Eugene tak sepenasaran ini sebelumnya. Biasanya ia yang selalu di perebutkan untuk pulang bersama oleh beberapa gadis. Tapi lihatlah, sekarang dirinya merasa gundah saat mendapat penolakan untuk pertama kalinya.
'Flashback'
"Aku antar yah ?" Eugene masih setia mengekori Michelle.
"Tidak usah "
"Bagaimana jika kau di ganggu lagi ?"
Michelle menghentikan langkahnya berbalik dan menatap gadis jangkung yang tengah tersenyum canggung.
"Aku bukan anak kecil. Aku tak akan mudah di kalahkan jika saja kau tak datang, aku sudah menghabisi mereka sendirian. "
"Berikan aku nomormu"
"Untuk apa ?"
"Agar aku bisa menghubungimu saat si Aiden menggangguku lagi"
Eugene berguling di kasurnya hingga sprei itu sudah tak berbentuk lagi. Ia bosan. Ia tak bisa menggoda gadis yang lewat untuk sekedar mengisi waktu luangnya. Biasanya ia akan mendapat spam dari vicky dan beberapa gadis yang menjadi fansnya. Eugene tak menyangka kehidupannya yang biasa akan semembosankan ini.
Terlebih lagi hatinya gundah membuat keputusan untuk menghubungi dulu atau saat penting saja. Michelle itu satu-satunya gadis normal yang Eugene kenal -normal karena ia bukan fans anarkis seperti vicky dan antek-anteknya-.
"Tampangmu sudah seperti mayat hidup saja"
"Ah sialan !!" Eugene mengumpat saat sosok Ana tiba-tiba duduk disampingnya. Apa makhluk ghaib sama sepertinya yang datang seenaknya. "Kau mengagetkanku boncel" sepertinya hobi Ana selain berbisik di kepalanya adalah muncul dengan tiba-tiba.
"Jangan berpikir untuk mempermainkannya Eugene.." Ana terlihat mengayunkan kakinya yang tak sampai di lantai.
Eugene susah payah menahan tawanya. Ia tak ingin kan tiba-tiba di kutuk menjadi anjing saat ketahuan meledek malaikat maut di sampingnya.
"Yayayaya aku tau..." Eugene turun dari ranjangnya. Ia meraih kardigan putih tulang dan memakainya.
"Kau mau kemana ?"
"Apa malaikat maut biasanya memang selalu ingin tahu sepertimu ? Berhentilah kepo dasar Boncel.." Ana mengerucutkan bibirnya saat menatap punggung Eugene yang menghilang di balik pintu Mahogani.
Gadis berambut sebahu itu melangkah kakinya asal. Ia tak tahu dengan pasti kemana tujuan akhirnya. Ia hanya ingin menenangkan keresahan hatinya. Mungkin dengan semangkuk es krim di hari yang panas ini.
Eugene masuk kedalam sebuah minimarket yang untungnya tak jauh dari tempatnya berdiri. Eugene mendorong pintu kaca dan langsung merasakan hawa dingin dari pendingin udara didalamnya.
"Selamat siang~" Eugene sontak menolehkan kepala saat mendengar suara yang tak asing itu.
"Michelle Kim.." matanya membulat mendapati sosok yang ia kenal berdiri dengan seragam khas penjaga minimarket dibalik meja kasir. Michelle sendiri hanya menatap datar.
Eugene dengan senyum lebarnya mendekat ke arah Michelle. "Kau part time disini ?"
"Apa pentingnya untukmu jika aku menjawab ?" Eugene tersenyum canggung. Benar yah, memang apa pentingnya toh biasanya Eugene akan bersikap masa bodo.
"Jika tak ingin pesan silakan keluar" Eugene tertegun. Ia baru saja diusir. Sebuah hal yang tak pernah Eugene l rasakan seumur hidup. Dan ia mendapatkannya dari gadis ini. Padahal sikap Michelle saat di sekolah tadi sangat baik padanya. Atau mungkin Eugene yang kegeeran saja ?
Eugene tak ingin di usir. Ia tak terbiasa dengan itu. Maka Eugene dengan cepat memilih es krim yang ada tak jauh darinya dan kembali ke meja kasir tempat Michelle berdiri.
