Bel pulang berbunyi.
Kenan memakai tas ranselnya dan segera berlari keluar kelas, tak memperdulikan gurunya yang belum keluar dari kelas dan menatapnya garang. Langkahnya tertuju ke kelas Davin, 12 IPS 3.
"Hoi!" seru Kenan sambil melambaikan tangannya ke Davin dan Natasha yang masih duduk dibangku bagian belakang pojok.
Natasha balik melambaikan tangan ke Kenan.Sementara, Davin langsung menatap ketua kelas merengek agar segera memimpin doa.
"Sabar, Davin! Gurunya belum siap." jawab ketua kelas kesal. Suaranya cukup kencang, membuat guru yang sedang bersiap-siap menatap Davin.
Mata guru itu menatap Davin tajam. "Kamu mau keluar sekarang? Sana!" tantang gurunya.
Davin yang mendengar itu langsung berdiri menarik Natasha. Bibirnya terangkat menjadi senyuman manis, dan membuat matanya menunjukkan eyesmile.
"Tuh, boleh." Ucap Davin ke ketua kelasnya. Ia berjalan kedepan kelas dan segera mencium tangan sang guru yang diikuti Natasha. "Assalamualaikum, bu." Pamit Davin lalu segera berlari kearah Kenan dan merangkulnya.
Sementara sang guru memijit keningnya, lupa akan sikap salah satu muridnya itu.
≈≈
Tawa melengking Samudra terdengar begitu Dirga dan Kenan mecontohkan bagaimana Bu Maya berdiri disamping Angkasa. Kenan merendahkan badannya menyamakan tingginya dengan tinggi Bu Maya, salah satu guru yang memiliki tinggi dibawah rata-rata. Disampingnya, ada Dirga yang menjinjitkan kakinya agar terlihat seperti Angkasa, teman mereka yang memiliki tinggi kelebihan.
"Woi, Bu Maya, Bu Maya!" seru Davin membuat Dirga dan Kenan segera berdiri tegak. "Tapi boong." Lanjut Davin membuat semuanya kembali tertawa.
"Tolol." Seru Natasha dan Ghifari bersamaan.
Tangan Samudra terangkat, merangkul Reza disebelahnya. Reza ikut mengangkat tangannya merangkul Dirga. Dirga merangkul Kenan. Kenan merangkul Davin. Davin merangkul Natasha. Natasha sedikit berjinjit untuk merangkul Ghifari. Sedangkan, Ghifari dengan mudah merangkul Rifky yang lebih pendek darinya.
Saling merangkul membuat mereka terlihat seperti anak kecil yang mengemaskan. Beberapa orang yang lewat menunjukan ekspresi gemas mereka. Bahkan, beberapa diantaranya ada yang yang langsung mencubit pipi Samudra. Samudra yang sudah sering menerima perlakuan seperti itu bersikap biasa saja, malah semakin menunjukan keimutannya.
"Jadi inget dulu." Ujar Rifky yang diangguki oleh yang lain.
The King memang sudah bersahabat dari kelas 5 SD. Berawal dari Davin dan Kenan yang bertemu di awal masuk sekolah dasar dan dikelas tiga bertemu dengan Dirga dan Reza, lalu dikelas lima bertemu dengan Rifky yang pasalnya baru saja pindah dari luar kota dan memiliki status saudara jauh dengan Samudra yang sebelumnya sudah berteman dengan Ghifari. Jadi tak perlu heran mengapa mereka sangat dekat. Anehnya, ketika belum lama masuk SMA, mereka sudah dilirik oleh kakak kelas untuk masuk ke dalam pertemanan yang dibuat beberapa tahun lalu. Jika kalian bingung bagaimana Ghifari dan Samudra bisa masuk ke dalam pertemanan Reza dan lainnya yang menjadi kakak kelas mereka, itu karena mereka sudah bersama sejak sekolah dasar. Membuat Reza menarik dua adik kelasnya itu untuk masuk ke pertemanan angkatan mereka.
"Inget ga sih lo pada pas Reza berak dicelana kelas tiga?" celutuk Dirga yang membuat semuanya kembali mengeluarkan tawa.
"Inget, inget. Dulu kita mikirnya dia sakit soalnya dia diem banget, tapi akhirnya dia ngaku." Lanjut Kenan heboh.
"Sambil nangis lagi." Ledek Davin. Sementara, yang menjadi bahan bullyan hanya menunduk pasrah.
"Setelah sekian lama ngehomo akhirnya sebelah punya cewe juga. Walau satu cewe buat bertujuh, sih."
Tawa The King dan Natasha terhenti. Mata mereka menatap satu objek yang sama, gerombolan Baster didepan gerbang.
