Di waktu yang bersamaan.
Anak laki laki dengan payung di tangannya, seketika anak itu menghentikan langkahnya
setelah melihat ke arah lapangan. Ia geleng geleng kepala sambil tersenyum.
Saat melihat wanita berhasil mengerjai teman-temannya. Anak laki-laki itu tak begitu jelas melihat wajah remaja wanita bermain hujan di lapangan.
Di depan anak laki laki itu, ada satu temannya yang berdecak kesal. Sambil menatap, lalu menggerutu kesal.
"Kamu kok berhenti sih, Mam." Kesal temannya yang bermata sedikit sipit. Dengan kulit berwarna putih seperti orang cina, hidung yang cukup mancung, dengan gaya rambut pendek sedikit ikal. Ia bernama David Jauzan.
"Mam!" Panggil David dengan geram.
Tapi tetap saja orang yang di panggil hanya diam berdiri memandang ke arah lapangan. David melihat lapangan langsung paham kenapa temannya berhenti mendadak.
"Kalau kau suka padanya pasti gak mungkin. Jadi ayo, ini hujannya lebat banget di tambah dengan angin. Membuat tubuhku merasakan dingin." Gerutu David mendorong tubuh Imam dengan kuat agar kembali berjalan.
Karena mereka sama sama memakai payung, jadinya baju yang di kenakan mereka berdua menjadi basah.
"Kau membuat bajuku jadi basah, David." Protes Imam.
"Ini salahmu, kalau saja kau tak berhenti gak kayak gini jadinya." Balas David dengan sinis. David memilih jalan lebih dulu menghampiri mobil hitam yang terparkir di parkiran cafe.
Imam menyusul David sesekali matanya melihat ke arah lapangan. Imam membuka pintu mobil, lalu masuk kedalam. Menutup payungnya dan pintu mobil.
Mobil pun akhirnya jalan dengan kecepatan normal.
....
Sedangkan di tempat lain.
Erma sedang duduk di kursi ruang tamu. Matanya terpejam saat merasakan kehangatan yang ia dapat dari sang ibu.
Ibunya menggosok gosok rambut Erma menggunakan handuk kering. Gerutu kekesalan, serta marah Erma dapat setelah ia pulang dari bermain hujan.
"Ibu sudah bilang berapa kali Erma. Kalau hujan jangan keluar, tapi tetap saja kamu selalu membantah ucapan ibu." Omel sang ibu pada Erma.
"Erma tidak membantah..." tolak Erma. "Hujan itu adalah momen yang Erma suka ibu. Selagi ada hujan, selagi itu juga Erma akan main hujan sama teman-teman."
"Bagaimana kalau kamu nanti sudah besar? Apa masih bermain hujan juga?" Tanya sang ibu yang sudah tahu apa yang anaknya akan jawab.
"Ya... karna Erma suka hujan." Jawab Erma yang tepat sekali dengan isi hati ibunya.
"Kalau kamu sudah menikah dan memiliki anak, apa masih sam..."
"Ya, Erma akan melakukan hal yang sama." Potong Erma dengan cepat.
"menjawab lagi...kenapa anak ku ini selalu menjawab ucapanku, tuhan?" Gerutu ibunya.
"Kan ibu bertanya, Erma jawab. Memang salahnya di mana?" Tanya Erma dengan polos.
Sang ibu menggeleng-geleng kepala, perasaan sudah tak tahan menghadapi Erma yang sungguh bawel sekali. Akhirnya ibu Erma menyerahkan handuk pada Erma, "kau kering kan saja rambutmu sendiri. Ibu mau masak." Ibunya pergi begitu saja meninggalkan Erma sendirian di ruang tamu.
"Erma salah apa?"
Erma bertanya pada dirinya sendiri. Dengan rasa tak mau tau, Erma mengerikan rambut sendiri tanpa memperdulikan kenapa sang ibu meninggalkannya.
Padahal sudah jelas nada bicara ibunya sudah naik satu nada. Tetap saja Erma tak mengerti apa salah yang ia lakukan.