"Totalnya 5.000 won" Eugene cepat mengeluarkan uang dan Michelle menyerahkan struk dan kembaliannya.
Alis Michelle terangkat saat Eugene hanya mengambil 1 dari dua eskrim yang di beli.
"Untukmu... Cuaca hari ini sangat panas. Es krim ini akan menyegarkankanmu.."
"Tapi aku ada didalam ruangan ber-AC." Eugene tertohok mendengar jawaban Michelle. Gadis itu benar. Eugene bahkan mampir ke minimarket sebenarnya untuk sekedar meneduh dari cuaca panas di luar sana. Tak ada artinya Es krim yang dingin di ruangan yang juga dingin.
Tapi kembali lagi. Eugene tak terima penolakan. "Es krim itu manis. Kau akan semangat kembali jika memakannya"
Eugene keluar dari minimarket. Ia tak langsung pulang. Entah kenapa dirinya lebih memilih duduk di ayunan taman sebrang minimarket sambil mengamati
Michelle. Gadis itu terlihat menyapa para pembeli dengan ramah. Walau kadang ada beberapa pelanggan menyebalkan yang datang. Dan Michelle tetap melayani dengan senyuman. Tapi ada yang aneh. Itu bukan senyuman yang sama saat ia lihat di UKS tadi siang. Senyum itu berbeda. Dan Eugene tak pernah melepaskan pandangannya dari gadis itu barang sedetikpun.
"Berkedip lah.. kau hampir lupa untuk berkedip"
"God damn it !! Berhentilah untuk muncul tiba-tiba" Eugene mengelus dadanya. Ana kembali muncul dadakan dan kini sudah duduk manis di ayunan sebelah Eugene. Hari sudah malam, dan Eugene jadi sedikit paranoid. Untung saja wujud Ana masih wajar -walau kemunculannya berkali-kali membuat Eugene jantungan-- jadi ia tak takut.
"Apa menurutmu Michelle dalam masalah ?"
"Berhentilah membaca pikiran orang. Itu tidak sopan tahu"
"Berhentilah untuk menjadi penguntit seperti ini. Ini bahkan lebih menyeramkan" jawaban Ana telak menyerangnya. Eugene tak lagi membalas. Percuma berdebat dengan gadis mungil namun memiliki mulut pedas disampingnya.
"Sepertinya kau harus menolong Manusia bernama Michelle itu. Sudah menjadi perintah untukmu saat kau dihidupkan kembali.."
Baru saja Eugene akan menjawab tapi bangku ayunan disebelahnya mendadak kosong. Ia terkejut namun hanya sepersekian detik dan kembali menyadari Anastasya itu bukan manusia.
Bersamaan dengan itu manik Eugene menangkap seorang gadis yang baru saja keluar dari minimarket. Langkahnya yang panjang membawanya dengan cepat kearah gadis itu.
"Michelle !!"
"Kau kenapa masih disini.." Michelle memperkirakan Eugene tak pulang dari terakhir gadis itu mendatanginya di minimarket tadi siang.
"Aku bosan.. kau mau pulang. Ayok aku antar" Eugene itu pintar membuat alasan. Kelebihannya itu ia gunakan untuk menarik hati wanita disekitarnya. Namun mungkin berbeda cerita jika untuk Michelle.
"Sebaiknya tidak usah." Michelle langsung berjalan mendahuluinya. Eugene rasa tak baik memaksa jika gadis itu tak mengizinkan. Itu tidak sopan.
"Michelle !" Eugene kembali berteriak memanggil Michelle yang untungnya belum melangkah terlalu jauh. Michelle berbalik, dapat Eugene lihat gadis dengan rambut ponytile itu mendengus kasar.
"Bolehkah nanti aku menelfon mu ?"
"Dasar bodoh.. kenapa kau harus minta izin ?" Benar juga yah.. kenapa ia harus minta izin. Ya bukan salah Eugene juga. Dari dulu ia tak pernah menghubungi duluan. Para gadis-gadis lah yang menghubungi Eugene dulu dan men-spam nya terus-menerus. Eugene tak terbiasa untuk hal-hal seremeh itu.
"Tentu saja boleh" lanjut Michelle yang membuat bibir Eugene reflek tertarik membentuk sebuah senyuman.
To be continued