Arsen, yang mengucapkan kalimat tadi tertawa remeh. Matanya kini tertuju pada rangkulan The King. Ia menepuk bahu salah satu temannya, Wildan. "Rangkulan? Yah, kayak anak teka mau nyebrang aja." Ledeknya diikuti tawa Wildan dan lainnya.
Natasha melirik teman-temannya. Dari raut wajahnya, terlihat jika Reza dapat menahan emosinya. Samudra, Dirga dan Kenan sama-sama mengepalkan tangannya. Davin menatap tajam Arsen dan Wildan. Ghifari dan Rifky juga menatap Arsen dan Wildan, tetapi dengan raut datar.
Natasha terdiam sebentar. Kemudian, menoleh kearah Davin yang ada disebelahnya. "Itu siapa? Satpam sekolah?" tanya Natasha dengan suara keras.
Davin yang berada disebelahnya jadi menatap Natasha. "Hm, gantiin Babeh kayaknya." jawab Davin sambil tertawa remeh.
Natasha ikut tertawa remeh diikuti dengan tawa Dirga dan juga Kenan. Natasha kini menatap Arsen yang sudah mengepalkan tangannya. Ia tersenyum sinis, seakan menantang rivalnya itu.
Merasa tertantang, Arsen melangkahkan kakinya menghampiri Natasha. Tangannya terangkat mendorong Natasha kuat, hampir membuat Natasha terjatuh bila Ghifari dan Davin tak sigap menahannya.
Ghifari menatap Arsen emosi. Tangannya balas mendorong tubuh Arsen membuat laki-laki itu mundur tiga langkah. "Kas−."
"Wow, bisa juga modusnya." Omongan Natasha menyelak perkataan Ghifari. Tangannya melepas rangkulan pada Davin dan Ghifari, kemudian menaruh kedua tangannya didepan dada.
"Kenapa aa'nya dorong-dorong saya?" tanya Natasha dengan nada remeh.
"Maksud lo apa ngatain gua satpam sekolah?" teriak Arsen emosi.
Natasha mengubah raut wajahnya menjadi bingung kemudian mengangguk mengerti. "Oh, aa'nya merasa? Padahal saya ga ngomongin aa'."
"Alesan lo." Seru Arsen marah.
"Kalo tersindir, kenapa cuma dorong gua? Davin juga ngatain." Natasha menganti nada bicaranya. "Lagian kenapa sih satpam sekolah, pekerjaan mulia kok."
"Oh, gua tau!" seru Natasha. Dia memajukan badannya sedikit dan menunjuk Arsen dengan mata memincing. "Lo banci, kan? Cuma berani sama cewek." Natasha terkekeh pelan sambil kembali memundurkan badannya, menatap remeh Arsen.
Emosi Arsen memuncah. Tangannya yang sedari tadi dikepal terangkat membuat Natasha menutup matanya. Lima senti lagi, tangan Arsen akan mengenai wajah cantik Natasha, suara laki-laki terdengar.
"ARSEN!"
Tangan Arsen langsung turun begitu mendengar suara Pangeran yang muncul dari belakang Rifky.
Natasha memberanikan diri untuk membuka mata. Ia menatap Arsen sekilas sebelum akhirnya menatap Pangeran.
Tangan Pangeran terangkat, menarik kerah seragam Arsen. "Gausah ngelawan cewek. Balik, kayak banci aja." perintah Pangeran datar.
Jantung Natasha kembali berdetak cepat mendengar suara Pangeran.
Suara itu.
Suara yang sudah berubah tapi masih terdengar sama.
Suara yang selama ini Natasha cari dan ingin dengar.
Suara dari Pangeran Hakama.
Mata Natasha mendadak panas. Ia menatap Pangeran dalam, seperti menyimpan banyak arti.
'Lo itu siapa?' tanya Natasha dalam hati dan masih menatap Pangeran.
"Sha, ayok!"
Natasha tersadar dari lamunannya dan kembali berjalan.
≈≈
Langit mulai berubah warna menjadi jingga. Matahari tampak diufuk barat, tak tega berhenti menjalankan tugasnya untuk menyinari bumi. Bintang-bintang kecil mulai memberanikan diri menampakkan keindahannya.
Mata Natasha sesekali melirik layar handphonenya. Sementara, tangannya tampak sibuk mengoreskan pensil diatas buku sketsanya. Ia mengangguk puas begitu merasa gambarnya sudah cukup bagus.
"Natasha, makan dulu yuk."
Ketukan di pintunya membuat Natasha segera membereskan alat mengambarnya. "Iya, sebentar."