*Gini nih kalau orang yang enggak pekah.
....
Hari esoknya.
Erma duduk di kursi dengan tenang. Melepaskan tas punggung, lalu mengambil botol air untuk ia letakan di laci. Supaya kalau bocor, air yang keluar tak mengenai buku dan isi tas lainnya.
Satu anak perempuan masuk dengan wajah dingin dan datar. Ia langsung duduk di samping Erma.
"Kau sudah mengerjakan pr?" Tanya anak itu dengan nada bicara yang sangat datar.
Erma mengangguk, "sudah. Pr sejarah kan?" Tanya Erma memeriksa apa dia benar.
"Ekonomi bukan sejarah."
Erma terdiam beberapa detik, lalu tersadar. Dengan cepat mengambil buku besar khas pelajaran ekonomi, lalu melihat apa dirinya sudah mengerjakan atau belum. Dan ternyata kertas di dalam buku hanya berisikan catatan kecil yang bertuliskan.
Ada pr ekonomi di halaman 147 dan 150 di kumpul hari Jum'at.
"Ya tuhan...aku melupakannya." Erma mengeluarkan semua alat tulis yang ia punya.
Dengan tergesah-tergesah Erma menulis semua pr. Pada jam tujuh teng, bel berbunyi. Erma masih saja mengerjakan pr-nya sedangkan di sampingnya.
"Ini waktunya mengaji, pelajaran ekonomi masih dua jam lagi. Kau harus mengeluarkan Al-Qur'an mu, kalau tidak kau kena denda, Erma." Omelnya sambil mengeluarkan Al-Qur'an di dalam tas. Ia membuka halaman akhir batas mengaji kemarin.
Erma menghela napas dengan rasa terpaksa Erma menyimpan semua alat tulisnya. Lalu mengeluarkan Al-Qur'an kecil yang selalu berada di dalam tas. Ternyata hari ini adalah jadwal Erma dan Agam.
Seharusnya duua anak yang maju untuk memimpin bacaan. Tetapi hanya Agam sudah maju dan siap memimpin ngaji. Tapi, Erma tetap saja duduk pada posisinya. Wanita yang berwajah datar di samping Erma langsung menyenggol lengan Erma.
"Hari ini jadwalmu memimpin ngaji." Tegur teman Erma masih dengan nada bicara datar yang khas.
"Ya ya ya..terima kasih sudah memberi tahu ku, Zeline."
Erma bergegas menarik kursi dan duduk di barisan para cewek. Di kelas itu terdapat 4 barisan. Dua baris disisi kiri, dekat dengan meja guru merupakan barisan para lelaki. Sedangkan dua baris di sebelah kanan yang di dekat pintu keluar masuk, merupakan barisan para perempuan. Jadi tidak susah jika ada yang ribut tak lagi menyalahkan siapa yang salah. Kalau barisan pria ribut dan bising, barisan perempuan akan menyalakan barisan pria. Begitu juga sebaliknya, yaa itu lebih baik dari pada duduknya di campur.
Dalam 15 menit murid kelas IPS satu mengaji dengan irama lantunan yang merdu. Itu adalah rutinitas rutin yang selalu mereka lakukan di sekolah, jika tidak di kerjakan akan mendapat denda. Dendanya sangat mudah, yaitu mengaji di lapangan sekolah. Dan itu menurut Erma sangat memalukan untuk di lakukan.
Setelah mengaji Erma kembali melanjutkan mengerjakan pr-nya. sembari menunggu guru jam pertama datang. Mending ngerjain pr dari pada waktu terbuang saja.
*Ayo ngaku siapa yang sering ngelakuin hal ini waktu masih sekolah?..
Sedangkan Zeline yang duduk di samping Erma memilih membaca buku mata pelajaran yang akan di pelajari jam pertama.
*Seharusnya kayak Zeline ya, jangan kayak Erma. Wkwkwk...
....
Di tempat lain.
