirih. "Apa benar ya gosip Mbak Lisa sudah tidak pacaran dengan Mas Aditya?"

"Haduh, ini pasti ulah Karina lagi!" Lisa menghela napas dan memutar matanya.

"Soalnya Mbak, saya tidak percaya dengan omongan Mbak Karina dari lantai dua. Jadi saya mau konfirmasi saja. Maaf kalau menganggu." Mas Joko menunduk malu.

"Tidak apa - apa kok, Mas Joko tidak mengganggu saya. Soal itu, jangan percaya sama Karina. Mulutnya mirip ember bocor memang!"

"Oh ya sudah Mbak. Saya jadi paham sekarang. Kan nggak mungkin toh orang sesukses Mbak Lisa ini sampai tidak punya pacar. Ngawur kok memang Mbak Karina itu!" Mas Joko kemudian mengambil nampan dan bergegas kembali ke pantry.

Lisa hanya tertawa kering menyembunyikan cerita yang sesungguhnya. Lisa tidak mau urusan rumah tangganya itu dikorek - korek orang lain. Buatnya, orang - orang kantor tidak perlu tahu soal apa yang terjadi dalam hidupnya.

Andien yang dari tadi berlalu lalang mengambil berkas dari lantai lima tiba - tiba saja berjalan menuju ke meja kerja Lisa.

"Eh Lis, gue masih penasaran sih sama bule yang lo ceritain tadi."

"Ndien, kerja Ndien. Jam istirahat masih empat jam lagi!" ujar Lisa tegas.

"Yah, lo santai sedikit kan gapapa sih! Tadi gue ke lantai lima ngambil berkas di ruang arsip, terus ngga sengaja nih Lis gue ngeliat ada bule cakep gitu!"

"Ah lo mimpi kali Ndien! Satu - satunya bule di kantor ini cuma presdir Peter. Pak Peter satu - satunya!" ujar Lisa tidak percaya.

"Beneran Lis! Cakep banget! Tinggi terus putih gitu mirip model!" Mata Andien mulai berbinar - binar.

"Idih lo terlalu banyak nonton drama mungkin, udah sana balik kerja lagi Ndien! Nanti kalo nggak selesai, lo tau apa yang terjadi selanjutnya kan?" Lisa menatap kedua mata Andien dengan tatapan garang.

"Aduh iya ampun Bu Manajer!" Andien membalikkan badan dengan girang sambil membawa berkas - berkas itu ke mejanya.

Bule ya? Kok jadi teringat kata Dimas dua hari lalu.

"Bu Lisa." Seorang Pria bertubuh tinggi dan kekar menghampirinya. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa - apa, datar dan keras seperti batu. "Anda disuruh menghadap ke pak presdir," perintah Dani Sitohang, asisten pribadi presdir Petersson Communication.

Lisa menghentikan pekerjaannya dan bertanya - tanya, kali ini pak presdir mau apa lagi? Dengan langkah mantap, Lisa meninggalkan ruang departemen keuangan menuju kantor presdir.

Di ruang presdir, duduk seorang pria paruh baya dengan kumis dan jambang tebal yang sudah beruban. Wajahnya dipenuhi kerutan terlebih di pipi dan di dekat bibir. Kelopak matanya begitu dalam, dihiasi sepasang bola mata biru secerah langit pagi. Rambutnya bergelombang dan berwarna pirang nyaris perak. Pria paruh baya itu memiliki ciri - ciri wajah yang asing karena memang pria itu bukan orang lokal. Peter Petersson, CEO dari Petersson Communication. Sudah lebih dari dua puluh tahun lamanya Ia memimpin perusahaan milik kakek buyutnya itu.

Dani mengetuk pintu ruang presdir dengan jemari - jemari besarnya yang mantap. Perlahan Lisa masuk, merapikan rok dan kerah blazernya yang agak miring.

"Selamat pagi Pak Peter, anda mencari saya?" tanya Lisa sopan dan lugas.

"Ah Lisa, pegawai favoritku. Sini kemarilah," ajak Peter. Lisa duduk di kursi tepat di depan Peter, tangannya menggenggam rok sepan hitamnya, kakinya disilangkan.

"Anda ingin berbicara kepada saya?" tanya Lisa sopan.

"Lisa, saya sudah memimpin perusahaan ini lama bahkan mungkin sebelum kau lahir. Perusahaan komunikasi Petersson Com memang perusahaan turun temurun keluarga saya. Kau paham kan itu Lisa?"

Lisa mengangguk mengiyakan. Tatapan matanya fokus ke arah pria bertubuh tinggi itu.

"Sudah saatnya saya undur diri dari perusahaan ini Lisa, kamu paham kan saya sudah sangat tua untuk memimpin perusahaan ini?"

Lagi - lagi Lisa mengangguk, sepatah kata pun belum ia lontarkan sedari ia duduk.

"Alasan saya memanggilmu seorang diri sebenarnya karena saya punya sebuah penawaran cukup menarik untukmu."