Selesai meletakkan alat gambarnya dimeja belajar, Natasha segera keluar dari kamar dan menemukan bibinya yang masih menunggu diluar kamar.
"Ada siapa di rumah bi?" tanya Natasha.
"Gaada siapa-siapa. Bapak sama ibu belum pulang."
Natasha mengangguk kecil. Sudah tak heran ia dengan kesendiriannya di rumah besar itu. Sedikit merasa kecewa, tetapi juga merasa lebih baik seperti itu.
Melihat wajah anak majikannya kecewa, bibi berkata "Makan sama bibi aja ya, Sha."
Keduanya kini sudah berada dimeja makan. Natasha langsung duduk dan mengambil gelas yang sudah berisi air dan menegaknya.
"Mau ikan atau ayam?"
"Ikan aja."
Bibi mengangguk dan mengambilkan sepotong ikan yang langsung ditaruh dipiring Natasha.
Natasha mengucapkan terima kasih dan mulai menyantap makanannya tak berselera.
Selama makan malam, keadaan hening. Tidak ada yang berbicara, hingga Natasha membuka suaranya.
"Bi," panggilnya.
"Iya, kenapa?"
Natasha terdiam sesaat sebelum menanyakan sesuatu yang membuat bibinya menutup bibir rapat, tak tahu harus menjawab apa.
≈≈
"Ma, ini dimana?" Anak kecil itu memegang tangan ibunya. Merasa asing dengan tempatnya.
Wanita paruh baya itu menepis tangan anak lelaki itu kasar. Ia menghela nafas dan berjongkok didepan anak lelaki itu. "Mama mau beli senter sebentar. Kamu tunggu sini."
Anak lelaki itu menggeleng. "Gamau! Aku takut disini."
"Sebentar aja."
"Gamau, mah. Ini gelap, aku takut."
"Kamu sayangkan sama mama?" Tanya wanita paruh bayah itu yang dijawab anggukan polos dari anak lelaki manis itu. "Kalo gitu tunggu disini sebentar aja."
Dengan terpaksa, anak lelaki itu mengangguk.
"Dasar anak nyusahin." Desis perempuan itu pelan sebelum berjalan pergi meninggalkan anak laki-laki sendirian.
Lelaki kecil mulai melihat sekeliling.
Gelap.
Dingin.
Dan sepi.
Ia mengusap lengannya dan melihat arah ibunya tadi berjalan.
Disipitkan matanya saat melihat sang ibu menaiki mobil yang tadi ia taiki juga. "Mama naik mobil?" gumamnya.
Mobil itu mulai berjalan meninggalkan anak lelaki itu. Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya berlari mengejar mobil tadi sambil berterik memanggil ibunya.
Tapi tentu saja, kecepatan larinya tidak bisa melebihi kecepatan mobil. Hingga akhirnya dia terjatuh dijalanan sepi dan gelap itu. Matanya tetap tertuju pada mobil yang dibagian kaca belakangnya menampilkan sesosok perempuan kecil yang menatapnya bingung.
Lama-kelamaan mobil itu menghilang dibalik gelapnya malam. Membiarkan anak lelaki kecil itu mengeluarkan airmata dari mata indahnya dan teriakan ketakutan kencang.
Pangeran membuka matanya. Keringat dingin sudah membasahi wajahnya.
Kata-kata dari perempuan dimimpinya terus berputar, membuat Pangeran menutup telinganya rapat-rapat. Ia mengerang kencang.
"Dasar anak nyusahin."
"Dasar anak nyusahin."
"Dasar anak nyusahin."
"Argh!" erang Pangeran. Tangannya menjambak rambutnya. Ia menggelengkan kepalanya dan memukul kepalanya keras, berusaha menghilangkan kata-kata itu.
"HAKAM!"
Pintu kamar Pangeran terbuka, memperlihatkan Azka dengan raut khawatirnya.
Azka berlari menuju Pangeran dan langsung merangkulnya. Tangannya mengelus punggung Pangeran, berharap pemuda itu bisa tenang.
Tak lama, helaan nafas Pangeran mulai teratur, menandakan pemuda itu sudah mulai baikan.
Azka segera mengambil air yang selalu ada dimeja belajar Pangeran dan memberikannya. "Minum dulu."
Pangeran mengambil gelas itu dan meminumnya hingga tersisa setengah lalu ditaruh kembali.
"Kenapa?" tanya Azka, walau ia sudah tahu jawaban.
Pangeran menggeleng lemah. "Gapapa." jawabnya parau.
Tangan Azka mengelus bahu Pangeran. "Lo orang baik dan berguna, Hakam. Inget itu, okay?"
≈≈