Gedung sekolah berwarna biru cerah memantulkan kedamaian bagi murid murid. Dengan tanaman gantung di setiap tiang membuat suhu sedikit sejuk terasa. Di koridor terdapat beberapa anak yang masih berlalu lalang. Tak terkecuali dua orang anak laki laki, siapa lagi kalau bukan Imam dan David. Mereka berjalan tanpa hambatan dengan memegang beberapa map berwarna warni di tangan. Memasuki ruang OSIS yang sepi sekali.
"Aku minta izin dulu sama Pak Bakar, kamu mau di beliin apa?" Tanya David bersiap siap akan keluar.
Imam menatap David dengan heran, "kata kamu mau minta izin, kenapa malah nanya mau di beliin apa?" Heran Imam.
"Sekalian mau kekantin, mau nitip apa enggak nih?"
"Beli minum aja." Jawab Imam memeriksa kertas yang di dalam map.
"Air putih atau yang ada rasa?" Tanya David yang sudah keluar dari ruang OSIS.
"Air putih." Jawab Imam tanpa menoleh.
David langsung bergegas pergi keruang guru. Ia masuk dengan tubuh sedikit bungkuk dengan sopan ia menyapa guru laki laki yang sudah seperuh baya, dengan seragam coklat khas dinas. Guru itu bernama Pak Bakar, mengajar pelajaran matematika.
"Assalamualaikum, pak." Salam David setelah berada di depan meja Pak Bakar.
"Waalaikumussalam, ada apa?" Tanya pak Bakar mengalihkan pandangannya ke David.
"Saya mau minta izin pak." Kata David sedikit gugup.
"Izin apa?" Tanya Pak Bakar dengan tatapan mata yang sangat tajam.
"Izin mengerjakan tugas OSIS dari, Bu Melly."
Pak bakar hanya diam, sangat sulit memberi izin pada anak nakal seperti David. Pak Bakar memandang David untuk melihat sisi kebohongan, dan benar saja 20 persen ada maksud lain yang pak Bakar sendiri sudah mengetahui nya. Pak Bakar lalu mengangguk pelan. "Kalau sudah selesai, langsung masuk ke kelas." Ujar pak Bakar.
"Iya pak, makasih udah kasih izin." David menyalami Pak Bakar. Dengan cepat ia berlari ke arah kantin. Memesan satu mangkok bakso di tambah sambal dengan banyak sampai kuah bakso tercium bau bau cabai yang cukup menyengat.
"Bohai pesen dua botol air putih dingin ya." Jerit David pada pemilik warung bakso.
Bohai panggilan pada penjual bakso di kantin. Kalau di lihat lihat, penjual itu biasa biasa saja. Karena ingin mudah di ingat, jadi anak anak sekolah memanggilnya dengan sebutan bohai. Jadi, jangan salah paham dan berpikiran negatif ya.
"Oke."dengan mengacuhkan kedua jempol, wanita pemilik warung itu bergegas mengambil pesanan David.
Dan kembali dengan dua botol air di tangannya, menyerahkan pada David.
"Tugas OSIS lagi?" Tanya bohai memilih duduk di kursi panjang kantin.
"Iya, maklum buat nanti perpisahan." Jawab David sesekali mencicip kuah bakso sudah pas apa belum. Setelah pas ia mengambil jeruk, lalu memerasnya yang menciptakan rasa nampol di kuah bakso miliknya.
Bohai mengangguk mengerti, "anak bohai juga gitu waktu kelas tiga." Ujar bohai yang sangat mengerti kegiatan anak SMA kelas tiga. Karena anaknya dulu pun mengalami hal yang sama.
"Bohai minta kantong plastik." Pinta David, bohai pun beranjak dari tempat duduk.
Mencari keberadaan kantong plastik, setelah dapat bohai memberikan pada David.
"Kembaliannya nanti aja, sapa tahu aku mau jajan lagi." Ujar David menyerahkan uang lima puluh ribu.