Mata Lisa berbinar ketika mendengar penawaran Peter. "Oh ya? Penawaran apa Pak?"

"Tetapi penawaran ini bisa saja membuatmu sangat kecewa karena," Peter berdeham. "Jabatanmu sebagai manajer keuangan terpaksa dicabut."

Mendengar ucapan Peter, mata Lisa langsung terbelalak kaget. Rasanya seperti disambar petir di siang bolong!

"Pak, ini tidak adil! Saya sudah bekerja sangat keras untuk dapat naik jabatan di usia muda Pak!" Suara Lisa mulai meninggi.

"Iya saya paham, kamu pasti kecewa. Tetapi kau masih butuh pekerjaan ini bukan Lisa?"

"Pak, atas dasar pertimbangan apa sehingga bapak mencabut jabatan saya sebagai manajer?"

"Begini Lisa, dengarkan saya dahulu." Peter menautkan kedua tangannya dan melanjutkan, "Saya tahu betul, kamu memang salah satu pegawai terbaik di perusahaan ini. Saya bahkan memperhatikan kinerjamu sejak awal kamu bekerja di sini hingga detik ini. Namun saya terpaksa memberimu penawaran untuk saya jadikan sekretaris pribadi untuk presdir baru Petersson Communication!"

"Presdir baru? Maksud Pak Peter bagaimana?" Lisa masih memandang pria paruh baya itu dengan tatapan serius.

"Jadi Lisa, anak saya akan menggantikan posisi saya di sini. Tenang saja, dia sudah berpengalaman di dunia komunikasi dan bukan lulusan main - main!"

"Kemudian hubungannya dengan jabatan saya diturunkan menjadi sekretaris pribadi apa?"

"Bagaimana jika kamu saya kenalkan langsung kepada anak saya, Oscar kemarilah! " Peter menjentikkan jarinya.

Seorang pria tinggi berwajah Eropa perlahan masuk ke kantor Peter. Sepasang mata biru secerah langit pagi, ikal emas yang berkilau diterpa matahari. Sosoknya benar - benar persis seperti Peter versi muda.

Lisa tertegun melihat sosok pria asing yang ada di hadapannya. Pria itu bertukar pandang dengannya. Lisa sepertinya pernah bertemu dengan pria itu tetapi ia lupa di mana. Tampak asing namun familier.

"Selamat pagi saya Oscar," sapa Oscar sopan. Ia tersenyum dan menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Lisa. Lisa menggapai tangan itu dan berjabat dengannya.

"Jadi mulai saat ini, Oscar anak saya akan menjadi presdir Petersson Communication. Dan kau Lisa, akan menjadi sekretaris pribadinya mulai minggu depan." Peter menepuk bahu Oscar dan tersenyum ke arah Lisa.

"Sungguh saya tidak paham dengan alasan anda menurunkan jabatan saya!"

"Lisa, Oscar ini kan masih muda. Meski berpengalaman di bidangnya, dia masih butuh bimbingan utamanya bimbingan seorang wanita gigih sepertimu."

"Dengan bantuanmu, kamu akan mengajari Oscar untuk dapat bekerja dan menyesuaikan diri dengan orang - orang Indonesia."

"Tetapi Pak Peter," ucap Lisa kecewa. "Mengapa harus saya?"

"Penawarannya adalah, kamu masih mau bekerja di sini atau tidak?" Peter melangkahkan kakinya ke arah Lisa dan berdiri tepat di depannya.

"Jika iya, kau harus mau menjadi sekretaris pribadi Oscar," kata Peter dengan nada dingin dan sedikit kejam. "Jika tidak, kau bisa mengambil gaji terakhirmu besok, mengerti?"

Aura pria paruh baya ini seketika berubah jadi mencekam. Kantor presdir menjadi dingin dan hening seketika. Lisa hanya menundukan kepala tidak berdaya. "Mengerti Pak."

"Baiklah, kalau begitu saya mohon izin undur diri. Jaga anak saya baik - baik ya Lisa? Saya selalu percaya denganmu!"

Kedua pria Eropa itu mulai berbicara dengan bahasa asing. Lisa hanya memandang keduanya dari tempat ia berdiri sambil menebak apa yang sedang mereka bicarakan? Bahasa apa itu? Yang jelas bukan bahasa Inggris!

"Nak, tolong jangan hancurkan wanita ini seperti kamu dengan wanita - wanita lain!"

"Baik Papa," jawab Oscar dengan bahasa yang sangat asing di telinga Lisa.

"Bagus, Papa pergi dulu!"

Peter meninggalkan kantor presdir bersama Dani. Hanya sisa Oscar dengan Lisa berdua di ruangan yang dingin dan hening itu.

"Hai Lisa, kita ketemu lagi," ujar Oscar, matanya bertatapan dengan Lisa.

"Ketemu lagi? Dari mana pria ini kenal gue?" Batin Lisa dalam hati.