Bohai hanya mengangguk, dengan langkah cepat David mengambil jalan pintas agar tak di ketahui Pak Bakar kalau dirinya jajan di kantin. Dalam perjalanan ke ruang OSIS, David selalu saja di tegur oleh anak anak wanita. Baik adik kelas atau seangkatan pasti menyapa David.
*Gitu deh kalau jadi orang ganteng, lewat sedikit di sapa. Sampai semut yang kecil pun nyapa juga kali ya.
David membalas dengan senyuman saja. Pintu ruang OSIS sudah ada di depan mata. Dengan tersenyum lebar David melangkah ia yakin bahwa tak ada hambatan lagi. Tapi sayang takdir tak memihak padanya.
David membalikkan tubuhnya, saat melihat Pak Bakar keluar dari ruang OSIS. Kuah bakso jadi tumpah karena goncangan kuat saat David memutar arah jalan, membuat tangannya menjadi panas karena terkena tumpahan kuah.
"Aduh aduh aduh, panas banget lagi." David meletakkan mangkoknya di anak tangga yang kebetulan dekat dengan posisinya berdiri.
Meniup niup tangannya yang sudah mulai memerah. "Hu... hu... cobaan emang datang di waktu yang tak tepat." Gerutu kekesalan semua ia keluarkan.
Tangan yang merah sudah mulai membaik, David melihat lagi ke arah ruang OSIS. Dan hanya sepi tak ada orang satu pun di sana. Dengan cepat ia mengambil mangkok bakso, lalu sedikit berlari kecil agar bisa cepat masuk kedalam ruang OSIS.
David membuka pintu, dan menutupnya dengan kencang. Sehingga menimbulkan suara keras membuat imam yang sibuk menulis terlonjak kaget. David hanya diam tanpa rasa bersalah menyerahkan pesanan Imam.
"Kamu kenapa? Kesurupan?" Tanya Imam dengan wajah datar.
Siapa yang gak kaget, tiba tiba ada orang dateng terus nutup pintu dengan kenceng.
"Enak aja ngatain kesurupan." Kesal David memilih duduk di dekat imam. "Ini gara gara pak Bakar, lihat ni tanganku jadi merah." David menunjukkan tangan yang masih merah.
Imam tak peduli, ia meneruskan tugasnya.
"Ck..nyalahin orang atas kesalahan sendiri. Tadi pak Bakar kesini, nyariin kamu." Kata imam.
David menyerengit bingung, "idihh kenapa? Kangen kali ya, gara gara aku gak masuk jam pelajaran dia." Balas David dengan konyol.
Imam tertawa pelan, "mungkin. Kamu kan anak murid kesayangan."
"Enak aja." Tolak David dengan jijik, "ini pasti ada sangkut pautnya dengan mama." Gumam David kemudian menyantap makanannya dengan lahap.
Imam melirik David sekilas. Beberapa detik ruangan itu sunyi lalu, "mama udah males ngurusin sikap nakal kamu. Makanya mama nyuru Pak Bakar, supaya kamu itu bisa berubah."
"Ya tuhan ini pedes banget, perasaan tadi di Kantin gak sepedes kayak ini. Kenapa malah nendang banget pedesnya?" Sindir David pada imam selesai berceloteh.
"Terserah, bagian aku udah selesai. Tinggal tugas kamu yang belum." Imam beranjak dari tempat duduknya.
"Ehhh...kamu mau kemana?" David menghadang imam dengan tangan kirinya, agar dapat mencegah Imam pergi.
"ke toilet, mau ikut?" Tanya Imam.
Dengan cepat David menggeleng, "enggak, sana!" Usir David memukul pantat Imam.
Imam yang tak terima, membalas dengan memukul kepala David pelan, dan pergi meninggalkan David sendiri.
"Ahhkk pedasnya...." Kesal David menghabiskan air sebotol dengan cepat.
....
Imam POV...
Sebenarnya itu hanya alasan ku saja agar tak membantu David menyelesaikan bagiannya. Jujur saja aku sebenarnya tak menyukai sifat kenakalan David yang sekarang sudah hampir kelewat batas.
....
Bersambung...